Hanya Aku Yang Dirasa Mampu

2061 Words
Ini sudah kesekian kalinya aku mengajak mbak Sari untuk berobat dan memeriksakan diri ke Rumah Sakit, atau setidak nya ke puskesmas, tapi mbak Sari selalu menolaknya. Bahkan ketika aku ingin memanggilkan dokter untuknya, mbak Sari juga selalu menolaknya. Aku sebagai seorang adik dan satu-satunya yang tinggal bersamanya, tidak kuasa melihat mbak Sari yang sudah beberapa hari ini hanya bisa berbaring dalam kamar saja. Aku hanya bisa menuruti apa yang diinginkan oleh mbak Sari. Mungkin ini sudah watak ku sedari dulu. Aku tak berani menolak apapun yang dikatakan dan dikehendaki oleh mbak Sari. Sebab dialah sosok keluarga yang satu-satunya aku miliki sejak aku kecil dulu. Dan bagiku, mbak Sari bukan hanya sebagai seorang kakak perempuan saja, namun juga sebagai sosok seorang Ibu sekaligus seorang Ayah bagi diriku. Karena Dialah yang selalu menafkahi ku mendampingi dan merawat ku hingga sampai saat ini. Di rumah sebesar ini, hanya aku dan mbak Sari saja yang tinggal, hanya kami berdua saja. Karena setiap aku mengusulkan untuk mencari asisten rumah tangga atau hanya sekedar mencari orang untuk membantu membersihkan halaman kami yang luas, mbak Sari selalu menolaknya. Dengan alasan, kalau kita itu berasal dari kelas bawah, maka kita tidak memerlukannya, kita bisa mengatasi dan melakukan setiap pekerjaan rumah dengan tangan kita sendiri. Padahal maksudku bukan itu, karena aku tidak akan pernah lupa, akan asal ku dari mana. Tujuanku untuk mencari asisten rumah tangga adalah meringankan pekerjaan kita dan bisa sebagai teman dikala sepi. Namun kembali lagi diawal, aku hanya bisa menuruti apa yang diucapkan oleh mbak Sari. Disisi lain aku juga sangat salut dan bangga dengan mbak Sari, walaupun bisa dibilang saat ini kami adalah orang yang mampu, tetapi mbak Sari senang melakukan pekerjaan rumah sendiri. Mbak Sari juga merupakan sosok yang sangat dermawan dan ringan tangan dalam menolong sesama. Maka dengan sifat mbak Sari tersebut, tidaklah heran jika sosok mbak Sari sangatlah dihormati dan dikenal orang karena kebaikan hati mbak Sari walaupun status kami disini adalah warga yang masih terbilang baru saat itu. Di tambah lagi sosok mbak Sari yang memiliki paras cantik dan murah senyum. Pada suatu ketika, ada warga yang sedang dalam kesulitan uang, mbak Sari tidak pernah sekalipun hitung-hitungan kepada orang tersebut. Mbak Sari langsung meminjaminya uang, tanpa pernah memberi tambahan atas pengembaliannya nanti. Bahkan tidak jarang pula, orang yang tidak mengembalikan uang padanya. Namun mbak Sari tidak pernah menagih atau menuntutnya sama sekali. Mbak Sari hanya tersenyum sembari berkata kepadaku, “biarkan saja, nanti ada gantinya”. Sekarang sudah lebih dari 5 tahun kami tinggal disini. Usaha yang kami geluti disini adalah membangun kios untuk berdagang dan rumah kontrakan. Walaupun tempatnya berada di perkampungan, namun kontrakan dan kios yang kami punya semakin berkembang setiap tahunnya. Mungkin pengaruh dari sifat baik mbak Sari dan harga sewa yang miring. Kontrakan milik kami, berada dilahan terpisah dari rumah utama, dan memiliki pengurusnya sendiri, dari penjaga rumah sampai tukang bersih bersih. Disinilah hal yang membuatku sering bertanya-tanya. Kontrakan dan kios ada yang mengurusi, tetapi kenapa rumah yang kami tinggali malah diurusi sendiri tanpa ada pembantu. Padahal lahan rumah kami dan lahan yang dibangun untuk membuat kontrakan dan kios hampir sama besarnya. Namun percuma saja aku heran jika ini sudah keputusan mbak Sari. Aku tak ambil pusing akan hal itu. Aku hanya ngikut dan menurut saja, karena mungkin mbak Sari punya keinginannya sendiri. Setelah aku membereskan dapur, aku berjalan menuju kamar mbak Sari dan langsung duduk dibawah ranjang tepat di samping mbak Sari berbaring. Lalu aku mengawali bicara dan berusaha merayunya kembali agar mau diajak untuk pergi berobat. "Mbak ayo to periksa, sudah dua hari ini lo mbak, mbak Sari Berbaring dikamar saja.” Ucapku merayu mengajak mbak Sari untuk periksa. “kamu ini apa to Yani, sudah masuk gak ketok pintu, gak pakai salam juga, langsung duduk dan langsung ngajak periksa.” Jawab mbak Sari dengan lemah. “Hehehe...” Aku hanya bisa tersenyum menjawab ucapan mbak Sari. “Malah mesem-mesem gitu. Mbak ini gak apa-apa Yani, udah to jangan khawatir gitu, nanti juga sembuh sendiri kok.” Ucap mbak Sari. “Sembuh sendiri gimana? Yani melihat mbak Sari bukan semakin sehat malah semakin lemes gitu kok. Mbak Sari coba ngaca deh, wajah mbak Sari yang biasanya sumringah dan selalu tersenyum, sekarang kelihatan pucat dan sayu." Sahut ku meyakinkan. "Gak perlu Yani, mbak gak kenapa-kenapa, cuma lemes aja. Palingan juga masuk angin biasa." jawabnya dengan nada lesu. "Sebenernya ada apa to mbak, mbak Sari kok gak mau diajak periksa? Yani itu dari kecil dulu, sudah hidup sama mbak Sari lo. Yani juga gak Cuma satu dua kali lihat mbak Sari sakit. Jadi Yani tau betul, mbak Sari sedang sakit ringan atau berat. Mbak Sari gak sedang susah uang to?" tanyaku sembari memegang tangan mbak Sari. "Masalah uang gampang Yani, itu loh kalau kamu butuh tinggal ambil aja di lemari. Itu semua memang mbak sediakan buat kamu.” Sahut mbak Sari sembari menunjuk lemari yang berada disisi kanan ranjang. “Terus kenapa mbak Sari gak mau Yani ajak periksa?” Tanyaku lagi. “Ini bukan masalah uang atau yang lainnya, namun mbak itu malu, jika diperiksa akan penyakit mbak yang kayak begini." terangnya. “Kenapa harus malu mbak. Dokter itu kan memang ada spesialisnya masing-masing.” Sahut ku. “Wes to (sudahlah), gak usah ngeyel gitu.” Balas Mbak Sari. "Ya sudah mbak, kalau mbak Sari malu periksa ke Rumah Sakit, gimana kalo Yani yang telepon dokter agar kemari dan memeriksa mbak Sari?" Pintaku menawarinya. "Sudahlah Yani, gak perlu, nanti juga sembuh sendiri." tutupnya sembari tersenyum dan mengusap kepalaku. “Tapi mbak..” "Matur suwun ya (Terima kasih). Sudah mengkhawatirkan Mbakmu ini. Sekarang mbak mau istirahat dulu, mbak minta tolong dinyalakan lampunya dan ditutupin pintunya ya." imbuhnya memotong omonganku sembari terus tersenyum kearah ku. Aku berlalu pergi menuruti perkataan mbak Sari dengan hati yang sedih. Dengan kondisinya yang semakin lemah, mbak Sari terus berusaha meyakinkanku kalau dia baik-baik saja. Nampak senyuman mbak Sari pun sudah terasa berat aku rasakan. Namun aku bisa apa, aku hanya bisa menurutinya saja tanpa bisa memaksakan kehendak ku. Seminggu sudah berlalu, aku masih rutin tanpa lelah terus merawat mbak Sari. Aku selalu menahan kepedihan ku, setiap mendengar mbak Sari merintih kesakitan. Aku juga selalu memperhatikan titik dimana mbak Sari selalu merasa pedih kesakitan nya. Hingga saat aku sedang membersihkan kamar mbak Sari, aku mendengar mbak Sari yang sedang mengerang kesakitan. Disitu aku sudah tidak tahan lagi, aku memberanikan diri untuk kembali memaksa mbak Sari pergi berobat. “Sudah seminggu lo mbak, mbak Sari sampai kapan mau begini terus. Sakitnya juga makin tambah parah, kok ya masih gak mau ke rumah sakit, kenapa mbak?" tanyaku sembari menghentikan aktivitasku yang sedang menyapu kamarnya. "Gak apa-apa, kamu tenang aja Yani. Aku cuma kesakitan sedikit kok.” Ucapnya yang nampak sedang menutupi sakitnya. “Kalau mbak Sari di Rumah Sakit, nanti di sana akan mendapat perawatan yang lebih baik mbak.” Terang ku memberi pengertian. “Mbak Cuma mau diurusi sama kamu aja Yani. Mbak gak mau diurusi sama perawat atau orang lain."Jawab mbak Sari. "Tapi mbak..." "Gak usah tapi tapi Yani, apa kamu sudah gak mau dengerin mbakmu lagi? Apa kamu juga sudah gak mau ngurusin mbakmu ini lagi?" Ucapnya memotong omonganku dengan nada yang agak tinggi. "Bukan itu maksud Yani." Jawabku. "Ya sudah, kamu nurutin mbak ya Yani." pinta mbak Sari kepadaku dengan nada lembut sembari memegang tanganku. "Iya mbak" jawabku menurut. "Cuma kamu aja Yani, yang tau tentang mbakmu ini, dan cuma kamu aja yang bisa mbak percaya untuk ngurusi mbakmu ini. Mbakmu ini merasa nyaman jika kamu yang merawat, karena kamu bisa menutupi aib-aib mbak selama ini. Itu alasan mbak gak mau dilihat orang lain atau bahkan diperiksa Dokter sekalipun." jawab mbak sari secara berlahan, sembari mencoba meyakinkanku untuk tidak lagi mengajaknya periksa. "Lalu aku bilang apa mbak kalo ada orang tanya, mbakmu kemana kok gak kelihatan" tanyaku kembali, dengan nada berlahan pula. "Jawab aja mbak lagi sakit ringan, dan butuh istirahat, minta maaf sama mereka untuk jangan menengok mbak, karena mbak butuh istirahat tanpa gangguan." bisiknya menjawab tanyaku. "Iya mbak, ya sudah mbak istirahat ya, Yani mau lanjut membersihkan halaman depan." pamitku menutup percakapan. Sore hari itu saat aku sedang membersihkan halaman, ada tetangga melintas dan berhenti tepat di gerbang depan rumah, kemudian dia menghampiriku. “Yani, kamu sendirian aja bersihin rumah?" tanyanya. "Iya Buk." Jawabku. "Mbakmu kemana? Kok sudah lama gak kelihatan, biasanya bareng sama kamu bersih-bersih to?" tanyanya kembali. "Iya Buk, mbak Sari sedang tidak enak badan, dan sekarang lagi istirahat dikamar." terangku kepada Ibu itu. “Owalah Sari lagi sakit.” Ucap Ibu itu. “Iya Buk, makanya tidak keluar rumah. Apalagi ikut bantu saya bersih-bersih.” Sahutku sembari tersenyum. “Gini aja Yani. Bagaimana kalo aku ngabarin Ibu-ibu dan Bapak-bapak yang lain agar kita bisa menjenguk Sari bersama-sama,?" Ucapnya. “..(aduh, kok malah mau ngabarin warga. Mbak Sari bisa marah sama aku nanti.)..” batinku. “Gimana Yani?” Sahutnya. "Gak usah buk, biarin mbak Sari istirahat beberapa hari dulu. Mbak Sari juga bilang kalo gak perlu dijenguk kok." Jelasku. "Loh, emang sakit apa to, kok sampai Sari gak mau dijenguk? Apa penyakit menular?" jawabnya kaget mendengar ucapanku. "Sakit ringan kok buk, bukan sakit menular. Mbak Sari sendiri yang bilang kalau tidak pengen ngerepotin yang lain, pengen istirahat dulu biar cepat sembuh." penjelasan ku menekankan agar ibu itu mau mengerti. Dalam hati, aku merasa agak kacau karena aku merasa berbohong mengatakan kondisi kakakku yang sebenarnya sedang parah. "Ya sudah kalau begitu, aku pamit pulang dulu Yani. Sampaikan sama mbakmu, cepat sembuh ya." tutupnya sembari berpamitan dan berlalu. "Iya buk, terima kasih.." Sahutku dengan lega, karena akhirnya aku tidak ditanya-tanya lagi mengenai mbak Sari. Aku mengerti kenapa setiap warga yang lewat pasti berhenti dan selalu menanyakan mbak Sari. Ini dikarenakan, kebiasaan mbak Sari yang setiap pagi dan sore menyiram taman dan menyapu halaman bersamaku. Jadi seperti sudah menjadi kebiasaan kami saling tegur sapa dengan tetangga yang sedang melintas didepan rumah kami. Ditambah lagi, karena lokasi rumah kami dipinggir jalan dan gerbang rumah kami adalah pagar besi yang didesain tidak rapat. Hari hari berikutnya pun banyak tetangga yang melintas dan mempertanyakan hal serupa, aku pun menjawab apa yang dipesankan mbak Sari, lantas merekapun berlalu pergi. Di suatu waktu sudah hampir sebulan mbak Sari berbaring di kamar tanpa adanya perubahan. Aku Pun semakin heran kenapa belum sembuh juga, bahkan dalam keparahan sakit yang diderita mbak sari tetap saja ngeyel tidak mau diobati dan minta dibiarkan saja. Padahal parah kondisinya dan semakin kacau pula keadaannya. Mengigau, merintih, menjerit, semakin sering kulihat walau dengan durasi yang sebentar. Semakin iba aku melihatnya. Seringkali aku menahan tangis melihat kondisinya yang semakin memperihatinkan. Tak tega hati ini melihat paras yang cantik semakin keriput dan pucat. Badan yang semakin kurus dan penyakit yang semakin menjadi jadi. Hanya akulah orang. yang tau akan penyakit mbak Sari. Dan hanya aku yang mbak Sari mau untuk mengurusi dirinya. Hari sudah mulai petang, aku masih saja duduk didepan sambil menangis karena aku tak mau terlihat sedih didepan mbak Sari. Tak selang berapa lama, ada yang mengetuk pagar depan. Aku terkaget saat itu karena posisiku yang sedang duduk didekat pagar yang sedang diketuk. Segera aku membersihkan pipiku dari air mataku, kemudian aku langsung berdiri mendekat ke arah pagar. Setelah kuhampiri, ternyata sosok yang bertamu adalah Tetua desa kami. "Assalamualaikum, wr wb.." salamnya sambil mengetuk pagar rumah. "Waalikum salam. " jawabku. "Kamu sedang menangis Yani?" tanyanya, karena melihatku berdiri mendekatinya sambil mengusap air mata. "Iya, Pak." jawabku terbata. "Kenapa menangis? Ini sudah mau magrib lo, tidak baik membiarkan diri larut dalam kesedihan di saat sendakala seperti ini?" Tanya Pak Tetua. "............" aku hanya diam sambil membuka gerbang untuknya. "Saya disini saja, tidak usah masuk. Lagian juga sudah mau magrib, tidak enak kalo bertamu magrib-magrib begini. Bagaimana kondisi mbakmu? Sudah lama tidak pernah kelihatan, dan terakhir saya dengar dari warga, mbakmu katanya sakit dan juga tidak mau ditengok. Sebenarnya ada apa Yani, apa yang terjadi?" Desaknya bertanya kepadaku. "Iya pak bener, mbak Sari sendiri yang bilang ke saya, kalau dia tidak mau dikunjungi siapapun Pak." jawabku sambil menahan sedih karena masih terbayang kondisi mbak Sari. "Kalau ada apa-apa, kamu langsung laporan ke saya ya Yani? Daripada terjadi penyesalan diakhir nanti, dan sebelum semuanya terlambat. Kalau sekarang kamu tidak mau cerita tidak masalah, saya bisa paham akan hal itu. Ya sudah saya pamit dulu ya." pesannya sembari pamit untuk pergi. Aku hanya terdiam sambil bertanya-tanya. Apa maksud dari perkataan Pak Tetua barusan? Bersambung...
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD