Chapter 1: Revina - Gilang

1392 Words
Revina POV Ini adalah minggu ketiga Revina bekerja di perusahaan ayahnya sebagai GA Manager, dan sukses membuat Revina kembali bersemangat, karena akhirnya bisa menerapkan semua ilmu yang telah ia pelajari selama kuliah di Singapura dan Inggris. Ia bahkan tidak sedih lagi saat melihat berita pernikahan Adya, lelaki yang sudah dikejarnya sejak SMA, dan Dira, pengacara yang dicintai oleh Adya, yang dibahas di banyak media massa, tidak seperti Devin, abang sekaligus bosnya yang air mukanya semakin kusut kalau ada berita itu, karena Devin sepertinya masih ada rasa dengan Dira. Dunia jadi seperti terbalik. Padahal seharusnya Revina yang susah melupakan Adya karena sudah bertahun-tahun ia mengejar pria itu, tapi ternyata untuk move on tidak sesulit itu baginya. Revina jadi curiga bahwa perkataan Adya selama ini benar, mungkin saja Revina tidak pernah benar-benar mencintainya, ia hanya menyukai ide menjadi istri seorang Adya, karena membuat dirinya jadi seseorang. Revina akhirnya menyadari, sepertinya memang ia hanya butuh pekerjaan saat ini. Kesibukan yang produktif dan bermanfaat, kesempatan mengembangkan dirinya menjadi lebih baik dan profesional, bukan hanya sibuk menggalaukan seseorang karena tidak jadi  menikah dengannya seperti dirinya di masa lalu. Semakin ia bekerja, semakin perasaan bersalahnya pada Dira jadi berkembang. Betapa Dira begitu profesional dalam pekerjaannya, dan betapa Dira percaya diri serta mandiri dengan semua keberhasilannya. Dira yang tidak melaporkannya meski telah ia pukuli saat mabuk, dan juga yang menungguinya saat ia kecelakaan hingga pagi waktu itu. Ia paham betul sekarang kenapa Adya, dan bahkan abangnya, Devin yang berhati baja itu bisa jatuh cinta padanya. Ia menyerah, dan mengakui semua kesalahan serta perbuatannya di masa lampau yang begitu memalukan itu. Meski gengsi mengatakannya keras-keras dan secara langsung, hari ini akhirnya ia memutuskan untuk mengirimkan parcel buah tanda perdamaian pada Dira. Tidak ada jawaban, tentu. Tapi setidaknya ia sudah meminta maaf. “Bu, hari ini meeting dengan Daewoo Batam ya untuk finalisasi gedung baru mereka di Dubil.” Hasya, sekretarisnya, membuyarkan lamunannya. “Oke, Jam 11 kan.” “Ya bu.” Tepat jam 11, Revina menyambut kedatangan direktur Hubungan Umum dan Administrasi Daewoo Batam, Gilang Saguna yang memang bertugas mengurusi hal ini, bawahan Mr. Lee Naseon. Gilang adalah lelaki yang tampan, dan menurut gossip yang ia dengar dari Hasya, Gilang adalah seorang duda berusia 37 tahun yang ditinggal mati istrinya. Revina tidak terlalu tertarik sebenarnya, yang penting urusan kerjaannya bisa selesai dengan baik. Calon suami saat ini sudah jadi prioritas terakhirnya, karena kalau bisa bahkan ia ingin menyabet posisi Devin. “Nanti tolong semua perizinan dilengkapi ya pak, kalau ada perlu keterangan domisili, hubungi saja kami.” Ujar Revina sebelum menutup rapat. Gilang dan sekretarisnya mengangguk. Lagi-lagi Revina bertemu pandang dengan Gilang, untuk yang kesekian kalinya saat rapat, tapi Revina hanya mengalihkan pandangannya, cuek. Jam 5 sore, waktu kerjanya usai. Revina keluar dari kantornya untuk melanjutkan pekerjaan di Starbucks Fanindo, salah satu hotspot terfavorit warga Batam untuk bekerja. Revina masih ingin mempelajari beberapa peraturan pemerintah yang berkaitan dengan pekerjaannya yang masih belum ia pahami, di kedai kopi itu. Ia senang disana, karena tempatnya nyaman serta luas, bisa menghilangkan suntuk dari kungkungan ruangan kantor yang sempit. Revina sedang mempelajari persyaratan dari UU ketenagakerjaan untuk tenaga kerja asing di salah satu sudut Starbucks Fanindo sore ini ketika seorang barista mengantarkan ice Americano padanya. Ia baru akan menolak ketika barista itu sudah berkata duluan. “Ada yang pesankan untuk ibu, ini suratnya.” Barista itu menyerahkan selembar kertas, dengan tulisan tangan yang unik. Kumaafkan, mba. PS. Kopinya jangan dilempar ke orang, mubazir. Revina terpana dan mengangkat kepalanya, mencari penulis surat ini. Tidak sengaja ia melihat siluet seorang wanita yang berjalan ke luar Starbucks, menggendong ransel, memakai blazer serta rok abu dan sneakers ungu. Revina tersenyum, tidak jadi mengejar orang tersebut. Ia kini tahu siapa pengirimnya. Dengan santai, Revina meminum ice Americano itu, susah payah menahan kegeliannya. Thanks, Dira. Revina bergumam. “Bu Revina?” seseorang mendekatinya, menangkap basah saat ia tersenyum. Sontak Revina langsung merubah ekspresinya kembali menjadi dingin. “Ah, Pak Gilang ya?” Revina mengangguk. Salah satu direktur Daewoo Batam, Gilang Saguna, yang tadi siang meeting dengannya, kini berdiri di depannya. “Boleh saya duduk di sini juga bu?” Tanya Gilang, menunjuk kursi di depannya yang kosong. Revina baru akan menolak, tapi tidak ingin terdengar tak sopan. Bagaimanapun ia harus menjaga nama baik perusahaannya. Jadi ia hanya mengangguk. “Kenapa tidak senyum lagi bu?” Gilang bertanya tiba-tiba setelah ia duduk. “Hah?” “Barusan. You look much better, smiling.” Gilang tersenyum padanya. Revina hanya melihatnya dengan bingung. “Are you flirting with me?” Tanya Revina, heran. Belum pernah ada yang mendekatinya seperti ini. “I guess?” Balas Gilang, masih tersenyum. Revina terpana, tapi akhirnya tertawa lepas.    Gilang POV Sejak ditinggal istrinya 7 tahun lalu, Gilang tidak pernah merasa tertarik lagi pada wanita. Hatinya selalu terpaut pada sang istri, yang meninggal karena kanker rahim saat itu. Pernikahan mereka hanya tiga tahun, tapi bagi Gilang, itu masa-masa terbaik dalam hidupnya. Ia tidak merasa akan dapat mencintai wanita lain lagi, tapi ntah kenapa, sejak bertemu tadi siang, Revina membuatnya begitu tertarik. Begitu tahu Revina tidak punya pacar, sore ini ia mencoba peruntungannya. “Benar kan, kamu terlihat cantik kalau senyum dan tertawa.” Komentar Gilang, sengaja lebih akrab dari sebelumnya. Revina tersentak, dan wajahnya kini serius kembali. Ia masih terlihat cantik, tentu saja. “Ada perlu apa pak disini?” Tanyanya sekarang. “Ah, saya baru selesai meeting dengan pengacara Daewoo, Ibu Dira, barusan.” Jawab Gilang. Revina mengangguk, paham. “Sekarang sih pekerjaan saya sudah selesai, tapi saya mau duduk disini dulu, tidak apa-apa kan?” “Tidak apa-apa.” Revina mengangguk, lalu matanya kembali ke laptopnya. “Kamu baru masuk Dubil ya?” Gilang tak bisa menghilangkan rasa penasarannya. “Iya.” “Kenapa?” “Panjang ceritanya.” Balas Revina, masih fokus dengan kerjaannya. “Aku punya waktu mendengarnya.” Gilang memaksa, ingin agar obrolan berlanjut. Tapi Revina malah memandangnya beberapa saat, mungkin bingung mau cerita dari mana. “Harusnya saya menikah, tapi karena tidak jadi, makanya saya bekerja.” Akhirnya ia membuka suara. Gilang terpana. “Laki-laki itu pasti orang gila, menolak perempuan sepertimu.” Komentar Gilang, Revina hanya tertawa. “Saya yang dulu gila, dan wajar sekali dia menolak saya.” Revina mengedikkan bahu. “Calon istrinya jauh lebih baik dari saya. Bahkan bapak juga pasti setuju, karena bapak juga kenal dengannya.” “Huh? Siapa?” “Dira.” Revina tersenyum santai. “Bu Dira??” Gilang benar-benar kaget. “Jadi calonmu dulu.. Adyatma Effendi?” Gilang memastikan. Ia kini tahu kenapa Revina merendah seperti ini. Pengacara Daewoo, Dira Pratista memang orang yang luar biasa. Tidak hanya cantik, tapi juga sangat pintar. Bahasa Koreanya lebih baik daripada Gilang yang pernah kuliah beberapa tahun di Korea. Ia juga baik hati, pernah membantu anak bosnya yang sempat hilang di mall, padahal ia tidak kenal dengan si anak  maupun orang tuanya sebelumnya. Karena itu bos Gilang, Mr. Lee Naseon, benar-benar suka dengan Dira. Gilang sempat tertarik juga padanya, sebelum ia akhirnya tahu bahwa Dira akan menikah dengan pendiri PayDo, start up perusahaan pembayaran digital terbesar se Indonesia, Adyatma Effendi. “Bukan calon sih..” Revina menggeleng. “Saya yang memang ingin menikah dengannya, dan keluarga kami berdua sudah setuju. Sayangnya, Adya dari dulu tidak pernah mau menikah dengan saya. Saya kira lama-lama ia akan luluh, tapi ternyata ia jatuh cinta pada Dira.” Gilang bisa melihat ekspresi Revina sedikit getir sekarang. “Maaf ya,” Ucap Gilang. “Sudah memaksamu cerita. Pasti kamu sedih sekali,” “Tentu.” Perempuan di depannya kini tersenyum. “Saya sempat hancur, tapi sekarang saya merasa memang itu yang terbaik. Dira perempuan yang baik, dan saya paham kenapa Adya memilih dia dibanding saya.” Gilang terenyuh mendengar cerita Revina yang begitu tegar. “Apa kamu sudah menemukan calon penggantinya?” “Belum ada rencana menikah pak, saya mau kerja dulu saja.” Revina menimpali. “Sayang sekali,” Keluh Gilang. “Kenapa?” “Padahal aku mau daftar, menjadi calonmu.” Tembak Gilang, membuat wajah Revina bersemu merah. “Bapak bahkan gak kenal saya.” Komentarnya, ekspresinya berubah serius lagi. “Ya kita bisa semakin kenal sekarang.” Gilang mengulurkan tangannya. “Halo, aku Gilang. Aku tertarik sama kamu. Bolehkah aku mengenalmu lebih dalam?” Revina memandang tangannya beberapa saat, lalu melengos kembali ke arah laptopnya. Ouch, sepertinya akan sulit ia menembus pertahanan hati Revina.  
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD