Kalimat Mei terngiang - ngiang di otaknya. Tapi dia serius, nggak ngeh, 'susah' di bagian man yang sudah dia bikin?! Justru malah harusnya gampang, dong. Jun mungkin cuma penasaran sama dia. Dan dia oke untuk jadi bahan eksperimen Jun.
Secara kan Jun sudah tau bagaimana rasanya Mei. Tapi April kan ibaratnya lahan baru. Iya nggak?
Walaupun kalau dipikir lebih dalam lagi, sebenarnya dia menyesal. Iya, menyesal. Karena dia harus sampai sejauh ini untuk Jun. Apa bedanya dia sekarang sama cewek - ceweknya Jun yang list nya nggak habis - habis itu coba?!
Ya bedanya cuma mereka siap kapan aja Jun butuh mereka, sedangkan dengan April, Jun yang harus menyesuaikan tempo April.
"Anying, gue jadi overthinking." April mengeluh, menjambaki rambutnya yang dibiarkan tergerai karena dia berencana untuk tidur.
Dia sudah berada di atas ranjangnya di dalam kamar. Sudah berniat untuk tidur sejak kira - kira sejam yang lalu. Tapi hasilnya, matanya malah nyalang dan malah kepikiran Jun lagi Jun lagi.
April sedang menimbang - nimbang, apakah keputusannya memberikan Jun kebebasan untuk menikmatinya itu salah.
"Ya salah, lah, Aprilia. Dosa, tau! Beg* banget sih gue." Dia menyanggah pemikirannya sendiri.
Tapi yang dimaksud April bukan salah dan benar dalam koridor dosa. Melainkan dalam koridor hati, moral dan kemanusiaan.
Bagi sebagian orang, mungkin akan berpendapat kalau April lebay. Padahal cuma begitu saja, nggak diapa - apain. Tapi bagi April, ini penting! Dia belum pernah melakukan apapun yang mendekati itu sebelumnya. Dan kalau bukan Jun, dia pasti nggak akan mau melakukannya.
Dan sekarang, Bu Sabrina datang, menusuk balon mimpi April dan membuatnya jatuh kembali ke kenyataan.
Dia suka sama Jun, tapi apa Jun suka dia balik? Dan dia berakhir menjadi salah satu cewek - cewek Jun yang rela membuka kaki kapanpun cowok itu butuh. Dia akan dicampakkan. Buktinya Jun sekarang mencampakan semua cewek - ceweknya. Jun bilang itu karena April mau sama dia.
Tapi bagaimana kalau rasa penasaran Jun sudah hilang? Atau Jun dapat mangsa baru yang bikin dia penasaran?
"Sh*t jadi nyeseg gue." Makinya saat da*anya berdenyut sakit. "Seenggaknya lo nggak mewek Bombay lagi, Pril. Yang though, dong, lo." Dia berbicara pada dirinya sendiri.
Bukan dia nggak ingin menangis, tapi dia sedang tak bisa menangis. Katakanlah dia masih shock gara - gara Bu Sabrina yang sekarang tahu kalau April dan Jun….
"Bodo ah! Gue mau tidur!"
***
April sudah memutuskan. Mulai hari ini, dia akan mengikuti saran Mei. Kemarin Kakaknya itu sudah memberinya banyak masukan. Dan dia akan mempraktekkannya satu per satu.
Pertama, jangan bareng Jun dulu selama beberapa saat. Kecil sih, jadwal Jun dia hari ini akan selalu berada di luar kantor. Lalu setelahnya, dia akan mengambil cuti sekitar dua Minggu untuk ke Surabaya bersama Bunda untuk mengunjungi Nenek. Bagian mengunjungi Nenek ini tentu saja info dari orang dalam alias Jun sendiri. Di sana nanti akan ada Ayah juga.
Sengaja ambil cuti sekarang sebelum acara anniversary perusahaan berlangsung dan pernikahan Mei dilangsungkan.
Kedua, jangan pedulikan Bu Sabrina dulu. Biar dulu dia berspekulasi semaunya dia. Kalau dia datang mengancam lagi, usahakan untuk merekam. April mengelus recorder pemberian Jun saat ulang tahunnya dulu yang dia siapkan di saku dalam blazernya.
Ketiga, lanjutin usaha buat move on.
"Eh eh eh, gue belom sarapan!" April berseru pada Mei yang akan melenggang berangkat.
"Urusannya sama gue?!" Kakaknya berbalik dan memandangnya heran.
"Gue bokek karena gue harus nabung, dan lo bilang kalau gue nggak boleh bar…."
Mata besar Mei yang mirip dengan matanya melebar paham. "Udah udah, iya. Gue inget. Harus banget lo sarapan? Udah jam segini!"
"Ya elah, dua menit! Tiga suap doang buat syarat biar nggak kembung! Oke, oke?!"
Mei bersidekap dengan wajah disabar - sabarkan melihat April yang buru - buru ke belakang untuk sarapan.
"Gue tunggu di luar!" Teriaknya yang entah do dengar April atau nggak.
Di luar, Dodit sudah menunggu di dalam mobil, xia melambai saat melihat calon istrinya itu keluar dari rumah. Mei juga sumringah melihat Didit. Tapi senyumnya memudar saat melihat Jun yang sedang berjalan santai menuju rumahnya. Ini dia, biang!
"Eit, eit, mo ngapain?" Tanyanya galak.
Jun yang tak merasa salah mengernyit bingung karena Mei jadi galak.
"Apaan? Obat lo abis? Galak bener. Minggir ih, mau masuk."
"Mau ngapain?!" Tanyanya judes.
"Ck, kenapa sih lo? PMS? Ya kayak biasanya lah. Lo masih dukung gue, kan calon kakak ipar?"
Mei menirukan orang yang sedang muntah. Dia tahu perasaan Jun ke April. Walaupun nggak tahu persisnya bagaimana, tapi dia tau kalau cowok ini tertarik pada adiknya. Masalahnya dia nggak tau apakah niat Jun sama seperti yang dikhawatirkan April atau tidak. Dan lagi, di tak suka karena Jun masuh saja berhubungan dengan Fran. Mei mungkin masih bis santai kalau itu cewek lain, tapi nggak kalau Fran. Di nggak mau April kenapa - kenapa di tangan cewe gila itu.
"Orangnya udah berangkat." Jawabnya kalem.
"Hah?! Serius lo?! Pagi amat! Sama siapa?!"
Me mengedikkan bahunya acuh. "Nggak tau, dijemput pake motor tadi."
***
"Kan April masih di dalem, kok bilang sama Jun April udah berangkat?" Didit bertanya heran saat Mei masuk ke dalam mobil.
Iya, Mei baru saja bohong sama Jun. Tapi Mei nggak peduli. April bilang dia sampai diikuti pulang dan diancam salah satu teman kantornya yang naksir berat sama Jun, sehingga harus jaga jarak sekarang.
Mei sama sekali nggak keberatan mereka bersama kalau masalahnya cuma ada di mereka berdua. Mereka bisa ngobrol dan saling meyakinkan untuk menyelesaikannya. Tapi Mei nggak menyangka masalahnya lebih rumit dari perkiraannya.
April punya trust isur yang susah ditangani, Jun terlalu pede kalau April akan tau ke mana arah langkahnya. Dan semua itu berakhir pada pengambilan keputusan yang kurang bijaksana.
Keduanya sudah sama - sama berkorban. Tapi ibaratnya helm. Sudah terpakai bagus di kepala, lupa dikaitkan hingga berbunyi klik. Komitmen mereka semu. Ditambah sekarang rival di dunia nyata mulai muncul. Jujur, Mei khawatir April berhadapan dengan Fran. Wanita Medusa itu belum tau kalau April lah perempuan pujaan Jun. Bahwa April lah yang dilihat Jun saat berada di atasnya, bukan Mei.
Fran terlalu kuat untuk dihadapi, bahkan dia sendiri saja bukan lawan untuk Fran.
Lagi - lagi dia yang gemas sendiri. Pusing. memang seharusnya dia nggak ikut mengurusi kisah cinta orang. Mengurus acara pernikahannya sendiri yang kurang dari sebulan lagi akan dilangsungkan saja sudah amat bikin senewen.
"Biarin aja, Yang. Kalau dia percaya April belum berangkat pasti dia bakal masuk ngecek sendiri. Bukannya langsung percaya kata orang begitu."
"Tapi kan orang itu kamu, kakaknya April, bukan orang lain."
Mei menghela nafas panjang, agak putus asa. Cowok oh cowok. Apa pikiran kalian sesimpel itu? Cewek juga simpel kok. Hanya harus lebih peka aja.
"Gini loh, Yang. Kalau ada yang ngomong tentang kamu, bilang mewakili kamu ke aku, mau itu orang tua kamu sekalipun, aku tetap bakal konfirmasi sendiri sama kamu. Aku nggak bakal percaya bulat - bulat begitu aja perkataan orang lain tentang kamu."
"Meskipun Mama sendiri? Kamu nggak menghargai Mama, dong." Didit protes.
"Aku berterima kasih sama Mama karena udah sampein itu ke kamu. Tapi mau percaya atau nggak sama apa yang disampaikan Mama, itu hakku, kan? Apalagi ini tentang hubunganku sama kamu. Ngerti nggak bedanya?"