Seutuhnya

1370 Words
    Atha tersenyum kecil pada Nares di sebelahnya. Seperti biasa, Nares hanya membalas dengan tatapan tak berminat dan meremehkan. Melihat ekspresi Nares, Atha justru tertawa. Membuat Bu Marion—yang terkenal galak—berdeham kepadanya.     Tapi bukan Atha namanya kalau akan langsung kikuk dengan hanya didehami oleh guru. Cowok berlesung pipi itu kembali menegakkan badan, bersandar pada mahkota kursi.     Demi azaz kesopanan, Atha berlagak fokus pada lembar jawaban. Ngomong-ngomong, bukan hal sulit bagi Atha mengerjakan soal-soal Bu Marion.     Kalau boleh sombong, Atha sudah selesai mengerjakan semua soal. Bila mau, ia bisa keluar kelas sejak tadi. Tapi Atha lebih asyik tetap di sini—bermain-main dengan jelmaan patung di sebelahnya—manusia bernama Nares.     Atha ingin memastikan bahwa Nares tidak lupa dengan janji mereka sepulang sekolah nanti.     Atha menatap Nares lagi. Cowok itu rupanya juga sudah selesai mengerjakan soal-soal ujian hari ini. Ia nampak kesal dengan kelakuan Atha yang terus mengganggunya.     Nares tahu kok apa gerangan yang membuat Atha tak bisa diam seperti cacing digelitiki. Tapi Nares malas meladeninya. Dasar Atha orang sombong tak tahu diri.     Nares mengacungkan tangan. "Bu, saya sudah selesai!" Nares rupanya benar-benar sudah malas dengan segala tingkah laku Atha. Ia ingin pergi saja supaya cepat terhindar dari Atha.     Bu Marion bergegas mengambil lembar jawaban dan juga soal ujian milik Nares. "Oke, kamu boleh keluar kalau begitu."     Atha tidak terima. Apa-apaan? Mana bisa Nares tak mengacuhkannya, sementara Atha sudah menunggu kepastian selama hampir 15 menit lamanya?     Tanpa tedeng aling-aling, Atha segera meyerahkan lembar jawaban ujiannya pada Bu Marion, kemudian mengejar Nares.     "Hey, Nareswara Sandika ... tungguin!" seru Atha begitu keluar dari kelas.     Nares berbalik dengan malas. Aih, kenapa Atha malah mengikutinya. "Kenapa, sih?"     "Cih ... dia malah nanya! Kamu nggak lupa, kan?"     "Mana mungkin aku lupa? Justru aku takut kamu yang lupa. Mengingat umur kamu yang udah nggak muda lagi. Kali aja kamu pikun karena udah tua."     Atha yang tadinya ingin marah justru terbahak. "Oke, lah. Sampai ketemu nanti siang. Awas kalau kamu sampai nggak dateng!"     "Seharusnya aku yang bilang gitu, Atharik Rakajuang!" Nares segera pergi melanjutkan langkahnya.     Atha sebenarnya geram dengan sikap Nares. Tapi ia tidak ingin memulai di sini. Atha pun segera berbalik dan mencari sesuatu yang sekiranya menyenangkan untuk dilakukan. ***     "Mas ke mana aja, sih?" Sheila menghentikan langkah Atha.     "Lho ... sejak kapan kamu di situ, Ndog?" Atha terkejut.     "Aku dari tadi di sini nungguin, Mas Atha. Aish ... nama aku bagus-bagus Sheila, kenapa Mas selalu manggil Endog, sih?" Sheila kesal.     Atha terkikik. "Habisnya mirip," jujur Atha. Jujur memang menyakitkan, bukan? Sheila yang berbadan pendek dan sedikit berisi, sungguh mirip dengan endog alias telur.     Atha puas sekali melihat Sheila merajuk. Namun ia juga sedang memikirkan satu hal lain sekarang. Huff ... ini tidak terduga. Kenapa Sheila bisa tiba-tiba muncul?     Sheila bersekolah di SMK khusus wanita yang berada di seberang sekolah Atha dan Nares. Cewek itu pasti sengaja menemui Atha untuk sebuah alasan yang sudah bisa Atha tebak. Semoga tebakannya salah.     Tidak ... bukannya Atha tidak suka dengan keberadaan Sheila. Hanya saja ... waktunya tidak tepat. Bisa kacau semuanya kalau Sheila sampai minta nebeng pulang.     "Anterin aku pulang, ya, Mas! Nggak ada yang jemput aku hari ini."     Tuh, kan ....     "Sheil, maaf ya. Tapi aku lagi ada urusan penting," sesal Atha. "Sebagai gantinya, besok aku jemput kamu, terus pulangnya aku anter juga. Gimana?"     "Yah ... Mas Atha gimana, sih? Kan aku butuh tebengannya sekarang. Kalau Mas Atha nggak bisa anter, terus aku gimana, dong?" Sheila mengentakkan kakinya beberapa kali.     Atha berlagak akan oleng di atas motornya. "Wah ... Sheil ... gempa, nih!"     "Aishhhh .... Mas Atha ngeselin banget, sih?" Sheila pasang tampang mewek.     Atha cengengesan. "Gini aja, deh. Kamu naik bus aja, ya? Ya ... ya ...? Janji besok aku anter jemput. Uang kamu masih ada nggak buat bayar ongkos?"     Sheila menggeleng. "Udah habis. Tinggal cibu, nih." Sheila mengeluarkan selembar seribuan dari saku.     "Ya udah, nih aku kasih tambah." Atha memberikan satu koin lima ratusan.     "Ih ... Mas Atha .... Ngeselin banget, sih!" Sheila mencubit keras lengan kurus Atha.     "Aduh ... aduh ...." Atha kesakitan. "Duh ... biru-biru, nih, besok!" Atha mengelus-elus lengan malangnya. "Nih ... nih ...." Atha memberikan selembar 20 ribuan pada Sheila. "Cukup buat sekalian makan siang, tuh!"     Sheila tersenyum malu-malu. "Alhamdulillah ... rezeki anak solihah. Makasih, ya, Mas Atha."     "Hadiahnya?" Atha mengetuk pipi kanannya beberapa kali dengan telunjuk, sembari menaik-turunkan alis.     "Ish ... Mas Atha apaan, sih? Belum muhrim." Sheila mendorong Atha sekuat tenaga.     Untung Atha sigap mengimbangi tenaga kuda si Sheila. Kalau tidak, bisa-bisa ia dan motornya mencium aspal sekarang juga.     "d**a ... Mas Atha!" Sheila berbalik sembari melambaikan tangan. Cewek itu berlari kecil menuju halte bus.     "Sheil ...," panggil Atha.     Sheila menoleh. "Iya?"     "Aku janji, ini terakhir kalinya aku nggak bisa menuhin permintaan kamu. Jadi tolong jangan marah, ya!"     Sheila mengernyit. Aneh sekali sikap Atha. "Iya, Mas Atha. Santai aja kali! Dah ...." Sheila melambai sekali lagi sebelum melanjutkan langkah.     Atha bertahan di tempat, memastikan Sheila benar-benar sampai di halte dengan selamat. Barulah ia menyalakan motor, mengendarainya menuju ke arah yang berlawanan. ***     Sheila mengernyit melihat Nares dan motornya tiba-tiba berhenti di hadapannya. Seketika semua orang di halte menatap ke arah mereka.     "Tumben naik bus?" tanya Nares. "Aku anterin aja, yuk!"     Sheila menggeleng. "Aku naik bus aja, Res."     "Aku tahu kamu nggak suka desak-desakan, Sheil. Ayo aku anterin! Setidaknya aku nggak setega pacar kamu yang nggak bertanggung jawab itu!"     "Ih ... Mas Atha bukannya nggak bertanggung jawab, Res. Tapi lagi ada urusan."     Nares terkikik karena kepolosan Sheila. "Urusan macam apa yang sampai lebih dipentingkan daripada nganter pacar pulang, hm?" Nares berlagak bodoh dengan pura-pura tak tahu urusan Atha.     Sheila terdiam. Pertama, benar kata Nares bahwa ia tak suka desak-desakan. Kedua, Nares juga benar tentang Atha yang seharusnya lebih memilih mengantarnya dibanding mementingkan urusan lain.     "Udah, ayo buruan naik!" Nares memanfaatkan situasi hati Sheila yang sedang tak menentu. Nares tersenyum kala Sheila akhirnya benar-benar naik ke motornya. ***     "Kamu telat satu jam, Res!" Nada bicara Atha geram. Tatapan matanya pun tajam, menguliti Nares yang baru datang.     Atha duduk di atas motornya, di bawah pohon rindang, di sebuah lapangan—tempat mereka janjian.     "Ya sorry. Mamanya Sheila nyuruh aku mampir dulu, makan siang. Kayaknya Tante Nana suka sama aku. Kayaknya aku adalah calon mantu idaman." Nares sengaja menunjukkan kalau ia baru saja mengantar Sheila.     Terang saja Atha semakin geram. Ia bahkan tega membiarkan Sheila pulang naik bus, demi memenuhi janji mereka. Tapi ... Nares malah dengan lancang mengantar Sheila pulang.     Atha serta merta turun dari motor, beringsut mendekati Nares yang urung turun. "Udah selesai ceritanya?"     "Kenapa? Kayaknya kamu nggak suka sama ceritaku. Apa ceritaku sebegitu jelek?"     "Oke ... oke ... stop basa-basi! Aku akan mulai duluan."     BUAGHH ....     Atha melayangkan tinju sekuat tenaga pada pipi kanan Nares. Nares beserta motornya jatuh tersungkur pada rumput kering lapangan.     Nares sempat mengumpat keras. Ia berdiri secepat mungkin, membiarkan Ninja hitamnya tetap tersungkur. Tubuh tinggi kurus Nares terhuyung, namun empunya seakan tak peduli. Darah segar yang mengalir dari sudut bibirnya pun tak ia indahkan.     Nares menyeringai sebelum meludahkan sisa darah di dalam mulut, sampai mengotori baju seragam Atha.     BUAGH .....     Nares meninju perut Atha cukup keras. Atha tersungkur karenanya. Butuh waktu cukup lama sampai Atha bisa kembali berdiri dan balik menyerang.     Atha berlari untuk menubruk tubuh Nares. Keduanya terjatuh. Atha menindih Nares. Atha dengan leluasa melayangkan tinju pada Nares berkali-kali.     "Kita udah janjian buat ngobrol baik-baik di sini. Tapi kamu malah cari masalah, Res? Harusnya kamu nggak anter Sheila pulang. Jadi kita nggak perlu berantem kayak gini!"     "Kamu yakin, Tha? Kayaknya meskipun aku nggak anter Sheila pulang, kamu akan tetep cari alesan buat bisa adu jotos sama aku. Iya, kan?"     Atha semakin geram. Ia kembali melayangkan tinju tanpa ampun pada Nares. Berkali-kali ia memukulnya. Sampai cowok itu lemas tak bergerak. Bahkan tak bisa untuk sekadar malawan balik.     "Harusnya kamu nggak cari masalah sama aku, Res!"     Nares menyeringai. "Aku nggak pernah cari masalah, Tha. Justru kamu yang sejak dulu hobi mengkambing hitamkan aku dalam segala hal." Nares menjeda. "Apa aku salah?"     Kedua tangan Atha mengepal menahan amarah.     BUAGH ....     Sekali lagi Atha meninju Nares dengan keras. Atha berdiri, memutuskan untuk meninggalkan Nares yang tergeletak tak berdaya.     Nares adalah ancaman terbesar dalam hidupnya. Nares bisa saja mengambil semua cinta yang melimpah padanya. Atha tak akan pernah membiarkan hal itu terjadi.     Karena ... semua cinta adalah mutlak milik Atha ... seutuhnya. *** TBC
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD