Chapter 1

3152 Words
Cita-citanya dulu ingin sekali pergi dari rumah. Hidup sendiri di kota besar lantaran bekerja di sebuah perusahaan besar. Perusahaan yang mampu menggajinya dengan sangat layak sehingga ia bisa menikmati hidupnya yang sudah berusia 25 tahun itu. Gilang, pria asal Malang, yang menarik kopernya dan baru saja keluar dari pintu keluar Stasiun Pasar Senen di siang menjelang sore itu. Untuk pertama kalinya, ia hirup sedalam-dalamnya udara kotor penuh polusi di sekelilingnya. Ah, sangat kotor dan panas sekali. Tidak seperti di Malang yang meskipun polusi di mana-mana tapi udaranya tidak selembab Jakarta. Udara lembab yang mempermudah debu menempel pada kulit Gilang hingga pria itu lama-lama risih juga menunggu mobil yang ia pesan menghampirinya. Tapi, itu tidak terlalu lama. Cukup menunggu 5 menit saja, seorang supir mobil yang dipesannya datang dan membawa Gilang ke apartemen yang akan ditinggalinya selama 1 tahun penuh. “Habis dari mana, mas?” pertanyaan si supir, biasanya hanya sebuah basa-basi saja. “Oh, saya dari Malang, pak. Di sini baru pindah kerja.” Mulut sang supir membulat, “Kerja di mana, mas?” “PT. Sinar Amerta Sandjaja, pak. Saya akuntan baru.” Lagi-lagi bibirnya membulat, “Tetangga saya ada yang kerja di situ, mas!” Gilang antusias, “Oh ya? Bagian apa, pak?” tanggapnya walau ia sangat ingin diam dan melihat jalan. Perjalanan menggunakan kereta itu sangat melelahkan. “OB, hehe.” Jawabnya. “Kata dia, bos-bos di sana baik-baik, mas. Ramah meskipun sama bawahan. Pantes tetangga saya itu betah di sana. Kalo pas kosong, dia juga ikut ngojek kadang. Tapi, dia naik motor kalo saya mobil. Mangkalnya di tempat yang sama.” Ok, oversharing, batin Gilang mencoba melempar senyum antusias. “Yah, semoga teman bapak betah terus di sana.” “Rejeki nggak ada yang tahu, mas. Kalau tiba-tiba ada tindak kriminal di kantor, temen saya ini suka takut jadi kambing hitam. Biasanya begitu, kayak ada berkas hilang di kantor yang disalahkan OB, ada apa-apa sama atasan yang dicari sama diinterogasi OB katanya kan OB yang berberes pastinya tahu, gitu. Temen saya bilang mending ditugasin beresin WC sama Kantin deh ketimbang ruangan.” Dan pembicaraan itu didominasi oleh sang supir yang sangat pandai bercerita dan berbicara. Gilang sampai tak memperhatikan jalanan padahal ia sangat ingin melihat pemandangan kota Jakarta, merasakan hiruk-pikuk kendaraan yang lalu lalang di dalam kota, atau lainnya. Kini, telinganya seperti mau tidak mau mendengar cerita keseharian si supir itu. Dia bekerja di mana, ini mobil siapa, tempat dia mangkal, kejadian-kejadian yang terjadi di daerah apartemen baru Gilang. Semua informasi dari penting hingga tak penting pun masuk telinga kanan tapi detik itu juga Gilang keluarkan lewat telinga kirinya. Sesampainya di lobi apartemen, Gilang memberi senyum paling sumringah dan membahagiakan sebab penderitaannya kini telah berakhir. Angan-angan beristirahat di dalam mobil sudah sirna dan sekarang dia berharap kondisi apartemennya sudah bersih dan rapi seperti kata seorang agen apartemen kepadanya beberapa hari lalu. Ketika memasuki lobi, dia bertemu dengan Cipto, seorang pria yang Gilang kira usianya 30 akhir. Tampak rambut bagian depannya mulai menipis hamper botak dan jambangnya agak beruban juga. “Mas Gilang ya?” “Benar, pak. Bisa langsung antar saya?” “Mari, mas. Saya sudah nunggu Masnya dari sejam yang lalu.” Sahutnya lalu membimbing Gilang menuju unitnya. “Kamarnya sudah saya rapikan. Barang-barang elektronik di sana juga masih fungsi dengan baik, mas. Tapi, sesuai perjanjian di awal ya. Saya mohon jangan memindahkan barang-barang apapun apalagi kulkas, mas.” Gilang heran. Memang, Pak Cipto ini kemarin berkali-kali mengatakan kepada Gilang untuk tidak menggeser perabotan apalagi kulkas. Kalau mau memutar atau menggeser kasur dan meja di dekat kasur masih tidak apa-apa. Pokok jangan kulkas, “Sambungan kabelnya pendek kah? Kok sampai nggak boleh dipindah?” “Eng… iya, mas. Belum sempat bongkar. Jadi, biarin begitu aja dulu. Lagian, penempatannya nggak buruk-buruk amat kok. Masih ngasih ruang banyak banget malah. Kan, arsitek kita jago-jago, mas.” Gilang hanya terkekeh di dalam lift bersama Pak Cipto. Kekehannya berhenti kala mereka sudah sampai di lantai 7 apartemen itu. Kamar Gilang berada di unit 715, kamar paling ujung dan di sudut. “Tetangga di sini ada nggak, pak?” “Oh, saya kurang tahu, mas. Punya saya ya unit ini dan 5 unit di lantai lainnya.” Kemudian Cipto membuka pintu dan mempersilahkan Gilang masuk lebih dulu. Hawa kamarnya dingin, seperti ruangan yang AC-nya dinyalakan semalaman. Begitu dingin hingga membuat tangan Gilang menggosok lengannya. “Pak, lupa matiin AC?” Cipto terkekeh, “Oh, mungkin karena letaknya dipojok dan membelakangi matahari makanya di sini agak dingin. Saya kalau nyewakan ke orang selalu gitu, kesan unit ini dingin. Ya maklum, nggak langsung kena teriknya. Tapi kalo sore, buagus banget, mas. Mas Gilang bisa lihat matahari tenggelam tanpa harus kemana-mana. Ini fasilitas yang nggak akan mas Gilang temuin di apartemen manapun.” Katanya sembari berjalan membuka pintu balkon dan jendela balkon, “Matahari terbenam di sebelah sana, mas. Cahayanya langsung masuk ke rumah jadi nggak begitu terik.” Imbuhnya. Lagian, siapa yang peduli dengan pemandangan sore hari? Kalau kelelahan, Gilang bisa tidur dari malam ketemu malam. Belum lagi kegiatan lain-lain di akhir pekan nanti. Susah baginya untuk meluangkan waktu di akhir pekan sejauh ini. Biasanya pasti ada saja yang mengajaknya bermain. Tapi, berhubung dia masih baru di sini, mungkin matahari terbenam bisa menjadi sedikit pertunjukkan dikala kesendiriannya. Pak Cipto mengajak Gilang berkeliling sejenak sambil menjelaskan perihal pembayaran listrik, fasilitas wifi, air, dan iuran bulanan untuk kebersihan lingkungan. Beliau juga memberi informasi di mana saja Gilang bisa membeli gas dan galon air minuman, perabotan tambahan yang murah, pasar untuk membeli bahan makanan, dan sebagainya. Beliau jelaskan secara detail dan sewajarnya saja. Gilang merasa bersyukur akan hal tersebut, dia dipertemukan dengan orang baik di kota yang keras ini. “Mas, saya pulang dulu. Untuk biaya sewanya, sudah satu tahun ya?” “Iya, pak.” “Ya sudah, semoga mas Gilang betah. Kalau nggak betah, saya nggak bisa balikin uang satu tahun full. Karena perjanjian kontraknya begitu, kan?” Gilang mengernyit aneh tapi kemudian setuju, “Iya, pak.” Menatap heran. “Hehe, kalau nggak betah dan mau pergi, berarti pengembalian uangnya cuman setengah ya, mas?!” kata beliau seolah mengingatkan. Padahal beberapa menit lalu Gilang merasa orang ini baik, eh ternyata ada niat untuk meraup keuntungan juga. “Iya, pak. Lagipula apartemennya udah cukup nyaman untuk saya. Tidak terlalu bising dan terik juga.” Cipto terkekeh dengan gelagat tenangnya. “Oke, kalau ada apa-apa jangan sungkan untuk telepon saya, saya coba bantu sebisanya ya, mas. Saya pamit dulu, selamat beristirahat.” Pamitnya. Namun, ketika Gilang hendak menutup pintu, pria tersebut berbalik, “Mas, jangan digeser ya kulkasnya. Saya nggak mau ada apa-apa.” Aduh, kabel?, batin Gilang. “Iya, pak. Kalo masalah kabel, saya juga nggak terlalu ahli. Jangan khawatir, saya nggak akan ngerusak properti pak Cipto.” “Ya sudah kalau begitu, saya pergi dulu.” Pamit terakhir beliau lalu Gilang menutup pintu unitnya yang dingin itu. Di dalam terasa sangat sunyi. Hanya suara hembusan napas dan langkah kaki halusnya saja yang terdengar. Berada di dalam apartemen studio dengan fasilitas full furnished, dapur, dan kamar mandi itu terbilang sangat murah. Bagaimana bisa jika rata-rata harga sewa kamar di sini bisa mencapai 2,5 juta – 3 juta sedangkan apartemennya ini hanya seharga 1,5 juta? Gilang tanpa pikir panjang langsung membooking dan membayarnya setahun penuh. Ini sangat murah dan menggiurkan. Dia bisa mengajak siapapun masuk ke sini, dia tidak akan diomeli oleh siapapun, tidak ada jam malam pula, tidak perlu berinteraksi dengan setiap hari atau bulan yang mana itu bisa terjadi jika dia ngekos. Ah, pokoknya nyaman. Dia bisa bersantai dengan tenang sembari menonton televisi meskipun siaran di situ mengenai berita tentang Kebakaran yang melanda di sejumlah titik di Pulau Sumatera. Gilang membongkar koper dan meletakkan seluruh baju ke dalam lemari kemudian beranjak tidur dengan melewatkan makan malam. Tulang duduknya sangat kesakitan karena melalui perjalanan panjang dan lama dari Malang ke Jakarta. Dia harus menyiapkan tenaga untuk besok karena jasa ekspedisi sudah mengatakan jika barang-barangnya akan di kirim ke apartemen besok dan motornya juga sudah sampai, menunggu untuk diambil pemiliknya. Hari berakhir begitu saja bagi Gilang. Dia merasa seperti di rumahnya. Hawanya dingin. Namun, tidak menyejukkan. Hanya dingin, dingin yang tak membuatnya nyaman. Bolak-balik Gilang terbangun dan tatapannya selalu mengarah ke kulkas. Sebenarnya, ada apa dengan kulkas itu? Kenapa rasanya Gilang ingin terus menerus menatap kulkas itu? Dan, kenapa juga tidak boleh digeser? Memang kalau digeser sedikit, bisa rusak semua kulkasnya? Malam-malam Gilang yang setengah sadar bergumam dengan sendirinya tentang kulkas dekat dengan pantry dapurnya.                                                                                  --- Hari pertama Gilang menyambut pagi di Jakarta. Udaranya agak membuatnya gerah, padahal itu masih pagi. Apalagi suhunya yang sudah 24°C di pukul 5 pagi. Ia harus beradaptasi dengan suhu kota ini. Pasalnya Gilang sedari lahir terbiasa dengan suhu 15°C pukul 5 pagi. Mungkin kalau ada yang mau menciptakan AC berukuran raksasa, Jakarta bisa sedikit lebih sejuk. Sayangnya itu mustahil, pemerintah kota lebih suka menanam pepohonan dan membuat ruang terbuka hijau untuk membuat udara kota ini tidak begitu terik dan berpolusi. Badannya bergemeretak kala persendiannya ia gerakkan di pagi itu. Terasa kaku karena semalam suntuk yang dia lakukan hanya tidur pada satu posisi saja. Tidur miring memeluk guling. Untung ia masih ada waktu untuk beristirahat sebelum bekerja. Lagipula, jeda 2 hari ini tidak benar-benar membuatnya istirahat. Saat teleponnya berteriak, di situlah ada kabar jika pihak ekspedisi yang membawa barang-barangnya sudah sampai di depan apartemennya. Banyak sekali kardus-kardus sampai koper tambahan yang Gilang bawa dari Malang. Isinya seperti kursi putar, meja komputer, komputer gamingnya, buku-buku berserta rak buku rakit miliknya. Untung saja ia tidak membawa banyak barang dari Malang, sebab apartemennya ini memang sudah penuh. Kondisinya seperti bukan apartemen yang ditinggalkan. Sangat lengkap. Rak sepatu, ada. Tempat payung, ada. Jemuran, ada. Alat masak dan makan, lengkap. sofa dan meja kecil untuk tamu, ada. Kulkas—meskipun kosong, ada dan masih bagus. Isinya sangat lengkap bahkan tanaman di pojok dekat pintu balkon pun tumbuh dengan sehat menambah kesan cantik ruangan ini. Dan yang paling seru adalah harganya yang SANGAT miring. Yah, meskipun ada kesepakatan tidak enak tapi itu bukan masalah. Selama fasilitasnya enak, mau ada hal-hal jelek itu bisa diatasi nanti. Gilang membuang jauh-jauh pikiran buruknya. Ia tidak mau memikirkan hal tidak terbukti kebenarannya, yang hanya berasal dari kecurigaan otaknya yang begitu kreatif, dan tidak ingin memikirkan hal-hal yang belum tentu terjadi. Intinya, Gilang tidak harus merasa overthinking dengan keadaannya saat ini. Mungkin, ini rejeki anak soleh sebab ia selalu memberi sebagian gajinya selama ini kepada sang ibu untuk mengoleksi daster batik yang dibeli di Pasar Besar Malang dan bisa jalan-jalan ke resort-resort di Batu ataupun makan di Mall Olympic Garden Malang setiap minggunya. Setengah harian dia habiskan untuk merakit ulang meja, kursi, dan komputer gamingnya itu. Tak begitu rumit untuk orang yang hobinya bermain Game PC seperti Gilang untuk merakitnya. Ada kepuasan tersendiri ketika 3 benda kesenangannya itu telah tersusun dan ia letakkan di ruang kosong dekat jendela balkon dan tempat tidurnya. Tinggal mencari kabel panjang dan beberapa tali supaya kabel-kabel yang berserakan di bawah meja terlihat rapi. Gilang terlalu lama bersama benda-benda mati ini hingga ia lupa mengambil motornya yang juga sudah sampai di kantor ekspedisi. Akhirnya, dia memutuskan untuk pergi mengambilnya sambil mencari makan. Perutnya sudah sangat keroncongan. Bekal roti sisa perjalanan kemarin tidak bisa mengenyangkan perutnya seharian. Cowok itu melenggang pergi setelah ojek orderannya sampai di depan lobi gedung apartemennya. Untungnya, kali ini si tukang ojek tidak terlalu banyak bicara. Beliau masih muda, Gilang perkirakan usia mereka sama atau bisa lebih muda. Awal yang bagus saat tukang ojek belok keluar dari area apartemen. Setelahnya, Gilang hanya bisa diam sembari memegang pegangan belakang jok. Yang benar saja. Si Abang Ojol memang tidak banyak bicara, tapi manuver berkendaranya sudah sangat gila-gilaan. Meskipun jalanan ramai, ia sama sekali tidak mengurangi kecepatan. Gilang dalam hati hanya berdoa, semoga ia masih membuka mata untu 5 menit ke depan. “Mas, pelan-pelan dong.” Kata Gilang ketakutan, matanya membelalak saat melihat spidometer sudah hampir mencapai 70 km/jam. “Saya nggak keburu, mas. Bener!” Nyawaku satu, mas. Aku sayang-sayang lho ini, rintihnya dalam hati. “Lho, tapi saya yang keburu. Pacar saya ngambek, mas. Minta dibeliin McD! Kalo telat, saya diputusin!” Waduh, kenapa nyawaku jadi ada di tangan cewek nggak jelas?, batinnya lagi. “Maaf ya, mas. Tenang, saya handal kalo masalah kebut-kebutan. Saya anak Racing.” “Hah?” Gilang kaget, “Mas, nyawa saya berasa di ubun-ubun lho ini! Ada jeglongan satu, kelempar bisa-bisa!” “Aman lah sama saya. Pegangan, mas! Kita jalan 75!” Abang Ojol makin mengebut dengan wajah sumringah akibat adrenalin yang mengalir deras berbeda dengan Gilang, ia memucat. Lehernya tercekik tali helm sebab helmnya terangkat hampir lepas dari kepalanya. Matanya tertutup karena anginnya terlalu kencang—ia juga takut melihat bagaimana cara si tukang ojek menghindari kendaraan di depan mereka. Rasanya mau lepas saja diajak kebut-kebutan hampir 90 km/jam. Untuk pertama kalinya, ia merasa hidupnya dalam bahaya dan begitu dekat dengan kematian. Kakinya bergetar ketika sang ojek menurunkannya di depan kantor ekspedisi. “Mas, bintang 5 ya?” “Palamu bintang 5! Kamu nggak pernah dikomplain customer ya?” Gilang berseru ditengah-tengah detak jantungnya yang kacau. “Belum, mas. Jangan komplain dong. Kan, masnya masih sehat tuh, nggak luka-luka juga—“ “Keselamatan saya sudah dipertaruhkan!” selanya. Tukang ojek online itu cengengesan, “Aman lho berkendara sama saya. Kalo bukan gara-gara saya mau diputusin, saya nggak gini kok, mas. Bener deh. Ini pacar saya baru jadian pagi tadi. Jadi saya takut diputus, mas.” Gilang tercengang. Nyawa yang hampir di ujung tanduk barusan adalah korban dari kebucinan orang baru jadian. “Kalo saya putus, emangnya mas mau jelasin ke pacar saya kalo saya lagi anterin mas ke sini.” “Ya enggak mau, kok aku yang ribet!” bentaknya dengan mata menatap ke atas dan kebawah. “Nah makanya, bintang 5 ya mas, hehe. Sama sekalian doain saya langgeng!” katanya setelah ia melihat jika pembayaran virtual Gilang telah masuk ke akunnya. “Kamu yang hampir putus, aku yang hampir mati! Hoalah, bucine kebuacut! (Oh, bucinnya keterlaluan!)” katanya mengiringi kepergian tukang ojek itu. Gilang tak langsung masuk ke kantor tersebut melainkan menghampiri warung kecil yang menjual minuman. Dia butuh menetralkan diri sembari banyak-banyak bersyukur karena masih dilindungi. Dasar, tukang ojek gila!, umpatnya dalam hati. Walau begitu, jarinya malah memberi bintang 4 sebab ia tahu hidup di kota besar seperti ini pasti sangat susah. Ini hanya bentuk belas kasih selayaknya perantauan saja. Kota besar tak benar-benar baik kepada semua orang sehingga jika ada kesempatan untuk berbuat baik lebih baik berbuat baik saja. Siapa tahu bisa dapat balasan. Setelah menenangkan kakinya yang gemetar, Gilang baru masuk untuk mengambil motornya. Motor matic yang menemaninya selama satu tahun terakhir ini. Motor yang dibeli lewat hasil kerja kerasnya selama kuliah dan bekerja di kantor akuntan di Malang selama 3 tahun. Motor yang ia sayang pokoknya. Sahabatnya yang selalu berkeliling dengannya saat hatinya gundah gulana dan penat gara-gara kehidupan yang melelahkan. Dan, kini ia akan berpetualang dengan Rio—nama motor matic berwarna hitam itu untuk mengelilingi Jakarta. Tak lupa dia memasang GPS lalu mengingat belokan demi belokan. Ini menyenangkan untuk Gilang. Berkendara sendirian—dengan pelan tentunya—menikmati bangunan yang ada di kanan kirinya bersama dengan kendaraan lain. Sampai akhirnya, gemerintik air secara halus mendarat ke tangannya. Gilang menengadah sekilas pada langit yang kelabu. Dalam hati, dia berdoa supaya hujan tidak turun dengan deras sebelum ia sampai. Nyatanya, alam berkata lain. Awan itu mengguyur Gilang yang tak dilindungi oleh jas hujan. Ia basah kuyup sebab jas hujannya masih ada di dalam koper. Bukannya menepi, Gilang malah meneruskan perjalanannya. Padahal semua orang telah menepi dari jalan. Melihat itu, Gilang semakin enggan berhenti. Sudah lapar, kehujanan pula. Ah, lebih baik delivery saja, batinnya lalu menarik gas lebih kencang lagi. Sesampainya di basement apartemen, Gilang menggibas-gibaskan jaket denim kuning kesayangannya. Ia menyisakan kaos putih yang setengah basah dan celana kakki warna hitam yang sudah sangat basah hingga dalamannya juga basah. Benar-benar tak nyaman untuk dibuat jalan. Ia pun buru-buru naik ke unit sebelum ia masuk angin. Ketika ia membuka pintu, ia melihat keanehan. Ini adalah keanehan pertama di apartemen ini. Gilang bingung dan terdiam di depan kubangan air depan pintu kamar mandinya. Tidak ada rembesan dari atas, dari samping, apalagi dari bawah—mana mungkin air merember dari bawah ke atas tanpa bantuan benda berpori bukan? Gilang acuh, cowok itu hanya berpikir mungkin tadi dia tak sengaja menumpahkan sesuatu dan lupa mengepelnya. Meskipun ia sendiri mempertanyakan emangnya dia menumpahkan apa sedari tadi? Kan, focus mata, kaki, dan tangannya tertuju pada rakitan komputer gamenya. Saat hendak mandi, handuknya malah sudah basah kuyup. Bukan basah yang habis dipakai mandi melainkan handuk yang sengaja tercelup. Gilang masih bisa melihat air yang menetes pada handuk itu membasahi kamar mandi keringnya. Sekali lagi, dia menatap atap kamar mandi. Nihil. Tidak ada rembesan air dari atas. Lantai kamar mandinya juga sangat kering. Gilang menoleh ke kanan dan ke kiri. Mencari sesuatu tapi tidak tahu apa yang dicari. Pertanyaan yang bercokol di otaknya hanya berasal dari mana air ini? Siapa yang membasahi handuknya? Siapa yang memakai handuknya? Orang iseng mana yang memasuki apartemennya padahal kunci serep apartemen ini dibawa oleh Pak Cipto? Apakah ada orang yang membobol apartemennya? Aduh, Gilang kini agak was-was dengan tempat tinggalnya sendiri. Dia mengambil handuk lain di dalam lemari dan mandi. Membilas diri menggunakan air hangat itu sangat menenangkan. Kulitnya yang menggigil dan memerah akibat air hujan, perlahan menghangat dan kembali ke warna kulitnya yang kuning bersih untuk ukuran cowok. Selesai mandi, ia menyambar handphone dan memesan makanan. Hari ini dia mau makan sesuatu yang hangat. Soto Jakarta menjadi pilihannya saat ini. Penasaran juga rasa soto khas kota ini seperti apa. Dulu cita-cita Gilang saat kecil adalah menjajal seluruh soto-soto khas daerah di seluruh Indonesia. Namun, kini dia harus tertampar realita. Profesinya sebagai akuntan tidak mengijinkannya berkeliling Indonesia untuk menjajal soto-soto khas daerah. Paling tidak, soto Surabaya, soto kudus, soto madura, dan soto Jakarta yang baru dia rasakan saat ini. Sembari menunggu makanannya diantar, dia mengambil keset untuk mengelap genangan air di depan pintu kamar mandi. Kakinya menggesek-gesekkan lap ke lantai dengan tangannya berpengangan pada dinding. Setelah agak kering dia mundur dan tak sengaja menggeser kulkas sampai kulkas tersebut hampir limbung. Gilang reflek memegangi kulkas itu, gayanya malah mirip memeluk. “Huft, kalo jatuh bisa-bisa tabunganku habis buat ganti kulkas besar dan bagus ini. Mana merk mahal lagi!” katanya kemudian melenggang pergi. Srett… Suara entah dari mana membuat Gilang membeku. Ia berkedip dan terpaku. Suara apa itu tadi?, batinnya tak berani menoleh ke belakang. JEDERRR…. Jantungnya serasa ingin lepas. Guntur itu mampu menggetarkan badan Gilang dengan hebat dan menggerakkan cowok itu untuk melihat kulkas. Matanya membelalak. Tadi ia memang tak sengaja menggeser kulkas. Gilang memang memilih acuh pada kulkas yang miring karena tubuhnya yang limbung setelah mengepel tadi. Namun, kenapa kulkasnya sekarang kembali lurus? 

Great novels start here

Download by scanning the QR code to get countless free stories and daily updated books

Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD