Takdir

700 Words
"Ya Allah, aku berlindung pada-Mu dari rasa sesak d**a dan gelisah, dan aku berlindung pada-Mu dari kelemahan dan kemalasan, dan aku berlindung pada-Mu dari sifat pengecut dan kikir, dan aku berlindung pada-Mu dari belenggu hutang dan tekanan manusia" ----------- Niswah Wardani, gadis berparas ayu dalam balutan hijab keimanan, tumbuh besar dalam lingkungan keluarga yang menjunjung tinggi Al-qur'an dan Hadist, saat ini ia tengah menyelesaikan pendidikan jenjang perkuliahan di salah satu perguruan tinggi di Bandung. Saat ini semua anggota keluarganya tengah berkumpul, kemarin abangnya Naufal beserta istrinya datang berkunjung, Niswah merupakan anak terakhir jadi wajar saja jika ia sedikit manja kepada Umminya, seperti saat ini Niswah tengah bermanja dengan sang Ummi. "Anak Ummi udah besar, kan? Udah siap nikah belum?" tanya sang Ummi membuat Niswah terbatuk-balik sanking kagetnya. "Ummi, Niswah belum siap nikah." "Nak, perkara siap tidak siapnya kita gak akan pernah siap, karna kesiapan sesorang tak bisa kita ukur, tapi apa salahnya kita menyempurnakan agama menjalankan sunnah Rasul kan indah." Itu suara Abi yang ikut nimbrung dalam percakapan Niswah dan Ummi. "Iya dek, emang gak iri liat Abang sama Mbak Icha." "Ya iri sih, tapi kan Niswah belum selesai kuliah." "Itukan bisa selesai sambil nikah, Dek." "Kok jadi maksa Niswah nikah sih." Niswah heran sendiri melihat tingkah anggota keluarganya seolah memaksa ia untuk segera menikah, apa Umminya tidak ingin merawatnya lagi, buru-buru Niswah menghilangkan pikiran kotornya. "Astagfirullahal'adzim." "Ekhem ...Jadi begini Niswah, seminggu lagi akan datang satu keluarga yang akan meminangmu untuk dijadikan istri dari anaknya." Hening tak ada jawaban dari Niswah, ia masih syok mendengar penuturan sang Abi. "Ya Allah apa jodoh yang engkau janjikan telah tiba? Jika ia maka aku berharap ini yang terbaik menurutmu Ya Rabb," batin Niswah "Abi, harap Niswah memberikan pilihan yang terbaik, Nak. Abi tidak memaksamu menerima ataupun menolak, Niswah sudah dewasa tahu mana yang baik mana yang buruk, maka jalankan pilihanmu yang tidak menentang perintah Allah." Niswah menatap Umminya meminta pendapat, namun sang Ummi hanya tersenyum menenangkan. Sedangkan dilain tempat, seorang pemuda tengah mendengarkan kedua orang tuanya di ruang keluarga, ia adalah Hafidz seorang dosen disalah satu Universitas di Bandung merupakan seorang laki-kali yang berkecukupan, dan mapan. "Hafidz, umurmu sudah mapan untuk menjalani bahtera rumah tangga, pekerjaanmu juga sudah mapan cukup untuk membina keluarga." "Tapi Abi, Hafidz belum mau menikah, Hafidz masih mau menjadi lebih baik sebelum meminta tanggung jawab seorang ayah agar dilimpahkan kepada Hafidz." "Nak, insyaallah dia akan membantumu menuju kebaikan itu, menuju jalan Allah, Abi yakin dia wanita yang cocok untukmu." "Setidaknya kamu lihat dia dulu, Nak." ucap sang Ummi membelai rambut sang anak yang terlihat tertekan. Bagaimana tidak tertekan, di umurnya yang baru menginjak 26 tahun harus menikah dengan gadis yang tidak ia kenal sama sekali, sebenarnya bukan masalah kenal atau tidak dikenal, tetapi masalahnya hati Hafidz sudah terisi oleh gadis di masa lalunya gadis yang sudah iya cintai selama 8 tahun. "Baiklah Hafidz akan mencobanya." ●●●●●●●●●●●●●●●●●●●●● "Apa salahnya jika di jodohkan? Lukman juga dulu begitu," ucap Rian setelah mendengarkan cerita Hafidz. Merasa namanya disebut Lukman menatap Rian menuntut penjelasan. "Makanya tinggalin dulu tuh kerjaan, temen kita lagi bingung," ucap Rian yang disertai nada geli melihat Hafidz yang menggerutu. "Kenapa?" Memang diantara mereka bertiga Lukman lah yang paling jarang bicara tapi paling bisa menyampaikan saran dan pendengar yang baik bagi temannya. "Hafidz, dijodohkan." "Bagus dong, gak repot nyarinya," jawab Lukman santai ya diangguki Rian, memang sih mudah tapi kan ini hati sob hati. "Masalahnya- ...." " belum move on dari si tuan putri masa lalu." Tebak Lukman tepat sasaran. "Gini ya intinya gak mungkin orang tua pilih kan anaknya jodoh yang tidak baik." "Nah bener tuh, lagian baru mau ke rumahnya doang kan? Belum tentu nikah santai aja kali, Fidz." Hafidz juga berfikir demikian, ada benarnya perkataan Rian, toh baru berkunjung ke rumahnya belum tentu kepelaminan kan. "Ngapain manggut-manggut?" Hafidz menatap Lukman dan Rian jengah, bagaimana tak jengah, mereka menatap Hafidz bagai menatap badut ancol. ●●●●●●●●●●●● Hai salam hangat gadis penikmat senja♡♡♡ Semoga suka ya ! Jangan lupa vote dan komentarnya
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD