Bagian 1

1237 Words
Dering ponsel membuyarkan konsentrasiku. Kuabaikan sebentar tumpukan berkas yang harus kuselesaikan. Angka - angka yang tercetak dalam kertas itu benar - benar membuatku pusing.       Kulirik layar ponsel, panggilan dari nomor tak dikenal. Rasa kesal pun muncul. Kutolak panggilan itu.        Dering terdengar lagi. Ah, masih dari nomor yang sama. Segera kutolak lagi panggilannya.        Ya, dering terdengar lagi. Aku sebenarnya malas -- dan kesal.       Benakku bertanya siapa gerangan orang yang menelepon. Aku berusaha mendorong hati dan pikiran bahwa seseorang itu tak mungkin menelepon beberapa kali dalam kurun waktu cepat, jika tak ada sesuatu penting hendak disampaikan. Aku pun terpaksa menerima panggilan itu.        "Halo, dengan Anara Sukma Permadi, ada yang bisa saya bantu?"        "Syukur lah ini benar nomor Anda Pak Anara!"         Aku mengernyit mendengar ucapan wanita itu. Antara heran dengan siratan kelegaan dalam suaranya, juga penasaran dengan apa urusannya denganku, sampai - sampai ia terdengar selega itu.        "Iya, ini dengan siapa?" tanyaku kemudian.        "Saya Bu Dian, wali kelas Arkana Brillian Permadi."        Ah ... Bu Dian. Wali kelas putra semata wayangku Arkana. Terbesit sesal karena aku tak menyimpan nomor ponsel yang senantiasa ia bagi di papan tulis tiap kali pengambilan raport. Akan segera kusimpan nomornya setelah ini.         Sebenarnya aku agak bingung dengan bicaranya yang tergesa - gesa.        Pasti tentang Arkana, kan? Apa anak itu bikin ulah?        "Oh, mohon maaf, Bu Dian. Seharusnya saya menyimpan nomor Anda. Tidak biasanya Anda menelepon. Ada apa? Apa Arkana berulah?"         "Tidak, Pak Anara. Begini ...."          Aku lagi - lagi mengernyit. Bu Dian sepertinya kesulitan menjelaskan maksudnya menelepon.          "Begini, Pak. Bapak tolong tenang, ya  Saat pelajaran olah raga tadi, Arkana terjatuh. Kepalanya terbentur. Kata teman - temannya Arkana kesulitan berdiri setelah jatuh. Sama Pak Wahyu guru olah raga dibawa ke UKS.  Awalnya Arkana baik - baik saja, tapi kemudian dia muntah - muntah terus sampai lemas. Akhirnya kami bawa ke rumah sakit, Pak."         Tanpa sadar aku sudah berdiri, tidak lagi duduk seperti tadi. Kepalaku mendadak terasa sakit seperti dipukul palu. Tumpukan berkas di meja semakin membuatku pusing.         Aduh, Arkana. Kenapa anak itu? Dia sudah bukan anak kecil lagi. Bulan depan umurnya 17 tahun, tapi kenapa masih begitu ceroboh?         "Di rumah sakit mana, Bu Dian?"        "Prima Medika, Pak."         "Oke, saya ke sana sekarang. Terima kasih informasinya, Bu Dian. Dan mohon maaf merepotkan."         "Sama sekali tidak, Pak. Saya mewakili pihak sekolah juga minta maaf karena biar bagaimanapun juga Arkana terjatuh di lingkungan sekolah. Pak Anara, kalau bisa tolong secepatnya ke sini. Karena dokter akan melakukan sebuah tindakan."         "Iya, Bu."         Segera kuakhiri panggilan. Kuayunkan kakiku menuju ruangan Pak Ramli, atasanku. Segera kuketuk pintunya, meski sudah terbuka.         "Ada apa, Nara?" tanyanya segera.         Dia itu kebiasaan. Ya, walaupun kami bersahabat, tapi aku selalu ingin kami tetap profesional di lingkungan kerja. Tentu saja salah bila ia selalu memanggil namaku saja tanpa embel - embel Pak.         "Anak saya jatuh di sekolah. Saya izin keluar sebentar buat lihat keadaannya." Aku sengaja tetap bersikap formal, sekalian memberinya contoh yang baik dan benar.         Reaksi Pak Ramli justru semakin jauh dari profesional.         "Arkana jatuh, kamu mau lihat keadaannya bukannya segera berangkat malah dateng ke sini. Buruan sana pergi!" Ia malah mengomeliku.          "Tapi aturan kantor ...."         Belum selesai aku bicara ia sudah menyerobot.          "Masa bodoh sama aturan. Ya kali keselamatan anakmu dikalahin sama aturan, Nara?"        Aku berdecak kesal. "Aku cuman berusaha jadi bawahan yang baik. Lagian Arkana paling juga nggak apa - apa. Ceroboh dia memang. Suka nggak hati - hati!"        "Ya Tuhan, anak jatuh malah begitu sikapmu!" Pak Ramli menggeleng heran. "Udah buruan berangkat sana, tunggu apa lagi?"         Giliran aku yang geleng kepala. Atasan macam apa si Ramli itu. Bisa - bisa perusahaan warisan keluarganya ini hancur karena dipegang oleh atasan ngawur macam dia.        ~~~~~ SINGLE FATHER - Sheilanda Khoirunnisa ~~~~~           Setelah memarkir mobil, aku segera menuju ke UGD. Ada Bu Dian dan seorang guru berpakaian olah raga. Pasti itu Pak Wahyu yang disebut Bu Dian dalam telepon tadi.         Bu Dian menghampiriku. Ia mendongak untuk berbicara denganku. "Syukur lah Anda sudah datang, Pak. Arkana ada di dalam situ. Silakan Bapak temui dia dulu. Dokter masih memeriksa pasien lain." Bu Dian menunjuk salah satu sekat bertutupkan tirai biru.         Aku hendak masuk ke sana. Tapi masih sibuk dibuat heran dengan mimik dua guru di hadapanku. Muka khawatir mereka sepertinya agak berlebihan.         Aku pun membuka tirai. Putraku yang masih dibalut seragam olah raga warna hijau terbaring di brankar. Di pergelangan tangannya tertancap jarum infus. Dan di hidungnya ada selang oksigen.         Hmh ... Arkana hanya terjatuh, kan? Kenapa harus pakai oksigen segala?          "Arka!" Kupanggil namanya.         Ia perlahan membuka mata. Tersenyum tipis menatapku.         "Papa," lirihnya. "Maafin Arka, ya, Pa. Arka nggak hati - hati." Suaranya serak dan parau.         Kuperhatikan putraku lebih dekat. Ia nampak tak berdaya. Tangannya gemetar meraih jemariku. Ia menyalami dan mengecup punggung tanganku.         Tangannya sangat dingin. Baru kusadari betapa pucat Arkana. Dan ia nampak sangat lemah. "Pusing banget aku, Pa. Sampai muntah - muntah tadi. Jadinya lemes." Ia mengakhiri ucapannya dengan tersenyum.        Senyum itu ... senyum yang selalu membuatku teringat dengan ibunya. Senyum yang seakan membuka kembali luka menganga dalam hatiku.         "Anda orang tuanya pasien?" Seorang dokter masuk ke sekat ini.         "Benar," jawabku.         "Tolong keluar sebentar, saya mau bicara!"         Kuangkat sebelah alis. Serius sekali mimik dokter itu.        Tanpa banyak bertanya, aku mengikutinya keluar. Kami berdiri berhadapan, agak jauh dari sekat tempat Arkana berada dan juga dari kedua gurunya.         "Arkana disarankan menjalani CT - Scan otak," ucap dokter itu kemudian.         "CT - scan otak? Untuk apa? Bukannya dia cuma jatuh?" kagetku.        "Hanya untuk memastikan. Karena kondisinya saat ini menunjukkan ada sesuatu yang salah, di luar fakta bahwa ia mengalami itu semua setelah terjatuh. Seperti adanya penyakit yang memicu anak Anda bisa terjatuh. Kehilangan keseimbangan, muntah tak terkendali, pusing, sakit kepala."          "Apanya yang salah, bukannya hal itu normal? Maksudnya wajar dia mengalami itu semua karena kepalanya terbentur."         "Hanya untuk memastikan saja, Pak. Kami juga tidak memaksa. Jika Anda setuju dilakukan tindakan, silakan tanda tangani berkas. Jika tidak, juga bukan sebuah masalah untuk kami. Tinggal menunggu ada bangsal kosong dan memindahkan putra Anda ke sana. Karena dengan kondisinya sekarang, ia masih butuh dirawat dan diobservasi."        Hmh ... ada - ada saja kelakuan dokter ini.          "Oke, kita tunggu ada bangsal kosong, dan segera pindahkan putra saya ke sana."         "Jadi Anda benar - benar tidak berkenan kami melakukan tindakan?"        Dokter itu nampak tak percaya. Aku pun mengangguk.         "Saya yakin Arkana baik - baik saja. Dia anak yang sehat. Tidak pernah sakit aneh - aneh apalagi menunjukkan gejala penyakit berat!"         Dokter bernama Lugas itu menarik napas dalam. "Baiklah jika itu keputusan Anda."         Ia masih nampak tak terima. Bahkan langkahnya terlihat tak ikhlas meninggalkanku.         ~~~~~ SINGLE FATHER - Sheilanda Khoirunnisa ~~~~~          -- T B C --        
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD