Hafsoh Nurul Kamila Scene

1686 Words
"Kumohon, Ra. Ini yang terakhir deh, janji!" Mila terus memohon kepada sahabat dekatnya. "Tapi, Mila Sayang ... kakakmu terus-terusan nerror aku." "Zahra As-Syifa ... aku memohon sangat padamu, pleaseeeeeee ...!" "Janji, yaa, ini yang terakhir!" "In syaa Allah, Habibati." "Baiklah, nanti aku kirim tempat persembunyian kamu yang terakhir. Tapi sebelumnya, kamu harus mengirim laporan kesehatanmu pada keluargamu, agar mereka tak kuatir." "Kya ... Syukron katsiir, Habibati. Setelah ini aku akan menelpon mami dan papi. Aku akan terbang besok pagi. Kirimkan alamatnya, ya! Aku tunggu." "Mau sampai kapan sih kamu begini, hemmm? Udah dua tahun lho, kamu jadi buronan keluarga."   Mila tak menjawab perkataan sahabatnya, apapun pendapat mereka tentangnya, biarlah jadi penilaian mereka. Dia yakin, merasa cukup, bahwa Allah-lah yang Maha mengetahui akan segala hal akan makhluk-Nya, termasuk dengan hatinya saat ini. Walau dia tak tahu, bagus dan jeleknya jalan yang ia pijak sekarang. "Aku doakan semoga kamu cepat mendapatkan jodoh yang saleh, tajir, dan tampan. Sekali lagi syukron, syukron, syukron ...." Tak menjawab, Mila mengalihkannya. Sekali lagi.  "Aahhhh ... aamiin. Oke sekarang istirahat, gih! Hati-hati ya, Mil! Jangan lupakan salat fardumu! Jangan lalaikan Sholat sunnahmu. Berbahagialah!"  Mila menggigit bibirnya agar tidak menangis, sungguh ia sangat malu dengan sahabatnya ini, walau umur mereka seusia, tapi Zahra seperti sosok seorang kakak untuknya, panutannya, dan tempat curhatnya di segala suasana. Penasihat paling bijak, seperti sosok guru baginya.  'YaAlloh ... Hamba yakin, Engkau akan memberikan jodoh terbaik untuk sahabat Hamba. Karena orang baik, hanya untuk orang baik pula.'  "Siap, Habibati. Berbahagialah juga untukmu! Assalamu'alaikum."  "Wa'alaikumussalaam."  'Klik'  Mila mendial nomor telepon rumah orang tuanya.  'Tut..tut..tut..'  "Halo"  "Halo, Assalamu'alaikum, Bik."  "Oalaaaah, Non Mila."  "100 buat Bik Iyem cantik."  "Oalahh, oalaaah, Nyaaa ... Nyonyaa ... Non Mila, Nyaa. Non Mila telepon ..." Mila tersenyum mendengar keributan yang dihasilkan pembantu sekaligus orangtua keduanya itu. "... mana, Bi? Mana-mana? Biar saya yang ngomong ... Assalamu'alaikum, Sayang. Gimana kabarmu? Sudah makan belum? Udaranya dingin nggak di sana?"  Mila sekuat tenaga menahan airmatanya agar tidak terjatuh. Terus-menerus menghirup udara, berharap sesuatu yang menghimpit dadanya itu sedikit melonggar. Mila tahu, di sana ibunya juga sedang menahan tangisnya. Mila menghirup nafas sedalam mungkin, "Wa'alaikumussalaam, Mami Mila yang cantik, baik hati serta rajin arisan. Tentu dooong, kabar Mila baik, dan Mila jamin, Mami akan syok melihat badan Mila nanti pas ketemu. Untuk pertanyaan terakhir, Mami tahu gak? Di sini tuuh, udaranya romantiiiiiiis banget. Betah pokoknya."  Terdengar helaan nafas di seberang sana, "Mami lega dengernya, ikut bahagia deh sama yang lagi berpetualang. Tapi, Sayang, Mami akan lebih bahagia lagi, jika mendengar putri cantik Mami pulang lho, hehehe."  "Pasti! Mila pasti pulanglah, kan tempat Mila pulang itu pelukan Mami."  "Tapi pastinya itu kapan, Sayang? Mami kangen banget sama kamu."  "Miss u so much, Mi. Miss u too. Tapi, maaf, Mi! Mila masih ingin berpetualang."  "Apa kamu kapok ketemu Kakek?"  "Hehe ... kok tahu, Mi? Mami cenayang, ya?"  "Yakin sama Mami! Kakek udah tobat sekarang, bukan lagi biro jodoh."  "Ya, Mi. Mila percaya kok, buktinya Kak Juand juga masih jomblo, hahaha."  "Berani ngatain kakakmu?"  "Makanya, itu rahasia, ya! Hihi. Jika kak Juand tahu, berarti Mami yang bocorinnya."  "Hihihi, tenang, Sayang. Rahasia aman di tangan Mami."  "Uuuh, Mami Mila ter-daebak pokoknya."  "Mi."  "Ya, Sayang?"  "Kak Juand sedang di Korea kan, sekarang?"  "Ma-mana mu-mungkin, Sayang."  Mila tersenyum. Ibunya, paling buruk jika berbohong. "Mi ... Mila akan bocorin rencana Mila sama Mami. Tapi, bisakah Mami menjaga kepercayaan Mila?"  "Iya, Sayang ... kamu mempercayai orang yang tepat."  "Mila catat itu, Mi."  "Iya, iya."  "Mila akan pulang ke Indonesia besok. Tapi, bukan pulang ke rumah. Maaf! Bila Mila terkesan durhaka. Namun, percayalah! Mila rindu kalian. Ini untuk yang terakhir kalinya, izinkan Mila berpetualang sekali lagi! Mila minta waktu enam bulan. Enam bulan, Mi. Setelah enam Bulan, Mila janji akan pulang sendiri tanpa harus dipaksa. Mami percaya kan sama Mila?"  "Sayang---"  "Mi, please!" Mila memohon sambil mendekap dadanya. Walau dia tahu, ibunya tidak akan melihatnya.  "Aaaah ... apa sih yang bisa Mami tolak darimu?"  "Syukron, syukron, syukron katsiiir Lovely, Jannatii. Muuuuah-muah-muah.”  "Ohek, geli Mami, ih. Pingin muntah."  Mila terkekeh mendengar candaan ibunya, sang peri hidupnya. Syurganya. "Salam cinta dan kasih buat Pak Brewok, yaa! Bilangin, putri cantiknya karatan, gitu!"  "Pak brewok termacho sedunia itu punya Mami seorang, dan apa itu karatan?"  "KAngen beRAT nggak bisa ditahAN, hahaha."  "Beraninya ngegombal di hadapan istrinya, ya?!"  "Hahaha. Ampuun, deh!"  "Dimaafkan, hihi."  "Mi, Mila pamit dulu, ya. Sehat terus semuanya untuk Mila!”  "Yaaaah, padahal Mami masih kangen tahu." Mila yakin ibunya sedang cemberut. "Tenang aja, Mami Sayang! Mila akan selalu usahakan, buat hubungi Mami ketika sudah sampai di tempat tujuan." "Janji hutang lho." "In syaa Allah." "Ya udah, jaga terus kesehatannya, jangan lupakan salatnya, dan … jangan lupa bahagia!" "Iya, Mi. In syaa Allah. Kalau gitu, Mila pamit sekarang, ya? Assalamu'alaikum." "Wa'alaikumussalaam." 'Klik' Mila menghela nafasnya pelan, bibirnya tersenyum simpul, ada kelegaan di hatinya. Sebenarnya, apa yang dikatakan oleh sanak keluarganya tentang dirinya adalah tidak benar. Mereka selalu mengatakan kalau dirinya gagal move on. Padahal sungguh tak ada sedikit pun sekarang dia memikirkan masa lalunya itu. Meski ia akan terus mengingatnya. Hey! Mengingat bukan berarti belum mengikhlaskan, bukan? Karena, ada gunanya ingatan itu menjadi penuntun untuk langkah ke depannya. Apalagi, jika ditelusuri, bagaimana serpihan kisah masa lalunya itu bukanlah masalah sepele. 'Diputuskan sehari sebelum akad pernikahan.' Mila yakin jika dijadikan sinetron, akan mengunggah banyak Netizen, melebihi Netizennya serial India, yang berjudul Utaran itu.  Bahkan, waktu itu dirinya telah melalui proses lulur pengantin segala, tangan udah dipakein henna, udah medi-pedi, pokoknya udah melakukan hampir 95% ritual pra-nikah.  "Maaf! Sekali lagi, maaf!" Seorang pria sedang menunduk di antara kerumunan dua keluarga besar.  "MAAF KATAMU, MAAF KATAMU, HAH?" Salah satu anggota keluarga itu mengamuk tak terima. "Juanda. Kendalikan emosimu! Jika tidak, lebih baik jangan bergabung di sini!" Sang kakek menegur salah satu cucunya. Pria yang tadi mengamuk pun kembali duduk walau tatapan membunuhnya masih menghunus sang tersangka. "Kenapa baru sekarang, Nak? Sedangkan, 6 bulan lamanya kami melihat kegigihanmu untuk mendapatkan kepercayaan cucu saya. Kenapa baru sekarang, kamu memutuskan niat baik keluarga kita?"  "Karena ... karena ...." Si tersangka mencoba memberi jawaban dengan sekuat tenaga, tangan yang terkepal dan tubuh bergetar, suaranya tercekat, "... awalnya saya menerima, karena saya yakin, semakin berjalannya waktu, saya dapat menerima Kamila dengan cinta. Kegigihan saya untuk mendapatkan kepercayaan Mila, di situ juga, saya sekuat tenaga mendapatkan kepercayaan pada diri saya sendiri. Namun semakin saya berusaha, keinginan untuk mendapatkan Safira juga makin membesar. Dan sekarang, saya tidak bisa berpura-pura lagi." "BRENG---"  "JUANDA!" Bentakan seorang pria terhenti, karena sang kakek memotongnya dengan gelegar pula.  'BRAK' pria yang dipanggil Juanda itu meninju meja di hadapannya.  "Pergi ke kamar mandi, Juanda! Berwudlulah!" Sang ayah menepuk pundaknya.  "Tapi sekarang sudah terlambat, Rafael. Besok acara akadnya, kamu mikir dong! Otak kamu pake!" Itu suara ayah Rafael.  "Untuk itu, saya tidak akan membatalkan pernikahan ini. Tapi, dengan satu syarat ...." Rafael menjeda kalimatnya, sedangkan semua menunggu dengan ketegangan, "... dengan syarat, Kamila ikhlas saya poligami, saya akan menikahi Kamila juga … Safira." Semua mata melotot mendengar penuturan Rafael. Begitupun, dengan Mila, sang calon mempelai wanita. Wajahnya terus menunduk, tak jauh beda dengan perempuan yang sedang menjadi titik masalahnya saat ini, Safira. Adik sepupunya.  "Kalau kal---"  "Cukup, sudah Cukup!" Ucapan Rafael terhenti karena Mila memotongnya. Semua orang tertuju padanya. Dengan tersenyum dipaksakan, tercetak jelas banyak genangan airmata di pelupuk matanya, yang siap meluncur bak terjung payung. Mila sekuat tenaga berbicara, "Pertama, Mila ucapkan makasih banyak pada Kak Rafa. Karena sejauh ini Kak Rafa telah berusaha mewujudkan keinginan Kakek. Kedua, Mila ucapkan maaf, karena tanpa Mila sadari, Milalah di sini yang menjadi pihak ketiga. Dek!" Mila menatap adik sepupunya, "... maafin Kakak! Tanpa sepengetahuan Kakak, Kakak telah menggoreskan luka pada hatimu. Dan yang terakhir, Mila mohon maaf buat semuanya, Mila mengambil keputusan, bahwa pernikahan ini, Mila ingin membatalkannya."  "Sayang." "Adek." "Kamila." Berbagai macam gumaman yang terucap dari beberapa bibir hampir bersamaan. "Mila rasanya nggak akan sanggup jika menerima syarat dari Kak Rafa, dan jika pernikahan ini terus dilanjutkan, tak menutup kemungkinan, Mila akan terus dihantui rasa bersalah. Maka dari itu, Mila minta, batalkan acara pernikahannya!" "Ta-tapi, Mil, bagaimana dengan semua undangannya? Bahkan, daftaran di su-surat nikah." Rafa berkomentar panik, seolah dirinya keberatan dengan keputusan Mila. "Seharusnya lo pikirkan itu sebelum bertindak, Bego!" Juanda rasanya ingin sekali mencekik leher Rafael saat itu. "Tenang saja, biar Kakek dan Papi yang urus itu semua. Dan untuk soal undangan, cukup bilang saja, bahwa pengantin wanitanya mendadak sakit. Tidak bisa menjadi pengantinnya, dan dengan terpaksa Adeklah yang menggantikannya." "Lalu, namamu tercemar?" sergah Rafael. Seakan sedang memprovokasi keyakinan Mila. "Ketika kita digunjingkan, itu hal wajar. Namun, percayalah! Mereka akan berhenti bergunjing, jika sudah merasa lelah, tutup saja telinganya!" "Tap---" "Itu sudah keputusan Mila, Kak. Dan ini ...." Mila melepaskan cincin tunangan mereka dan meletakkannya di atas meja di depan semuanya, "... aku kembalikan. Terima kasih karena berhasil membuat Mila merasa disayangi, meski Kakak terluka dengan semua ini." Mila berbalik dan berjalan menuju adik sepupunya. "Dek, Kakak mohon, maafkan Kakak! Kakak kembalikan pangeran berkuda putihmu. Maaf, Kakak meminjamnya terlalu lama." Mila memeluk Safira.  "Kak, maafkan Fira! Huhuhu ... bolehkan untuk saat ini Fira egois?" Mila mengurai pelukannya, menatap Safira yang terus saja menunduk. "Lihat Kakak, Dek!"  Akhirnya Safira menatap Mila. Meski takut, karena dia yakin tatapan membunuh sedang menerjang tubuhnya.  "Sekarang, Kak Rafa milikmu. Semoga menjadi keluarga yang samawa yaa, jadilah istri shalehah, dan terpenting, jangan lupa bahagia!" ucap Mila mengecup kening Safira. "Mila, kamu harus memikirkan ulang!" Seluruh orang di sana merasa aneh dengan sikap Rafael. Kenapa seolah tak terima dengan keputusan Mila saat ini. "Apa yang harus dipikirkan lagi, Kak? Mila ridha kok, asal tolong Kakak jangan sakiti adek!" jawab Mila. "Tapi ... pokoknya, pernikahan ini jangan dibatalkan! Aku ... aku rasa, kita bisa hidup rukun dengan kehidupan rumah tangga bertiga bareng Safira." Semua orang memandang syok ke arah Rafael. Jadi dia beneran berniat poligami? Ck, tak tahu malu.  "Maaf kak! Mila keberatan," jawab Mila sambil berlalu.  "HAFSOH NURUL KAMILA, JIKA KAMU TIDAK MENYETUJUI KEPUTUSANKU, AKU BERDOA SEMOGA KELAK JODOHMU SEORANG DUDA BERANAK." Rafael berteriak ketika Mila tak lagi mendengarkan panggilannya.  'PLak'    ****      
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD