Chapter 1

2412 Words
Anderson Hutton, sang penguasa di era global. Namanya melejit seperti roket sepeninggal Zoel Hutton. Ayah tercinta yang terbunuh dalam Medan Perang saat melakukan bisnis terlarang. Hanya butuh waktu satu hari dalam setahun, Anderson berhasil mengambil kekuasaan dari tangan musuh dengan keberanian dan kekuatannya. Bagi Anderson tidaklah sulit melenyapkan orang-orang di muka bumi ini, yang telah menjadi tugas kecil pembunuh bayaran. Kedua tangan Anderson penuh dengan darah. Meskipun terlahir sebagai anak pebisnis besar, sejak kecil Anderson hidup mandiri tanpa pengawasan kedua orang tua. Maka begitu Zoel meninggal, harta Anderson bertambah dua kali lipat lebih banyak. Sempurna! Sudah tampan, kuat, dan kaya raya. Ketangguhan Anderson tidak dapat diragukan lagi, tetapi dia juga tak menolak anak buah peninggalan Zoel mengabdi padanya. Mereka sanggup melaksanakan perintah apapun termasuk membunuh. "Quinn Barbara," sebut Anderson membaca nama yang tertulis di balik foto gadis penipu itu. Berani-beraninya dia bermain denganku, geram Anderson penuh kecaman. Seumur hidup Anderson tidak pernah ditipu, tetapi semalam untuk pertama kalinya ia berhasil diperdaya oleh seorang gadis. Sekali lagi, gadis! Sangat memalukan. Bahkan, 20 orang lelaki berbadan besar sekalipun mampu Anderson patahkan dalam sekaligus. Bagaimana bisa seorang gadis memanipulasinya, dan merampok isi dompet Anderson Hutton. Ini benar-benar kejutan yang menjatuhkan harga diri seorang monster berwajah luar biasa tampan. "Wow." Anderson bergumam kagum, saat membalik foto mendapati Barbara nyaris telanjang. Gadis itu hanya mengenakan swimsuit bewarna hitam, yang mempertontonkan kesintalan tubuhnya dengan pose menjual bak model papan atas. Ingin melihat lebih, dalam sekali gerakan Anderson menarik kedua foto berikutnya dari amplop, mengamati wajah Barbara cukup lama. Kenapa gadis penipu ini sangat cantik? Anderson mengeram, lalu memasukkan kembali seluruh foto ke dalam amplop. Kendati, seorang Anderson Hutton tidak pernah sesakit sekarang. Hanya dengan melihat gambar saja sudah membuatnya terangsang. "Dave," panggil Anderson setelah menempelkan ponsel ke kuping. Salah satu anak buah Anderson itu sedang melakukan pengintaian terhadap Barbara, seharusnya dia menunggu hingga larut malam. Ketika gadis itu benar-benar sendirian di apartemen. Akan tetapi tubuh Anderson tidak bisa menahan lagi. Menunggu lebih lama sama saja membiarkannya tersiksa. "Aku tidak mau tahu! Sekarang juga, bawa gadis itu menghadapku." *** Barbara menyeret kedua tangan sahabatnya ke meja bartender, memesan dua botol minuman paling mahal untuk merayakan kemenangan. Barbara memang suka bermain-main. Mulai dari permainan kecil sampai yang berbahaya sekalipun. Apalagi sejauh ini selalu berjalan dengan sesuai keinginan. Obsesi terhadap suatu permainan semakin berkobar bak lalapan api. "Kau sangat keren," puji Argetta sambil menyalakan rokok dengan pemantik, lalu mengembuskan asap secara berkala. Megan mengangguk sekali. "Seorang Anderson kau bikin tak sadarkan diri, rasanya aku masih belum percaya. Aku harus belajar banyak darimu bagaimana melemahkan lelaki sekuat Hutton." Argetta melanjutkan, setengah berteriak di tengah kerasnya musik DJ. "Kau berlebihan, aku hanya memasukkan obat penenang ke dalam minuman," jawab Barbara lalu tertawa paling keras. Megan hanya mengangguk dua kali. Di antara mereka bertiga Megan yang sangat pendiam, tak banyak omong bahkan bisa dibilang gadis baik-baik. Sebenarnya Megan merasa tidak nyaman berada di diskotik, tetapi demi melihat kegembiraan Argetta dan Barbara, gadis itu rela mengalah. Doarr! Semua orang di lantai dansa memekik, berlari ketakutan menyelamatkan diri termasuk ketiga gadis di meja bartender tadi. Spontan Argetta menarik kedua tangan sahabatnya mencari jalan keluar. Menembus kerumunan dengan panik, sehingga tanpa sadar genggaman tangan mereka terlepas. "Argetta, Megan!" teriak Barbara takut, disusul tembakan kedua yang terdengar menggelegar. Keributan terjadi begitu cepat, menyudutkan Barbara di sudut ruangan menyaksikan baku hantam antar pengunjung. Quinn Barbara memang nakal suka keluar masuk diskotik, tetapi jiwanya penakut dan sangat lemah. Kejadian beberapa tahun silam membuat Barbara trauma. Tepat di depan mata kedua orang tuanya tewas tertembak. Dengan tangan gemetaran Barbara mencari kontak Robin sang kekasih, ingin meminta pertolongan. Tepat di nada sambung ketiga telepon diangkat. Tanpa basa basi Barbara langsung menuntut Robin agar segera menjemputnya. Kebetulan letak kampus mereka tidak jauh dari tempat keributan. "Jangan ke mana-mana, aku akan datang." Begitu kata Robin. Jadi Barbara tetap diam, meringkuk di bawah meja sambil menutup kuping. Menghalau suara tembakan yang masih terngiang di kepalanya, seperti bom anderil. Ketika keadaan mulai senyap, perlahan namun pasti Barbara mendongak dan menekap mulut tatkala menemukan sepuluh lelaki kekar mengelilinginya dengan senjata. Kontan Barbara memekik saat salah satu dari mereka merangsek maju, lalu menariknya keluar dari tempat persembunyian. Menyuguhkan pemandangan lantai berdarah. Semua orang bercucuran darah tergeletak tak berdaya, yang lebih menyedihkan dia tidak mendapati Argetta dan Megan di mana-mana. "Lepaskan aku." Barbara meronta di dalam cengkraman Dave, memaki, dan mengumpat. Akan tetapi Dave seakan tuli, tangannya yang sekeras batu menyeret paksa lengan Barbara menuju pintu keluar diikuti oleh kesembilan penjahat. Segala pemberontakan gadis itu berakhir sia-sia, karena bahkan Dave sendiri tidak merasakan pukulan apapun. "Tunggu." Interupsi seseorang dengan tegas. "Robin." Secercah senyum terukir di bibir manisnya. Barbara semakin memberontak seperti mendapat dorongan super. Dengan mengerahkan seluruh kekuatan Barbara menendang bola Dave tanpa ampun, sampai si empunya menjerit kesakitan. Yes! Berhasil. Namun, belum sempat Barbara melarikan diri cengkraman lain sudah merenggut, disusul suara tembakan yang menembus jantung. Tepat di depan matanya Robin ditembak sebanyak dua kali, mengeluarkan banyak darah, dan ... sekarat. Di saat Barbara hendak menolong Robin, cengkraman di lengannya semakin mengencang. Sekeras apapun usaha yang Barbara kerahkan hanya berakhir sia-sia. Mereka semua sangat kuat. "Pastikan dia sudah mati," kata Dave sambil menyeret Barbara menjauhi Robin. Di dalam hati Dave bersumpah, kalau saja Anderson tidak menugaskan membawa gadis ini dalam keadaan sadar, maka sejak tadi sudah dilayangkannya pukulan. Membuat Barbara pingsan itu lebih baik, daripada harus mendengar isak tangis yang sangat mengusik. "Hiks, kalian sudah membunuh kekasihku, kenapa tidak sekalian saja kau tembak aku." Dengan berurai air mata Barbara menatap Dave menuntut penjelasan, mengusut dadanya menahan sakit. Rasanya sakit sekali, Barbara hanya ingin mati sekarang. Sumber kebahagiaan Barbara selama ini telah tiada. Robin tewas tertembak karena dirinya, jadi untuk apa bertahan hidup. Tinggal sebatang kara di dunia adalah mimpi buruk yang kini sudah menjadi kenyataan. Lalu, atas dasar apa orang-orang berbadan batu ini datang mengacaukan kesenangannya? Quinn Barbara sama sekali belum menyadari, bahkan tidak tahu akan dibawa ke mana. "Kau melakukan kesalahan besar," jawab Dave di kursi kemudi seakan bisa membaca pikiran Barbara. "Kesalahan apa? Aku tidak pernah berbuat salah." Menggeleng keras Barbara masih tidak mengerti, tetapi kengerian turut membayangi di sepanjang jalan. Hingga mobil berhenti di halaman luas sebuah rumah, tidak, ini lebih bisa disebut dengan istana. Pengawal berseragam hitam berbaris menyambut kedatangan mobil yang Barbara tumpangi, seakan telah ditunggu lama. Kesedihan Barbara memuncak saat merasa tak ada sedikitpun peluang untuk kabur. Sungguh! Tempat ini tampak mengerikan. Barbara sangat takut. Ketika salah satu dari mereka membukakan pintu, dalam sekali gerakan Dave menarik paksa Barbara keluar. Kepercayaan Anderson terhadap dirinya begitu besar, bahkan Dave menghormati Hutton seperti seorang kakak. Maka dari itu segala perintah beliau bagaikan santapan empuk bagi Dave, sedangkan kebahagiaan Anderson menjadi bagian dalam hidupnya. "Lepaskan aku." Barbara meronta, enggan memasuki pintu utama kediaman Anderson. Paksaan Dave membuat kepala Barbara seakan berputar, lengannya terasa nyeri, ditambah rasa kehilangan yang tidak pernah dia duga menyakiti perasaan semakin tak keruan. Bersamaan dengan air mata menganak sungai Barbara didorong tanpa peringatan, membuat tubuhnya jatuh tersungkur tepat di hadapan sepasang sepatu mahal. "Pelacurmu," serah Dave seperti membuang sekantong sampah. Pelacur? Barbara bertanya-tanya, di detik berikutnya wajah Anderson Hutton muncul di depan mata. Deg! Seketika jantung Barbara seakan berhenti berdetak, dipertemukan kembali dengan sosok Anderson bagaikan melihat hantu. Kemenangan Barbara belum sampai 1x24 jam, akan tetapi kekalahan sudah datang menjemput. "Anderson Hutton." Air muka Barbara pucat pasi, berkeringat dingin dan gemetaran. Jadi, ini dia kesalahan terbesar yang dimaksud. Tanpa sepatah kata Anderson merenggut lengan kecil Barbara, membangunkannya di kedua kaki, lantas menarik gadis itu masuk ke dalam dengan cekalan yang begitu kuat. Hampir seharian Anderson menunggu waktu ini tiba, membalas perbuatan konyol Barbara sampai harga dirinya benar-benar lunas terbayar. Anderson sangat hebat, dan tidak dapat dikalahkan oleh siapapun. Mungkin, semalam kehebatan Anderson sempat melayang diperdaya oleh gadis lemah seperti Barbara, tetapi tidak untuk kali ini. Hutton akan menunjukkan kekuatannya kepada Quinn Barbara. Mengendalikan tubuh kecil itu semalaman penuh dengan bermain keras, sampai kedua kakinya tak dapat digerakkan. "Anderson, kumohon maafkan aku, secepatnya uangmu akan kubayar," rintih Barbara sesaat Anderson menendang pintu sebuah kamar. Dalam hidup Anderson pantang baginya menyakiti fisik seorang perempuan, jadi Hutton melampiaskan kemarahan pada benda mati di sekitar. Menyeret Barbara masuk dengan tidak sabaran, lalu mendorongnya ke atas ranjang. Tanpa membuang waktu Anderson pun melepaskan dasi dalam gerakan cepat, membuka kancing kemeja, juga tali pinggang yang dikenakan. "Aku tidak menginginkan uangmu, tapi ..." "Tidak! Jangan mendekat, aku bukan pelacur." Melihat gadis itu panik Anderson menyeringai, ditambah kegesitan Barbara merangkak naik membuat bagian dari tubuhnya menegang. Dia sangat lincah dan panas. Tetapi, Anderson tahu betul jika Barbara bukan p*****r bahkan masih perawan. Terlihat dari bentuk tubuh serta keakuratan informasi yang Hutton terima, bahwa sosoknya memegang prinsip tidak akan melakukan s*x sebelum menikah. Itu menjadi senjata paling ampuh untuk membalaskan dendam. Mengambil pengalaman pertama gadis secantik  Barbara. Sebagai tolak ukur jatuhnya harga diri Anderson Hutton. "Kau sangat cantik, sungguh!" Rayu Anderson sambil memainkan dagu, berkata sesuai fakta. Sejak pertama kali melihat kecantikan Barbara, Anderson memang sudah tertarik, dan berhasrat ingin menyetubuhinya sampai pagi. Saking terobsesi bermain panas dengan Barbara, otak Anderson sempat tidak berguna sehingga terlambat menyadari betapa liciknya gadis itu. Berpura-pura menjadi p*****r hanya untuk mempermainkan seorang penguasa, itu bencana. "Anderson, aku menyesal, kumohon lepaskan aku." Menjatuhkan lutut sama tinggi, Barbara memohon sambil menangis. "Milikku sudah mengeras, bagaimana bisa aku melepaskanmu?" Dengan santai Anderson melepas kaus terakhir yang memperlihatkan otot-otot tubuhnya, lalu mendekati Barbara di ujung ranjang. Menyingkirkan anak rambut yang menghalangi wajah cantik Barbara, entah mendapat dorongan dari mana Anderson mengecup singkat kedua mata sembap di depannya secara bergantian. "Aku suka matamu," bisik Anderson seringai bulu, lalu membawa Barbara ke dalam pelukan. Air mata Barbara semakin banyak keluar, menyayangkan kekuatannya tak sebanding dengan Anderson. Membiarkan lelaki hebat ini berbuat semaunya mungkin akan lebih baik, karena Barbara sudah sangat lelah. Setelah Anderson mendapatkan apa yang dia inginkan, maka Barbara akan melompat dari lantai 5 kediaman Hutton. *** "Kenapa kau tidak menyalurkan obsesi gilamu semalam?" Barbara menatap Anderson, melihat lelaki itu sudah berpakaian rapi. "Aku sangat ingin, kau tahu aku sudah b*******h, tapi aku tidak bisa." "Kenapa?" tanyanya lagi, sama sekali tidak mengerti oleh rencana Anderson. "Kau ingin aku melakukannya?" Anderson balik bertanya, seraya memerhatikan tubuh mulus Barbara dengan mengerling nakal. Barbara langsung siaga satu, bergelung di balik selimut sambil menggeleng keras. Sepasang mata biru miliknya bergerak cepat mengantisipasi setiap gerakan Anderson, dan memekik saat lelaki itu melompat ke ranjang tanpa aba-aba. Bukan Anderson namanya jika tidak membuat takut semua orang, bahkan sanggup melakukan apapun yang diinginkan. Termasuk mencium bibir Barbara dengan panas, sangat b*******h. "Mmph," ucapan Barbara teredam berulang kali, Anderson memang gila. Lelaki itu tak kunjung melepaskan ciumannya sementara napas Barbara sudah terenga-enggah, kehilangan banyak pasokan udara. Sesaat tubuhnya menginginkan lebih, Anderson menarik diri saat teringat sesuatu. Kedatangan Anderson menemui Barbara sepagi ini hanya untuk mengecek. Memastikan bahwa calon pelacurnya baik-baik saja, sebelum pergi ke kantor pusat. "Aku segera kembali," kata Anderson penuh arti, tak dapat menyembunyikan gairah yang kian besar. Selepas kepergian Anderson, tubuh Barbara bergetar hebat diiringi air mata sederas hujan badai. Anderson benar-benar menganggap dirinya seorang p*****r. Cepat atau lambat Anderson pasti memaksakan kehendak, menebus kebutuhannya lewat Barbara. Oh, ya Tuhan! Ia merasa takut, dan sangat menyesal. Mengusap bibirnya dengan gusar, Barbara pun melompat turun mengitari ruangan. Mencari celah barangkali ada peluang untuk kabur. Mata biru gadis itu berputar lalu mengarah pada jendela yang terbuka lebar. Secercah harapan langsung muncul di wajah Barbara seakan mendapat jalan, tetapi senyumnya seketika memudar saat melihat puluhan pengawal bersenjata di luar sana. "Robin ..." Menangkup dadanya, Barbara merasakan sesak mengingat kematian kekasih tercinta. Salah satu dari mereka yang telah menembak Robin, mengambil bagian hidupnya secara tragis. Quinn Barbara tidak akan pernah memaafkan perbuatan Anderson. Perasaan Barbara terlalu sakit menghadapi rasa kehilangan yang tiba-tiba. Seperti ditarik kembali pada kejadian beberapa tahun silam. Ayah, ibu ... "Nona," panggil seseorang, buru-buru Barbara menghapus air mata di pipinya, dan berbalik. "Kau harus sarapan, lalu membersihkan dirimu." Pelayan itu mendekati Barbara, menuntunnya ke sisi ranjang dengan lembut. Sementara pelayan paruh baya itu menyiapkan makanan, Barbara hanya diam memerhatikan tanpa mengeluarkan suara. Melihat sikap keibuan beliau mengais ingatan Barbara pada sosok ibu, penuh kelembutan, hangat, dan selalu tersenyum. "Aku tidak lapar." Barbara menolak saat pelayan menyodorkan roti isi beserta segelas s**u, di dalam sebuah nampan. "Tuan Anderson, akan marah padaku kalau kau tidak makan." "Bilang saja aku sudah makan." Masih kekeuh Barbara mengibaskan tangan di udara, dan membuang muka. "Selama bekerja padanya aku tidak pernah berbohong, atau aku akan dipecat." Mendengar pernyataan barusan Barbara kembali menatap wanita itu, ada perasaan iba sekaligus sedih melihat beban yang tersirat di bola mata beliau. Anderson Hutton memang kejam. Seharusnya, sejak awal Barbara menghindari makhluk keturunan Hutton, bukan malah bermain-main apalagi sampai merampok uang lelaki itu. "Aku bekerja pada Tuan Anderson sejak beliau masih kecil, mengurus dan menjaganya seperti anakku sendiri. Selama 25 tahun aku mengikuti perkembangan Hutton. Jadi, aku tidak takut sepertimu, tentu aku sudah tahu sisi gelapnya yang begitu tega membunuh orang seperti melenyapkan seekor nyamuk," cerita si pelayan menciptakan suasana nyaman di antara mereka berdua. Percaya atau tidak Barbara tertarik dengan ceritanya, dan ingin mendengarkan lebih banyak soal Anderson. Bagaimana bisa Hutton menjadi kejam? Tidak mungkin sisi kejahatan seseorang tercipta begitu saja, tanpa penyebab. "Dulu, Tuan Anderson sangat penyayang sebelum sang ayah Zoel Hutton melibatkannya ke dalam bisnis besar, mengenalkan kepada musuh-musuhnya dan membentuk karakter baru yang kuat," lanjutnya menerawang jauh seolah mengingat setiap kejadian. Ingatan Denia berputar, mengenang masa lalu sambil bercerita panjang kali lebar. Menyakinkan pada Barbara bahwa tidak akan terjadi apa-apa. Anderson memang kejam, tetapi wanita ini terlihat menyayanginya dengan setulus hati. Kendati, suara lemah Denia selalu berkata 'Anderson penyayang' memperjelas jika dirinya betapa merindukan sosok lama Hutton.  "Tapi, Anderson sangat berbahaya, dia telah membunuh kekasihku," sela Barbara tidak dapat menyembunyikan ketakutannya terhadap Anderson. Denia tersenyum hangat sembari membelai pipi kanan Barbara, lalu berkata, "Anderson memang kuat seperti monster, tetapi hatinya sangat mudah tersentuh dan penyayang." Setelah cukup menyakinkan Barbara hari ini, Denia pun berlalu meninggalkannya sendirian di kamar. Anderson tidak pernah meminta apapun kepadanya, akan tetapi Denia tahu jika sang penguasa ingin Barbara nyaman tinggal di sini. Meskipun Denia sama sekali tidak mengerti maksud, dan tujuan Anderson membawa Barbara ke rumah. Setidaknya, Denia mengenal baik Anderson jika lelaki itu tak akan melakukan hal yang mengerikan di rumah apalagi sampai melukai fisik seorang perempuan. "Denia, di mana gadis itu?" tanya Dave yang tiba-tiba muncul di dapur, menghentikan aktifitas memasak Denia. "Ada di kamar," jawab Denia apa adanya setelah mencuci tangan. "Aku baru saja dari kamar, mengeceknya, tetapi dia tidak ada di mana-mana." ---------- TBC
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD