Bertemu di Bawah Hujan

1653 Words
Perihal rindu dan jumpa yang tak mesti kapan datangnya, kurasa hanya kamu yang jadi penawarnya. Nadhif Sultonulazhar *** Pembatas kaca sebuah gedung pencakar langit tampak mengembun. Rintik di luar sana terdengar berisik saat menampar tanah, suaranya saling sahut, meredam kebisingan kota Jakarta. Tetes-tetesnya limbung tertiup angin, tersangkut di ujung daun pepohonan sejauh mata memandang. Burung-burung saling mengejar berburu peraduan. Satu-dua mobil masih melintas pelan, menghindari kubangan air jalanan. "Allahuma soyyiban nafi'an," gumam seorang pemuda sembari menyentuh permukaan kaca tersebut yang terasa dingin. Netranya tampak lurus, menerobos derasnya hujan. Sesekali ia tersenyum sambil memejamkan mata. Merasakan aroma rahmat Allah yang perlahan merangsek ke penciuman, memenuhi rongga dadanya. Hujan adalah rahmat. Darinya, Allah tumbuhkan kehidupan di muka bumi. Darinya, seutas tumbuhan kerontang menjadi rindang. Darinya, Allah tunjukan kuasa yang tidak mampu manusia ingkari. Ada banyak sekali berkah Allah yang datang melalui hujan. Petani tadah hujan gembira luar biasa kala penghujan tiba, tangannya menengadah lega. Senyum segaris terungkap, rasa syukur mencuat. Jutaan kehidupan air kembali menemukan dunianya begitu hujan tiba. Dan masih begitu banyak berkah yang tak mampu dijelaskan satu per satu. Hujan adalah bukti nyata lengan kuasa-Nya. "Zhar." Pemuda itu memutar posisi, menatap pada lelaki yang kini duduk di kursi sambil melarikan jemari mengabsen beberapa lembar kertas di atas meja. "Ini semua udah kamu baca?" tanya lelaki tersebut. Dia -- Azhar -- hanya tersenyum lalu kembali menatap ke luar. "Sampai kapan mau jadi bujangan?" desahnya, dia tampak begitu frustrasi saat mendapati sang sahabat menghiraukan ucapannya. Menyibukkan diri dengan sesuatu yang seharusnya tak perlu. Azhar terkekeh, kedua tangannya masuk ke saku celana. "Aku nggak bisa nentuin kapan ketemu sama jodoh aku. Semua rahasia Allah." "Itu karena kamu nggak berusaha. CV ta'aruf dari akhwat udah aku kasih dan ternyata Cuma berakhir di meja kerja kamu. Bahkan tanpa kamu baca." "Belum ada waktu, Li," jawabnya pada Ali. "Bukan belum ada, tapi kamu yang memang membuatnya jadi nggak ada." Ali ikut bangkit, kali ini lelaki berahang tegas tersebut menyandarkan tubuhnya ke dinding. Tatapannya tak juga berhenti untuk memonitor Azhar yang bertahan dengan kebungkaman sekian jenak. "Jodoh memang dari Allah. Tapi, bukan berarti kamu bisa menyerahkan semua pada-Nya. Usaha itu perlu, baru tawakal nomor dua." "Kamu sendiri masih bujang, kenapa nggak kamu aja yang mempertimbangkan CV ta'aruf itu?" Azhar bertanya dengan senyum segaris, beberapa detik ia menatap Ali yang turut memandangnya. Tampak lelaki itu sangat tenang. Sedangkan Ali mendengkus. "Beda cerita." Azhar tertawa. "Apanya yang berbeda? Kamu dan aku sama-sama lelaki dewasa, meski secara umur kamu lebih muda dariku tiga tahun. Sudah waktunya juga kamu memikirkan jodoh, jangan hanya selalu mendesakku untuk melakukan ta'aruf. Semua itu perlu kesiapan, entah kesiapan lahir atau kesiapan secara materi." Ali membasahi bibirnya. "Kamu selalu bilang begitu. Dua tahun lalu bahkan ucapan kamu nggak berubah. Zhar," panggilnya, "aku di sini nggak lagi bicara sebagai karyawan yang menasehati atasannya, tetapi seorang sahabat yang mengharapkan kebaikan sahabatnya." Kali ini Azhar diam. "Kalau kulihat, semuanya bukan soal kamu udah siap atau belum, tapi soal kamu yang selalu mencari alasan." Ali menggulung kemejanya hingga ke siku lantas menatap arloji cokelat yang melingkar di pergelangan kirinya. Jam kerja sudah berakhir dua puluh menit lalu. Sebagian karyawan telah memutuskan pulang, meski harus menerobos derasnya hujan di luar. Sebagian lagi memilih berdiam sejenak di kantor, menatap dari balik kaca dan menggumamkan do'a semoga hujan ini lekas usai. "Aku pulang dulu kalau gitu, Zhar," ucap Ali kemudian. "Jangan lupa CV-nya, Bujang Tua." Azhar menanggapi ocehan Ali dengan mata terputar. Ia hendak membalas ucapan sang sahabat dengan sanggahan namun tertahan sebab Ali sudah melenggang keluar dengan gesit -- bersama dengan kekehan ringan, mengejek lebih tepatnya. Yang bisa Azhar lakukan hanya kembali memutar tubuh untuk menatap kondisi luar, beberapa kali lelaki dua puluh tujuh tahun tersebut mengembuskan napas. "Apa masalahnya menjadi bujang di umurku ini?" gumamnya sendiri. Ia kembali menyentuh kaca tersebut. Mengukir sekenanya. Bukannya ia enggan berpikir perihal jodoh, setiap usai sholat ia selalu melangitkan do'a pada Sang Pencipta. Mengikrarkan beragam keinginan dan isi hati tentang seorang Zaujaty untuk hidupnya. Namun, sampai sekarang hatinya belum tergerak melakukan khitbah untuk seorang perempuan. Entah memang dalam pandangannya belum ada perempuan yang mampu menggetarkan hati atau justru ia yang terlalu mencari alasan seperti kata Ali, namun ia yakin garis jodoh tak ada yang bisa membelokkan. Ia percaya pada Allah. Ia percaya bahwa Dia adalah sebaik-baik pembuat rencana. Jika sampai sekarang ia belum menemukan bidadarinya, itu artinya memang Allah belum mengizinkannya menjadi imam dalam rumah tangga. Jika sampai sekarang ia masih menyendiri di tengah teman sejawat yang sudah menikah bahkan diberi momongan, itu artinya Allah masih memandang kalau ada banyak hal yang harus ia perbaiki. Menikah hanya untuk sekali dan ia tidak ingin salah langkah. Ia kini menikmati kesendiriannya. Namun, bukan berarti Azhar tidak memiliki rencana untuk mempunyai rumah tangganya sendiri. Tentu ia punya. Akan tetapi tidak untuk sekarang. "Semua orang punya cerita masing-masing," monolognya lagi lantas membalikkan badan dan menghempaskan tubuhnya ke kursi kerja. Ditatapnya beberapa CV yang ada di meja kerjanya. "Kalau aku sudah siap, aku nggak perlu Ali yang repot-repot cari CV kaya gini. Aku sendiri juga bisa." *** Azhar mengemudikan mobilnya pelan. Hujan masih mengguyur deras, membuat jalanan licin. Adzan Maghrib sudah berkumandang lima belas menit lalu dan ia baru saja selesai menunaikan sholat di salah satu masjid seberang jalan kantor. Memang ia baru pulang sebab sebenarnya dia menunggu hujan mereda, namun nyatanya tak juga terjadi. Hanya intensitasnya saja yang berkurang, bukan benar-benar berhenti. Dan akhirnya ia menyerah, dengan penampilan kusut luar biasa ia memutuskan untuk pulang ke rumah. Sebelah tangannya yang bebas dari kemudi menekan radio di mobil. Lantunan sholawat memenuhi telinganya, diselingi pula bacaan surat yang membuat hati Azhar tenang. Telinganya menyimak sembari bibirnya menirukan apa yang ia dengar. "MasyaAllah," batinnya saat merasakan betapa indahnya kalimat Allah tersebut. Jika seperti ini, bagaimana ia tidak jatuh cinta pada Sang khalik? Ia tersenyum sepanjang perjalanan, sesekali ia mengamati pepohonan yang berderet. Dalam hati ia memastikan bahwa pepohonan itu tersenyum akan hujan yang Allah turunkan. Setelah empat hari di bulan Januari tidak hujan diiringi dengan sengatan matahari yang luar biasa, akhirnya pepohonan itu mendapat asupan air melimpah jumlahnya. Allah begitu murah, bukan? "Sebelum aku mencintai ciptaan-Nya, aku harus lebih dulu mencintai-Nya," ucapnya kemudian, dia tersenyum penuh makna. Mobil lelaki tersebut masih setia membelah jalanan, melintasi kota Jakarta yang tampak sedikit sepi di hujan malam ini. Mungkin sebagian orang memilih menarik selimut sembari menikmati waktu bersama keluarga, atau menyeduh teh sembari bergelak dengan orang tercinta. Alis Azhar menyatu beberapa menit setelah dirinya melewati tikungan, dahinya bergelombang begitu melintasi sebuah halte. Ia melihat seorang perempuan duduk di sana, sendirian. Dengan kondisi yang Azhar yakini basah kuyup, perempuan itu tampak memeluk tubuhnya sendiri. Sepertinya mencari kehangatan. Sesekali perempuan itu meniup telapak tangannya sendiri lantas membawanya ke pipi. "Apa yang dia lakukan di sana? Jam segini bus udah nggak ada," monolog Azhar. Entah apa yang kini Azhar lakukan, namun perlahan lelaki tersebut menginjak pedal rem hingga mobilnya berhenti. Decitan nyaring membuat perempuan tadi mendongak. Azhar menghela napas. "Kenapa aku berhenti?" gumamnya kemudian. Sedangkan perempuan tadi memandang mobil Azhar cukup lama, keheranan. Sambil menghela napas sejenak, akhirnya Azhar memilih untuk menuruti ingin hatinya. Sebenarnya ini terlalu menganggu pikirannya sendiri. Untuk apa ia berhenti untuk seseorang yang tak ia kenali? Dalam gamangnya yang kian menjadi, akhirnya lelaki tersebut menyudahi pergulatan pikirannya sendiri. Siapa tahu perempuan itu butuh bantuan, batinnya kemudian. Ia lantas melepas sabuk pengaman pelan. Pandangan Azhar teralih pada sebuah totebag hitam ketika hendak mengambil payung di jok belakang. Itu adalah sebuah selendang panjang yang hendak ia berikan pada Ummah. Dia segera meraihnya, tanpa pikir panjang. Tak berselang lama, Azhar turun dari mobil setelah membuka payung. Langkah lebarnya mendekat ke arah perempuan tadi. "Ma-af, siapa ya?" tanya perempuan tersebut begitu melihat Azhar meneduh di halte yang sama. Ia tampak menggeser duduknya, menatap Azhar awas. Azhar memandang perempuan itu, dan untuk sekian detik ia hanya mampu menatap iris hitam legam di depannya. Cantik sekali, pikirnya. Wanita dengan rambut bawah bahu yang sudah basah dan berantakan itu tampak ayu di bawah temaram lampu halte yang tak begitu terang. Mata cekungnya menyorotkan kewaspadaan terhadap kehadiran Azhar. Begitu tersadar, lelaki tersebut langsung menunduk sembari menggumamkan istighfar berkali-kali. Apa yang baru saja ia lakukan? "Mas?" panggil perempuan tersebut. "Maaf, saya nggak punya niat lain. Saya pikir kamu butuh bantuan ..." Azhar menggantung kalimatnya, sembari itu lelaki tersebut menggeser posisi agak jauh. Ada yang salah dengan dirinya dan juga ... jantungnya. Perempuan itu tertawa ringan. "Saya nggak papa, Mas. Cuma lagi pengin sendiri aja," ucapnya. Azhar mengangkat kepala. Untuk beberapa jenak lelaki itu terdiam, kali ini bukan lagi tentang paras gadis itu. Akan tetapi, sesuatu yang ada di sudut bibirnya, mengalir. Mengerti akan tatapan Azhar, perempuan itu segera menarik tangan untuk mengusap sudut bibirnya sendiri. "Cuma luka kecil kok, bukan sesuatu yang serius," jawabnya, "oh iya, makasih udah rela berhenti. Tapi saya nggak papa, Mas bisa pergi lagi. Udara sedang dingin." Tersenyum lagi, wanita itu seolah melupakan tubuhnya yang basah sebab hujan. Apalagi luka di sudut bibirnya, ditambah beberapa lebam di pipi. Apa yang terjadi dengan dia? Azhar lantas menepis pikirannya sendiri. Mungkin benar, ia harus pergi. Masalah gadis ini bukanlah sesuatu yang harus ia pikirkan, bukan haknya untuk campur tangan masalah orang lain. "Mungkin kamu akan butuh ini," ucap Azhar sembari mengulurkan totebag serta payung yang ia pakai tadi. Ragu ia menunggu pemilik wajah bulat tersebut meraih benda itu. "Mas baik banget." Gadis itu menerima, tanpa menunggu lama. "Makasih." Azhar mengangguk lantas segera undur diri dan melenggang menerobos hujan, meninggalkan perempuan tadi yang kembali disergap kesendirian. Pandangan lelaki tersebut kembali pada perempuan itu setelah kembali terduduk di mobil, ia mengulas senyum lantas menganggukkan kepala menyapa singkat sebelum akhirnya mobil lelaki tersebut kembali menerobos hujan. "Siapapun dia, dia lelaki yang tampan dan baik hati," gumam gadis itu sembari menatap payung pemberian Azhar. Dia lantas membentangkan selendang itu ke tubuhnya. Tidak terlalu hangat memang sebab bajunya telah basah, namun tetap saja selembar kain tersebut mampu menghalau angin malam yang menusuk tubuhnya. "Dia benar, aku butuh ini." ***
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD