Prolog

442 Words
Pujasera yang terletak tepat di tepi jalan Ahmad Yani, sore itu cukup ramai. Banyak pengunjung yang masih mengenakan baju kantor, mungkin sekalian makan malam sebelum kembali ke tempat tinggal masing-masing. Di salah satu sudut pujasera, duduk dua perempuan yang berbeda generasi. Satunya mengenakan celana kain warna hitam yang dipadukan dengan tunik batik warna peach dan kerudung yang senada. Dan di hadapan perempuan itu, duduk seorang gadis kecil dengan seragam warna putih dan biru muda. Gadis kecil itu tampak asyik menikmati es krim yang diberikan topping oreo dan wafer. “Tante! Tante tahu nggak, tadi di sekolah aku diajari menggambar lho.” Suara seorang gadis berumur empat tahun itu menambah keramaian pujasera. Ia terus berceloteh dengan menggebu di hadapan Aila. Es krim rasa cokelat strawberry yang tadi ia pesan, ia abaikan. Bercerita kepada sahabat ayahnya dirasa lebih menarik dari pada es krim dalam mangkoknya. Ia sudah mulai bosan dengan es krimnya. “Oh ya? Terus Rena tadi gambar apa?” tanya Aila tak kalah antusias. Ia selalu menyukai saat binar mata Rena begitu terang ketika bercerita. Membuat siapa pun yang memandangnya akan merasa gemas dan ingin mencubit pipi tembamnya. “Sebenarnya Rena tadi pingin gambar kayak gambar punyanya temen-temen. Tapi Rena sadar kalau itu hanya angan-angan Rena saja,” jawab Rena sambil menunduk. Suaranya bergetar, tampak menahan tangis. Aila yang melihat hal itu pun seketika paham dengan maksud Rena. Ia berdiri dari duduknya dan menghampiri kursi Rena. Kemudian ia memeluk balita cantik itu. Ia ingin Rena tahu bahwa masih banyak orang yang sayang padanya meskipun ia tidak dapat merasakan kasih sayang kedua orang tuanya secara utuh. Setahunya, anak-anak seusia Rena memang senang menggambar lingkungan hidup di sekitarnya, salah satunya adalah keluarga. Dan Rena pasti juga ingin seperti teman-temannya yang dapat menggambar sebuah keluarga bahagia yang lengkap. Sayangnya, hal itu belum dapat terwujud saat ini karena Rena hanya tinggal bersama ayah dan neneknya. Ibunya telah meninggal saat melahirkannya dulu. Rena memang masih sekolah di PAUD, tetapi jangan ragukan kemampuannya, ia adalah balita yang cerdas. Ia mudah memahami apa yang terjadi di lingkungan sekitarnya. Meskipun terkadang ia lebih sering menjadi seperti anak seusianya yang suka bermain dan menangis jika keinginannya tidak segera terwujud. Setelah saling berpelukan beberapa saat, Aila kembali ke kursinya. Ia meminta Rena untuk menghabiskan es krimnya yang mulai meleleh. “Kira-kira, Rena akan punya ibu baru kapan ya tante? Apa tante tidak mau menjadi ibu untuk Rena?” Pertanyaan spontan yang keluar dari bibir mungil itu sukses membuat Aila tersedak jus semangka yang sedang ia teguk. Coba tanyakan pada ayahmu, Ren apakah ia mau dengan tante. Batin Aila setelah ia berhasil menghilangkan sakit pada tenggorokan karena air jus yang masuk ke dalamnya.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD