Part 1

1026 Words
Bersama hembusan angin malam, aku titipkan seonggok rasa yang tak pernah lekang oleh waktu. Bersama kegelapan, aku terselimuti oleh kerinduan dari sang belahan jiwa yang lama kutinggalkan. Bersama derai air mata, aku menatap luka yang tak kunjung mengering bahkan semakin menyakitkan. Bersama kesunyian, aku ingin kau menemani malamku yang penuh kenanganmu - Yukinoshita  Kabut menyelimuti jalanan Ibukota dengan pekatnya. Langit mendung masih setia menjadi atap bumi. Mentari enggan menampakkan sinarnya dan setia bersembunyi di balik awan-awan hitam. Burung-burung pun masih terlelap dalam dekapan embun pagi. Tapi tidak denganku. Ku sibak selimut dengan malas. Ke kerjapkan mata berulang kali demi memenuhi kesadaranku. Dengan langkah malas aku mangayunkan kaki menuju kamar mandi kecilku. Hariku dimulai dengan ritual singkat namun wajib ku lakukan sebelum berangkat kerja. Namaku Yukinoshita, teman-temanku biasa memanggilku Yuki. Tahun ini aku berusia dua puluh lima tahun. Jangan tanyakan aku sudah menikah atau belum! Jawabnya tentu saja belum! Aku masih suka bersenang-senang. Menikmati masa mudaku yang tak akan ku dapatkan lagi ketika sudah tua nanti. Selain itu, aku masih menunggu dia datang menjemputku. Entah kapan waktunya, aku akan setia menunggu. Oh ya, aku tinggal di Ibukota seorang diri. Kenapa seorang diri? Karena aku tidak punya siapapun disini. Aku hidup sendiri sejak tujuh tahun yang lalu. Saat aku duduk di bangku SMA. Lalu, bagaimana dengan pendidikanku? Biaya hidupku? Kalian tenang saja, aku ini anak cerdas, mandiri dan cekatan. Aku bersekolah dengan mengandalkan beasiswa prestasiku hingga kuliahpun aku masib mengandalkan beasiswa. Tentang biaya hidup aku bekerja sambil sekolah. Menjadi pramuniaga di toko buku saat pulang sekolah hingga jam sembilan malam. Hingga aku lulus kuliah, aku masih bekerja disana. Sesekali aku berdagang online demi uang tambahan. Aku tinggal di kamar kos yang cukup luas menurutku. Seperti bukan kamar kos, lebih tepatnya kamar kontrakan. Di kamarku terdapat kamar mandi dalam, dapur minimalis, sofa walaupun terbilang kecil dan pastinya ranjangku. Aku menempati kos ini sejak tiga bulan yang lalu. Ketika aku mendapat pekerjaan yang luar biasa menakjubkan. Bagaimana tidak? Aku bekerja sebagai sekretaris pribadi di perusahaan properti. Walaupun aku masih karyawan magang, tetapi aku bangga pada diriku yang bernasib mujur karena telah diberi kecerdasan oleh Tuhan. Pagi ini, aku melakukan aktivitas seperti biasanya. Walaupun mendung telah mendekap bumi tidak ada alasan bagiku untuk bermalas-malasan. Pukul setengah tujuh saat aku telah selesai mandi dan sarapan dengan roti beserta selai cokelat kesukaanku, aku bergegas berangkat ke kantor dengan menaiki ojek online yang telah kupesan terlebih dahulu saat sarapan. Hari ini aku harus berangkat menggunakan ojek online karena rekan kerjaku sekaligus sahabatku sejak SMA tidak masuk karena harus mengurus putri kecilnya mendaftar play group. Sahabatku, Irnandya, sudah menikah empat tahun yang lalu ketika dia masih kuliah. Namun aku salut padanya. Irna masih tetap melanjutkan kuliahnya meskipun sempat cuti kuliah selama satu tahun karena hamil dan melahirkan. Irna bekerja di perusahaan tersebut terlebih dahulu. Kira-kira enam bulan yang lalu. Aku sendiri tidak menyangka jika bertemu dia bahkan satu kantor dengan Irna. Sungguh sebuah keberuntungan bagiku. Hampir tiga puluh menit ojek yang kutumpangi telah sampai di kantorku. Seperti biasa, aku menebar senyum kepada setiap karyawan wanita yang berpapasan denganku. Hanya karyawan wanita, tidak dengan karyawan pria. Aku bukan tipe wanita genit yang murah senyum kepada setiap pria meskipun itu rekan kerjaku. Namun, setelah ku pikir-pikir ada yang aneh dengan gelagat para wanita disini. Tidak satupun senyumanku yang terbalas. Bahkan mereka melempar tatapan sinis padaku. Apa ada yang salah denganku? Tanpa ku pedulikan, aku mengayunkan kakiku menuju lift yang akan membawaku ke ruang kerjaku yang berada di lantai paling atas. Di dalam lift terdapat dua wanita yang berdiri bersebelahan denganku. "Hey, Ki. Selamat ya." Seorang wanita yang berada di lift entah siapa namanya aku lupa memberi ucapan selamat dengan senyuman mengejek. "Untuk apa?" jawabku santai. "Ihh, diam, Lin. Ngapain sih bicara sama pelakor," seorang wanita disebelahnya bicara berbisik namun bisa ku dengar dengan jelas. Kedua wanita itu tersenyum puas. Aku mengernyitkan dahiku. Aku sama sekaki tidak mengerti dengan perkataan mereka. Tak berselang lama, kedua wanita itu keluar dari lift terlebih dahulu. Beberapa detik kemudian, aku telah sampai di lantai dua puluh lima, lantai paling atas. Di lantai ini terdiri dari beberapa ruangan. Ruangan pemimpin perusahaan, ruang kerjaku, ruang tangan kanan pemimpin perusahaan dan ruang meeting yang sangat luas. Aku sangat beruntung bisa ditempatkan diruang kerja yang luas dan sangat indah menurutku. Tetapi ini semua juga berat karena aku harus berhadapan langsung dengan pemimpin perusahaan. Betapa terkejutnya aku ketika melihat seorang pria asing berkutat di depan layar laptopku. Siapa dia? Beraninya masuk ke ruang kerja ku tanpa seijin aku. Lagian siapa aku harus meminta ijin padaku? "Hey, Tuan. Siapa kau dan sedang apa kau disitu?" aku melangkahkan kaki mendekati pria asing itu." "Siapa aku bukan urusanmu, Nona." jawabnya tanpa memandangku sedikitpun. "Tapi kau duduk di kursi kerjaku, Tuan." aku-pun memandangnya malas. "Kau bisa duduk di sofa itu. Dan jangan memanggilku tuan. Panggil Noxa," jawabnya lagi. Di ruang kerjaku memang terdapat sofa panjang di tepi tembok. Kadang aku rebahan di sofa itu ketika tubuhku sangat lelah. "Hari ini aku sangat sibuk. Jika Anda tidak ada kepentingan lain silahkan keluar dari ruangan saya. " Aku melihat pria itu berdiri. Berjalan ke arahku dan menatapku tajam. Aku tidak membalas tatapan itu. Aku tidak mempunyai keberanian yang cukup untuk memandang pria. "Bekerjalah." Pria bernama Noxa itu melenggang pergi. Saat aku berbalik badan, aku hanya melihat punggungnya yang menghilang dibalik pintu. Entah mengapa, jantungku berpacu begitu cepat. Tidak seperti biasanya saat aku bersama beberapa mantan kekasihku. Namun, rasanya seperti mengingatkan aku pada dia. Tubuh tinggi dan gagahnya. Aroma maskulin yang menyeruak membuatku sedikit terpesona. Hanya sedikit. Pikiranku masih bertanya siapakah pria lancang itu? *** Jam istirahat telah mengingatkanku akan gejolak yang sedari tadi memberontak di lambungku. Aku berinisiatif untuk memesan seporsi nasi padang dan ice lemon tea yang kelihatannya menyegarkan. Aku sengaja memesan makanan pada Office Boy karena hari ini aku benar-benar sibuk. Pekerjaanku menumpuk. Sedangkan deadline untuk tugas-tugasku semakin cepat saja. Tak butuh waktu lama untuk menunggu makan siangku datang. Karena aku benar-benar tidak bisa meninggalkan laptopku, aku pun makan ditemani dengan setumpukan berkas. Baru saja aku memasukkan beberapa sendok makanan, tanpa sengaja sikuku menyenggol gelas yang berisi ice lemon tea ku. Astaga! Kacau! Lihatlah, mejaku basah! Berkas-berkasku?!! OH MY GOD!!! 
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD