SATU

1245 Words
Maaf banyak typo... "Kamu sakit, Ne? Wajahmu pucat sekali." Kata-kata diatas mengiang di pikiran seorang perempuan bertubuh mungil yang tengah menatap, dan meneliti setiap garis, dan gurat wajahnya yang baby face di depan cermin yang berada dalam toilet kantor tempatnya bekerja. Wajahnya mungil, dan menggemaskan dengan kedua bibir tipis yang terbelah menggoda . Tapi, kedua belah bibirnya yang tipis, terlihat pucat, dan kering saat ini. Padahal tadi pagi, sudah wanita itu olesi dengan lipstik warna merah secara tipis.  Bukan bibirnya saja yang terlihat pucat saat ini, wajahnya juga terlihat pucat pasih dengan keringat dingin yang membasahi hampir seluruh wajahnya, di keningnya yang paling banyak. Perutnya juga bergejolak melilit, seakan ingin muntah, mengeluarkan apapun yang ada di dalam perutnya, tapi sayang. Sudah ia coba berkali-kali memuntahkan nasi dengan telur mata sapi yang ia makan tadi pagi, tapi hanya lendir putih yang keluar dari mulutnya. Meninggalkan hawa tak sedap di langit-langit mulutnya, dan nafasnya juga terasa bau, membuat perempuan itu semakin lemas, dan terjatuh dengan perlahan diatas lantai. Tubuhnya dengan susah payah mengesot untuk menyandar ke tembok. Berhasil, dengan nafas tersengal, dan keringat yang semakin banyak mengalir bahkan kini, bajunya terasa basah di bagian punggungnya, basah oleh keringatnya. Keringat dingin karena takut, dan rasa sakit yang tengah menikam raganya saat ini. "Semoga tidak. Jangan dulu."bisik wanita itu lirih, kedua tangannya reflek memeluk erat perutnya yang rata setelah ia mengingat kesehatannya yang payah selama seminggu belakangan ini. Mual, muntah, sakit kepala, ingin tidur terus bawaannya setiap pagi, bahkan setiap saat, ingin makan ini, dan itu. Seperti orang yang tengah hamil muda saja, dan sedang mengidam. "Ku mohon, Tuhan. Jangan dulu. Kasihanilah aku. Ampuni aku. Jangan dulu, jangan dulu menghadirkan sosoknya di dalam diriku. Jangan dulu."lirihnya dengan kedua bibir yang bergetar kecil. Air mata tak mampu di bendung oleh wanita itu lagi. Air matanya meluncur dengan mulus bahkan jatuh membasahi lututnya.  Perempuan mungil itu duduk dengan memeluk kedua lututnya erat. Bahkan seluruh tubuhnya bergetar kecil. Menahan isakan kuat yang ingin pecah, tapi di tahannya sebisa mungkin. Ini area kantor. Tidak mungkin ia membuat kerusuhan dengan menangis membuat orang-orang bertanya-tanya kenapa ia menangis, dan mungkin akan marah padanya karena berisik menggangu orang-orang yang sedang fokus bekerja dengan jeritannya. Dengan pelan, lemas, dan rasa takut yang mendominasi, wanita itu mengangkat pelan kepalanya, membawa tanga kirinya di atas lututnya.  Jantungnya berdetak dengan menggila di dalam sana. Kedua matanya di pejam erat sesaat sebelum ia melihat jam tangan hitam yang melingkar indah di pergelangan tangannya yang putih mulus. Jam 9 lewat 10 menit.  Manik coklat terangnya melirik keatas wadah kecil yang sudah di isi olehnya testpack di sana. Sudah lima menit pas ia mencelupkan testpack itu di dalam air seninya. Dengan pelan, takut-takut, dan jantung yang berdebar semakin menggila diiringi rasa sakit, dan sesak yang menyiksa di dalam sana, wanita itu bangkit dari dudukannya, dan meraih dengan tangan gemetar wadah kecil yang akan menentukan nasib hidup, dan hubungannya dengan sang kekasih. "Ku mohon..."bisiknya tanpa suara. Dengan kedua mata yang di pejam erat, wanita itu mengambil testpacknya, mendekapnya kuat di depan d**a, berdoa dalam hati kecil, semoga, dan semoga belum ada sesosok janin yang tumbuh di dalam dirinya, rahimnya saat ini. Prakk! Sepertinya apa yang di harapkan, oleh wanita itu, tidak di kabulkan oleh Tuhannya. Testpack yang di pegangnya jatuh tergelatak di atas lantai.  Garis dua berwarna merah. Ya, testpack itu bergaris dua. Ia hamil. Perlahan tapi pasti, kembali tubuh mungil itu terduduk dengan wajah yang semakin pucat pias di lantai. Terngiang ucapan memelas sang kekasih dua bulan lalu pada dirinya. Kita menikah tahun depan. Tapi kita main aman, ya. Jangan dulu hamil, ya, Sayang. Aku belum bahkan belum sangat siap untuk nikah tahun ini. ****** "Selamat, anda hamil delapan  minggu. Janin ibu sehat, sangat sehat. Tapi, tetap harus hati-hati dalam beraktifitas ya, Bu. Makan makanan bergizi, dan teratur, dan vitaminnya juga di minum, ya Bu." Kata-kata panjang seorang dokter parubaya tadi di atas, masih mengiang-ngiang di telinganya bahkan hati kecilnya saat ini. Membuat seluruh saraf di tubuhnya lemah, bahkan untuk tetep membuka kedua matanya saat ini sulit untuk di lakukan Inne. Kepalanya terasa pusing bagai di tusuk-tusuk benda tajam, tapi di tahan Inne sebisa mungkin. Dan salah satu cara agar ia tetap sadar, dan tak kehilangan kesadaran di pinggir jalan besar, Inne istrahat dengan duduk di atas trotoar bagai pengemis dengan kedua kaki yang selonjoran, dan kepala yang menunduk dalam untuk menghalau sinar matahari terik yang menusuk kulit wajah, dan menyilaukan kedua matanya. Rambut panjang sebahunya yang tebal berwarna hitam, di tiup-tiup oleh angin yang berhembus dengan lumayan kencang siang ini. Membuat seluruh wajahnya hampir di tutupi oleh rambutnya, dan Inne membiarkan rambut menutupi wajahnya. Ia lemas, sangat lemas saat ini. Sakit yang menyiksa masih menyerang kepala bagian belakanganya. Belum lagi rasa mual juga ikut menyerang perut Inne saat ini. Sudah puluhan pasang mata, mungkin, yang menatap Inne dengan tatapan penasaran. Tapi, enggan untuk sekedar menghentikan laju kendaraan mereka lalu turun untuk sekedar bertanya tentang keadaan Inne, mereka hanya menatap sambil lalu, dan tak peduli. Paling cuman pengemis, tapi baju, sepatu, dan tas yang di pakai Inne saat ini tidak menggambarkan kalau Inne adalah seorang pengemis. Tapi, dari sekian puluhan atau mungkin ratusan kendaraan yang sudah  melaju melewati Inne, selama hampir enam menit Inne duduk dengan posisi menyedihkan seperti ini, ada satu mobil keluaran terbaru berwarna silver silau yang berhenti tepat di depan Inne. Seorang laki-laki tinggi tegap, tanpa Inne sadari keluar dengan terburu dari dalam mobilnya, bahkan pintu mobil tak sempat di tutup oleh laki- laki itu. Sepertinya laki-laki tinggi tegap itu, mengenali Inne. Dan Inne sedikit'pun belum menydari kalau sudah ada seorang laki-laki tinggi tegap dengan setelan kerja mahal yang membalut indah tubuh atletisnya, berdiri menjulang di depannya. Raut wajahnya yang tampan, dan menawan terlihat merah. Sangat merah, seperti menahan amarah yang besar. "Inne..."panggil laki-laki itu dengan suara beratnya. Tapi, Inne sepertinya tidak mendengar panggilan laki-laki tersebut. Kedua telinga Inne seakan tuli saat ini bahkan kedua matanya seperti tidak bisa melihat dengan jelas, buram, karena Inne memejam begitu kuat, dan erat kedua matanya. Rasa sakit di kepalanya semakin menyiksa dirinya. Bahkan perutnya juga ikut menyiksa dirinya, bukan hanya rasa mual saja yang di rasakan Inne saat ini, tapi rasa sakit bagai di tusuk jarum juga menyapa telak perutnya. Ah, ini pasti karena Inne tidak memakan sebutir nasi'pun sedari pagi. Hanya segelas air putih, dan satu lembar roti tawar yang di makan Inne, bahkan selembar roti tawar itu tidak di makan habis oleh Inne pagi tadi. "Sakit..."lirih Ine dengan kedua tangan yang sudah menekan sedikit kuat perutnya. Lirihan pelan Inne di dengar oleh laki-laki tinggi tegap itu, bahkan kedua tangan laki-laki itu kini terlihat mengepal erat, bahkan seluruh buku jari-jarinya memutih saat ini, saking keras, dan kuatnya laki-laki itu mengepal kedua tangannya. Menahan amarah. Amarah yang terlihat meluap- luap, tergambar jelas dari kedua sinar matanya yang bermanik hitam kelam. Dengan elegan, laki-laki itu akhirnya menjongkok di depan Inne. Mengangkat dengan sedikit kasar dagu Inne dengan tangan kekar, dan lebarnya. Shit! Benar, wanita yang ia lihat dari jarak 15 meter di dalam mobil tadi memang benar Inne. Rambut hitam sebahu lebat Inne, dan gestur belakang tubuh Inne sudah di hapal mati olehnya. Apa yang terjadi dengan Inne? Bahkan kedua mata Inne masih memejam walau sudah ia rangkum dengan sedikit kuat dagu mungilnya. "Inne...."desisnnya pelan, tepat di depan kedua bibir Inne yang terlihat bergetar kecil, sontak membuat Inne membuka kedua matanya kaget. Inne sangat mengenali suara dengan geraman tertahan yang baru saja menyapa indera pendengarnya. Dan benar saja....suara itu adalah suara.... Athar... Kekasihnya.... Tbc
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD