Prolog

228 Words
Matanya menatap langit dengan sorot mata penuh rindu. Bulir kristal yang terlihat dari kedua sudut matanya, mengungkapkan betapa dalam kerinduan yang dia rasakan. Bibirnya menyunggingkan senyum, meski hatinya merasakan hal sebaliknya. “Aku merindukanmu,” bisiknya tercekat, seakan itu kalimat paling sulit yang dia ucapkan. Tangannya terulur keatas, seolah menyentuh awan yang rasanya hanya sepenggala dari tempatnya berdiri. “Bagaimana kabarmu? Apa kau merindukanku?” Dia tahu tidak akan ada balasan kalimatnya, meski dia menunggu ribuan tahun sekalipun. Ucapannya hanya akan terbang disapu angin--seperti kerinduan yang dia rasakan. Apa kalian tahu bagaimana rasanya merindukan seseorang yang tidak akan pernah kalian lihat? Dia tahu bagaimana rasanya. Rasanya seperti sebagian dari dirimu dibawa pergi, membuatmu menjadi potongan yang tidak utuh. Perasaan yang bisa menguatkan dan melemahkanmu dalam satu waktu. “Selama ada cinta dalam hatimu, maka jangan takut. Selalu akan ada cahaya yang menuntun, bahkan dalam gelap sekalipun. Jangan biarkan cinta itu menghilang bahkan jika aku tidak berada disisimu lagi.” Kalimat itu masih terus terngiang di telinganya meski sudah bertahun-tahun berlalu. Dia merindukannya hingga rasanya menyakitkan. Dia memberikan cahaya pada semua orang, dan sebagai balasannya, cahaya itu merenggut hidupnya. Dia kehilangan, justru saat dia mendapatkan cinta terbaik dalam hidupnya. Mungkin benar yang dikatakan para penyair bahwa cinta terbaik selalu membuatmu merasa utuh dan rapuh dalam satu waktu. “Lafadz cinta yang kuucupkan pada akhirnya membawamu pergi dari hidupku.”
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD