THOTC – SATU

1107 Words
Neo mengerjap bingung saat menemukan dirinya berbaring di sebuah ranjang kamar bernuansa putih dengan bau steril dan dengung statis di sekelilingnya. Di mulut dan hidungnya juga sepertinya terpasang sesuatu. Dia mengangkat tangannya yang terasa lemah untuk mengeceknya. Oh, Ventury mask. Sebentar. Memangnya dia habis ngapain sampai garus pakai ventury mask segala?! Hal yang diingatnya terakhir kali adalah dia sedang berpesta dengan teman – temannya di dermaga. Ada salah satu temannya yang membeli yacht baru, dan mereka di sana untuk mencoba berkeliling dengan mainan baru tersebut. Apa mereka sudah berkeliling dan tiba – tiba terjadi sesuatu? Kenapa dia tak mengingat apapun? Dia mencoba mengangkat kepalanya, mencari seseorang yang mungkin ada di sana untuk ditanyainya. “Ugh….” Kepalanya langsung pusing saat dia mencoba bangun dari tidurnya. Aduh, kok jadi pusing begini? “Neo? Neo lo udah bangun?! Woy, woy panggil dokter, Neonya bangun!” “Heh! Rumah sakit, beg*! Jangan teriak – teriak, ntar kira diusir!” “Buruan heh! Nanti keburu dia pingsan lagi!” Neo mengenal suara teman – temannya. Dan setidaknya, dia nggak lupa siapa dirinya, dimana dia tinggal, dan dia tahu kalau dia di sini bersama teman – temannya. Setelah kegaduhan yang singkat tapi bisa membuat mereka semua kemungkinan besar ditendang keluar dari rumah sakit, akhirnya dua orang dengan pakaian serba putih menghampirinya. Satu dengan snelli dokter dan satu lagi… oh, suster. Sekarang suster pakai celana? Atau dia yang sudah terlalu lama nggak ke rumah sakit? Dokter memeriksa alat vitalnya, tekanan darah, kadar oksigen dalam tubunya, detak jantung dan semacamnya. Setelahnya, dia menyorotkan senter ke matanya untuk mengecek kesadarannya. “Sesak nafas?” Dokter bertanya dan dia mengangkat tangan lemah, menggoyangnya, menunjukkan kalau dia tak merasakan hal yang ditanyakan. Dokter beralih ke pertanyaan selanjutnya dan jawabannya tetap sama hingga beberapa kali pertanyaan. Tapi kemudian tangannya melambai meminta perhatian si dokter dan menunjuk masker venturi yang dipakainya. “Boleh lepas?” Tanyanya dengan suara lirih. “Boleh. Kalau merasa sudah tidak perlu, bisa dilepas saja, kalau nanti merasa sesak lagi bisa dipakai lagi.” Dokternya menerangkan. Neo bergegas melepas Venturi mask nya dan kembali mengangkat tangannya. Dia masih punya pertanyaan. Dan ini lumayan urgent. “Saya nggak harus menginap, kan?” Dia selalu pulang kalau malam tiba. Mamanya akan senewen dan mencarinya kalau dia tak pulang hingga jam sepuluh malam. Iya, dia masih punya jam malam layaknya siswi SMA. Jangan Tanya sekarang umurnya berapa. Dia adalah seorang asisten dosen di salah satu universitas ternama di kotanya. Jadi sudah pasti dia bukan remaja lagi. Sebagai anak laki – laki pertama, Neo tidak memiliki kebebasan yang dia inginkan selayaknya teman – temannya. Mungkin itu yang melatar belakanginya memiliki kehidupan ganda? Sebagai Neo anak penurut yang Mamanya inginkan. Dan Neo yang bebas dan liberal yang selalu diinginkannya. Tanpa batasan, tanpa aturan yang selalu ditegaskan Mama berkali – kali. Dia melihat dokternya yang sekarang sibuk memeriksa kartu pasiennya. “Mungkin semalam ya. Biar nggak terjadi hal – hal yang nggak diinginkan saja. Buat jaga – jaga.” Dia menggigit bibir dalamnya, menghentikan u*****n yang sudah berada di ujung mulutnya. Saat bersama orang yang baru dikenalnya, dia akan menjadi Neo si anak baik. Tidak mengumpat, tidak marah, selalu membantu orang lain dan cara berpikirnya luar biasa lurus. Neo yang membosankan. “Boleh tau ini jam berapa?” “Sekarang baru jam tujuh malam. Obat sudah, Sus?” Si Mbak – mbak ber outfit serba putih dengan penutup kepala putih juga itu mengangguk. “Obatnya sudah di siapkan, Di makan semuanya setelah makan, ya. Kalau nggak ada urgent, kita ketemu lagi besok jam tujuh pagi. Cepat sembuh.”   *** Teman – temannya berbondong - bondong masuk setelah dokter yang memeriksanya pergi dari kamar rawatnya. Suasana yang tadinya tegang berubah gaduh dan rusuh, Circle pertemanannya yang ini memang bukan mereka yang kalem dan tenang seperti imej yang selalu dia tampilkan di depan Mamanya. Tapi mereka yangamat bertolak belakang dengan semua yang dia tampilkan sehari – hari pada Mamanya. “Ponsel gue mana?” Salah seorang dari mereka mengangkat bungkusan plastic yang masih terlihat basah di dalamnya. F*ck! Basah?! Kok bisa?! “Sebenernya gue kenapa, sih?” Salah satu mereka ingin menjawab, tapi langsung ditpypr dari belakangoleh temannya yang lain. Bibir si penoyor monyong – monyong kasih kode pada satu – satunya perempuan yang ada di sana. Dan seperti dikomando, semuanya langsung menyingkir meninggalkan satu gadis saja yang sedari tadi hanya tampak diam, kalem dan lemah lembut, tapi sebenarnya dia lah yang mengontrol rombongan tersebut.  “Elen?” Gadis bernama Helena itu menoleh, tersenyum manis pada Neo. Dia mendekat meraih tangannya yang berada di atas perutnya. “Tadi Neo jatuh ke air.” Jatuh ke air? Lelucon macam apa?! Meskipun dia tinggal di dekat pantai, tapi dia hampir tak pernah menapakkan kakinya di air. Air apapun yang mengambang. Dia memiliki phobia terhadap kedalaman dan lagi, dia tak bisa berenang. Dulu saat kecil, Papa dan Mama pernah membawanya bertamasya ke sebuah air terjun yang cukup terkenal, mereka mandi di sana, tapi karena terpeleset, dia jatuh ke dalam air, tenggelam. Terasa amat lama sebelum akhirnya Papa mengangkatnya ke permukaan, membuatnya terbatuk dan memuntahkan banyak sekali air yang tadi dia telan karena panik. Berada di dalam air yang gelap dengan arusnya yang berputar. Membayangkannya saja sudah membuatnya mual. Ya, dia memiliki trauma dengan air dalam jumlah yang besar. Untuk itulah, penjelasan Helena, gadis yang dipanggilnya Elen tadi, sama sekali tak masuk akal baginya. Secara sadar, dia tak akan mendekat pada air. Saat berada di dermaga, dia memastikan dirinya berada di tengah, tak akan mau minggir, saat berada di atas kapal, dia juga bukan tipe yang aktif bereksplorasi seperti teman – temannya. Ini adalah salah satu sifat yang tetap melekat padanya saat menjadi Neo anak Mama dan Neo si party hooper. “Kalian tau itu nggak mungkin. Gue nggak mungkin deket – deket sama air.” “Ya, Elen juga kaget, kenapa bisa sampai Neo jatuh.” “Siapa yang menyelamatkanku?” “Elen nggak tau. Pas Rico dan Dave masuk ke air, Neo udah nggak ada di manapun.” Terus bagaimana caranya sekarang dia berada di sini kalau bukan mereka yang menyelamatkannya? Neo mendesh frustasi. Berbicara dengan Helena yang entah kenapa suka sekali mengatakan hal sepotong – sepotong, membuatnya jengah luar biasa. Bagaimana bisa teman – temannya begitu memuja gadis yang menurut Neo bodo* ini?! Cantik sih, cantik banget, tapi menurut Neo, tipe cantiknya Helena adalah cantik yang dangkal. Enak dipandang, cocok buat gandengan jalan, tapi nggak bisa diajak mikir. “Lalu?” “Rhod lihat ada nelayan yang ribut – rebut di bibir pantai yang banyak batunya itu. Kami ke sana, dan Neo ada di sana. Jadi kami bawa Neo ke rumah sakit langsung.”
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD