Keinginan bunuh diri

1237 Words
Di sebuah kafe pinggiran kota Jakarta, terlihat seorang gadis berambut panjang, tengah duduk menunggu minumannya. Sesekali ia menatap ke luar, seakan menanti seseorang yang kemungkinan datang terlambat. Gadis itu adalah Kiara, wanita naif dengan style cupu dan rambut bergelombangnya. Itu adalah gelas kedua untuknya, terhitung sudah satu jam sejak dia masuk, panggilannya ke ponsel sang pacar tidak kunjung diangkat. Gadis itu mencoba untuk sabar,kemudian memesan minuman lagi untuk membunuh rasa bosannya sendiri. Bagi Kiara, ini hal yang cukup biasa. Marten, calon suaminya, sering mengulur waktu saat mereka akan bertemu. Macam-macam alasannya. Dari hal klise seperti terkena macet, hingga lupa karena terlalu lelah lantaran seharian bekerja. Kiara tidak tahu kalau setiap alasan dari mulut Marten hanya bentuk dari kebohongan lelaki buaya. Kenyataanya adalah Marten tidak sungguh-sungguh ingin mempersunting Kiara. Entah karena memang bodoh atau lentaran terlalu cinta, mata hati Kiara sudah benar-benar buta. "Mas? kapan ke sini? Maaf ya, aku nggak bisa nunggu lebih lama lagi. Soalnya cafe mau tutup," kata Kiara meninggalkan pesan suara singkat. Bukannya kesal, ia malah khawatir kalau Marten akan datang setelah kepergiannya. Apalagi ramalan cuaca bilang kalau hari itu akan hujan, jadi lebih baik kalau janji mereka dibatalkan saja. Toh masih ada kesempatan lain untuk membicarakan kelanjutan rencana pernikahan. Gedung juga hal-hal besar lain sudah dibayarkan. Tinggal menunggu transferan Marten yang berjanji akan mengganti separuh dari total pengeluaran mereka. Hubungan Kiara dan pacarnya terbilang cukup singkat. Setengah tahun saling mengenal, mereka memutuskan untuk naik ke jenjang yang lebih serius. Kiara tidak bisa menolak karena usianya sudah cukup dan karirnyapun terbilang cukup stabil. Satu-satunya alasan kenapa Kiara melajang hingga usia 27 tahun adalah ia tidak cukup waktu bergaul karena sibuk dengan pekerjaan. Jadi, begitu bertemu Marten yang dewasa dan mapan, Kiara langsung jatuh hati. Ditambah, orang tua Kiara sudah lama tiada, praktis tidak butuh waktu lama untuk meminta ijin juga hal-hal lain. Saudara jauh Kiara hanya bertemu Marten sekali dan langsung merestui. Sedang untuk keluarga Marten sendiri, menyerahkan segala keputusan pada anaknya. Ya, hubungan Kiara sangat lancar, normal dan menyenangkan. Setiap hari, ia bersyukur pada Tuhan karena memberi pria sesempurna Marten untuknya.Bisa dibilang dari segi manapun Kiara sangat beruntung. Rekan sekantornya saja sampai tidak percaya dan sempat memperingatkan Kiara. Kata mereka, mungkin saja Kiara ditipu atau semacamnya. Tapi, semua nasehat itu dianggapnya angin tak berguna. Kiara terlanjur menaruh harapan besar karena ingin keluar dari hidupnya yang kesepian. Selama ini, ia tidak pandai bergaul dan bicara. Kiara dikenal kaku, tidak populer dan gampang dilupakan keberadaannya. Jadi, gadis itu cukup tahu diri dengan bersikap penurut, tidak pernah memprotes apapun keinginan Marten. Seperti minggu lalu, saat mereka pergi untuk melihat gedung juga paket pernikahan, Kiara menurut saja saat Marten menyuruhnya untuk membayar total biaya. Marten beralasan kalau uangnya digunakan untuk proyek penting dengan seorang teman dan baru kembali bulan depan. Ketika itu, Kiara tidak menaruh curiga sedikitpun. Ia rela menguras habis tabungan 10 tahunnya untuk sebuah pernikahan yang mewah juga indah. Namun, impian itu justru harus dibayar begitu mahal oleh Kiara. Hari di mana ia menunggu sang kekasih di kafe adalah komunikasi terakhir. Pesan suaranya tidak pernah didengar dan puluhan chat tidak lagi dibaca. Kiara awalnya menjejali pikiran negatifnya dengan dasar percaya, tapi kenaifan itu ada batasnya. Terhitung sudah tiga hari Marten tidak bisa dihubungi. Begitu juga dengan nomor-nomor yang pernah diberikan Marten pada Kiara sebagai kenalan, karyawan kantornya hingga orang tuanya. Semua nomor itu serentak mati. Kiara mulai panik lalu berniat mendatangi kantor di mana dulu ia pernah diajak ke sana untuk diperkenalkan dengan beberapa staf. Namun, gedung dua lantai itu sudah kosong. Anehnya, sebuah papan reklame besar dipampangkan didekat pintu yang menginfokan kalau tempat itu tengah mencari penyewa baru. Kiara spechless, tapi karena belum yakin dengan apa yang tengah ia alami, gadis itu lantas menghubungi nomor ponsel yang tertera di papan reklame itu. Jawaban yang ia dapat sungguh mengejutkan. Katanya, Marten hanya menyewa gedung itu selama setahun dan bukan hanya Kiara saja yang meneleponnya untuk mencari Marten, tapi sudah puluhan wanita. Lutut Kiara seketika lemas. Bahkan saking terkejutnya, gadis itu tidak bisa menangis. Ia hanya duduk di emper ruko itu sembari menatap kosong pada langit mendung di atas kepalanya. Benar, sejak awal ia bodoh dan gampang dibuai dengan sikap manis. Andai lebih tahu diri, kejadian memalukan seperti itu tidak mungkin terjadi. Lantas bagaimana dengan semuanya? Undangan juga katering untuk acara minggu depan tidak mungkin dibatalkan. Biaya kompensasinya juga akan jauh lebih besar kalau sisanya tidak lekas dibayarkan. Sekarang bukan hanya rasa malu, beban finasial siap menerornya dalam waktu lama. Kiara lantas ingat, ada beberapa barang mahal yang ia hadiahkan untuk Marten dengan cicilan kartu kredit. Itu belum termasuk dengan sertifikat rumah yang ia gadaikan untuk menutupi kekurangan biaya pernikahan. "Ya Tuhan," isak Kiara tidak lagi bisa membendung rasa sedihnya. Mata gadis itu seketika berair, bercampur dengan rintik gerimis yang kian deras dan tidak terkendali. Kiara perlahan berdiri, menerjang hujan menuju kantor polisi. Mungkin uangnya tidak akan pernah kembali, tapi minimal ia berusaha agar Marten mendapatkan balasan. Hati juga waktunya sudah terbuang sia-sia, jadi untuk apa memikirkan harga dirinya lagi? Kiara terus berjalan, membawa langkah kakinya menyusuri trotoar demi trotoar. Hujan dan perasaan kacau membuat semuanya serasa buram dan tidak realistis di matanya lagi. Bahkan pandangan orang yang berpapasan dengan Kiara, tidak penting. Ia butuh banyak air agar isi kepalanya dingin, jadi ia memutuskan untuk tidak berteduh atau memakai payung. Sekali lihat, orang lain bisa menebak kalau Kiara tengah frustasi. Gadis yang basah kuyup, berjalan di antara hujan, apa yang bisa disimpulkan lagi? Tak lama, di tengah jembatan besar, Kiara tiba-tiba saja berhenti. Ia mendadak ingat, moment saat kedua orang tuanya meninggal. Saat itu, tengah hujan lebat dengan petir yang menyambar-nyambar. Kiara dan kedua orang tuanya sedang berada di dalam mobil menuju rumah ketika sebuah truk muatan besar menabrak mereka dari belakang. Tak butuh waktu lama hingga kemudian kendaraan itu menerjang batas lalu terjun bebas ke aliran sungai. Moment saat air memaksa masuk ke hidung dan mulutnya, meninggalkan trauma berat juga kenangan paling buruk bagi Kiara. Beruntung, Kiara kecil berhasil dievakuasi tepat waktu, sedang Ayah dan Ibunya meninggal di tempat karena benturan keras. Kiara sendiri sempat koma selama sebulan sampai kemudian bangun lalu dirawat bibinya hingga berumur 18 tahun. Setelah itu, Kiara secara mandiri kuliah dan menemukan pekerjaannya sendiri. Namun, setelah semua masalah dalam hidupku, kenapa Tuhan tidak juga memberiku kebahagian? batin Kiara menatap kosong pada riak sungai di bawah sana. Mungkin, tidak akan ada yang peduli kalau ia bunuh diri. Bibinya hanya akan menangis sebentar, setelahnya lega karena tanggung jawabnya sebagai saudara sudah tidak ada. Kiara bersiap untuk memanjat, menatap sekitar dengan pandangan waspada. Di sekitar jembatan, jarang dilalui pejalan kaki. Para pengendara motor pun lebih fokus pada jalanan daripada wanita yang berdiri di pinggir pagar jembatan. Di hitungan ke tiga, Kiara akhirnya melompat, tanpa teriakan atau hati yang ketakutan. Perasaannya begitu datar dan berani mati. Mungkin, keinginannya untuk hidup sudah tidak ada. Kalau ia tetap tegar, masalah demi masalah lain akan datang padanya. Tagihan kartu kredit, uang sisa katering dan sertifikat rumah yang digadaikannya bulan kemarin. Itu belum termasuk dengan tabungan 10 tahunnya yang hilang tanpa sisa. Kiara bertekad membawa masalahnya itu ke dalam kesakitan terakhirnya. Tubuh gadis itu kini jatuh, menembus dinginnya air sungai hingga ke dasarnya. Tapi, sebelum paru-parunya benar-benar dipenuhi air, Kiara tiba-tiba saja melihat seorang pria terjun lalu berenang ke arahnya. Halusinasi? batin Kiara membiarkan tangannya ditarik ke atas. Demi Tuhan, Kiara tidak mau hidup!
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD