Skrip-1

1284 Words
"Jadi? Kapan selesai skripsinya?" Pertanyaan menyebalkan yang membuat Ava ingin sekali membenturkan kepalanya ke meja. Tapi akan lucu jika tiba-tiba saja ia geger otak. Sudah jomlo, tidak terlalu pintar, stres karena skripsi, ditambah geger otak. Makin tidak berguna hidupnya. Ava memilih membalas pertanyaan itu dengan gumaman singkat, berharap Mamanya berhenti menanyakan perihal itu lagi. "Kalau belum selesai juga, nikah aja, deh. Kan, enak, kalau ada suami ada yang bantu bikin skripsi." "Iya, kalo dapat sarjana. Kalo dapat tukang sembako? Apa Ava enggak makin pusing? Mikirin skripsi, mikirin utang tetangga pula. Banyak yang ngutang pasti." Adelia—sang Mama hanya bisa geleng-geleng kepala. Usia Ava sudah 24 tahun. Bukan karena Ava jadi mahasiswa abadi, tapi karena gadis itu harus menunda dua tahun sebelum akhirnya kuliah di usia 20. Alasan Ava menunda kuliah karena memang anak itu tidak ingin kuliah. Butuh perjuangan untuk membujuk Ava. Bagi Adelia, itu sudah cukup untuk menikah. Jika terlalu tua, nanti keturunannya sedikit. Apalagi, Ava anak perempuan satu-satunya. Mana tega Adelia melihat anak gadisnya itu jadi perawan tua? Belum lagi kelakuan dan otaknya yang pas-pasan. Adelia terlalu sayang putrinya itu, makanya ia ingin sekali Ava cepat menikah. "Mama sudah punya calon buat kamu. Sarjana, s3 lagi." Ava memutar bola mata malas. "Apalagi yang udah s3. Udah om-om! Ava gak mau!" "Kalau gak mau, selesaikan skripsi kamu! Secepatnya Mama mau terima undangan wisuda, atau Mama yang akan buatin kamu undangan pernikahan!" Ava menganga. Ia menatap punggung sang Mama yang menghilang dari balik pintu. Helaan napas terdengar berat. Ava mengusap wajahnya kasar. "Salahin si Arka, noh! Dosen songong! Tinggal ACC doang pakai banyak drama segala! Dia yang bikin skripsi Ava jadi SkripSHIT!" ----- Ava berjalan dengan malas, kakinya terasa enggan sekali melangkah ke ruang itu; ruang Pak Arka--dosen pembimbingnya. Ava selalu sebal melihat wajah pria itu. Tampan, sih, tapi kalau senang mempersulitnya, ya, tampannya hilang ditelan bumi. Boro-boro tampan, yang ada wajah datarnya itu terlalu mendominasi, jadi tampannya mubazir. Ia sudah berdiri di depan pintu berwarna cokelat yang mirip sekali dengan pintu kontrakan Mang Jajang. Ia menghela napas sebelum akhirnya mengetuknya agak keras, tahu dosennya yang satu ini agak bermasalah dengan pendengarannya. Mungkin saja! Habisnya, setiap ia datang, Arka selalu pura-pura tidak menyadari kehadirannya. Tidak sering, sih. Kadang-kadang saja. Tapi tetap menyebalkan, benar? Tok ... Tok ... Tok ... "Assalamualaikum, Pak. Saya Ava," katanya sedikit berteriak. "Iya, masuk!" Tumben banget gak pake acara pura-pura gak tahu gue datang. Ava langsung duduk di kursi depan meja Arka. Pria itu melirik Ava sekilas, lalu kembali menatap layar laptopnya. "Siapa suruh kamu duduk?" Gadis itu refleks berdiri, membuat Arka memiringkan sedikit kepalanya. "Saya bercanda." Ava memandang Arka jengah, namun sedetik kemudian ia tertawa agak keras, meskipun tawanya terkesan memaksa. "Bapak lucu, deh." "Sudah revisi bab 3 seperti yang saya arahkan sebelumnya?" tanyanya dengan suara berat khas pria dewasa, namun lebih terkesan dingin dan ... mengintimidasi. "Sudah, Pak. Silakan dicek." Selagi Arka mengecek, suasana ruangan jadi berubah tegang. Entah kenapa, Ava merasa dugaannya kali ini tidak meleset. Dalam hitungan ketiga, Ava mulau menyiapkan diri. Satu ... Dua ... Tiga ... "Saya suruh kamu revisi bukan mengubah semua dari awal, Ava. Saya sudah kasih banyak buku refrensi untuk kamu, kenapa saya hanya melihat sedikit di sini?" Tuhkan, apa kata gue. Emang gue mah selalu salah. "Maaf, Pak. Semua buku refrensi dari Bapak punya isi yang hampir sama. Saya cuma mengambil dari yang paling lengkap dan jelas." Arka menatap Ava agak lama. Bulu kuduk gadis itu langsung naik seketika. Kenapa jadi horor begini? "Yang ini tidak saya ACC. Kamu baca lagi buku-buku refrensinya. Saya tidak akan memberikan buku itu kalau tidak ada gunanya." Gadis itu menghela napas berat. Sudah diduga akan berakhir seperti ini. Sudah sebulan lebih, Ava masih berjuang di bab 3, sedangkan teman-temannya sudah akan sidang. Jika begini urusannya bisa gawat. "Pak! kapan, sih, bab 3 saya di ACC? Kalo kaya gini terus, gimana saya bisa wisuda tahun ini? Kalo saya gak wisuda tahun ini, nanti saya dinikahin sama om-om tua pilihan mama, Pak. Bapak tega lihat mahasiswi Bapak yang imut ini nikah sama om-om?" Arka menaikkan sebelah alisnya, menatap Ava yang kini memasang wajah frustrasi. Lucu memang, tapi tidak mencapai standar humor untuk seorang Arka. "Bagus kalau begitu. Ada yang bantu skripsi kamu." Tidak seperti harapan, jawaban Arka sama saja dengan mamanya. "Kenapa, sih, orang tua selalu berpikiran begitu?" keluh Ava. "Sudah curhatnya?" Ava menghela napas. "Sudah, Pak." "Jangan terlalu fokus sama bab 3 aja. Kamu bisa mulai bikin bab 4 dan 5. Kamu mau cepat wisuda, kan?" Ava mengangguk, seperti anak kecil yang sedang dinasehati. "Kalau begitu kerjakan! Pertemuan berikutnya kasih saya bab 3, 4, dan 5. Gak usah ngeluh, kerjakan saja." "Yah, Pak. Tapi kalo nanti Bapak gak ACC lagi gimana?" "Ya udah, kamu nikah saja." Nyebelin banget, sumpah!             ----- Arka menaruh tasnya di sofa, lalu melonggarkan dasinya dan mengambil segelas air putih di meja makan. Ia meneguknya sampai habis. Sebuah tepukan di bahu membuatnya menoleh. Sosok yang sangat ia sayangi—Mama. Wanita itu memijat bahunya pelan. "Capek banget, ya? Mau makan apa? Biar Mama buatkan." "Ayam kecap buatan Mama aja, deh. Lagi pengin ayam." Fara tersenyum, lalu mulai mempersiapkan bahan-bahan untuk memasak. Wanita itu mulai mengeluarkan bahan-bahan yang ada di dalam kulkas, menaruhnya di atas meja dekat kompor. "Gimana dia? Sudah 4 bulan, loh. Kapan diajak ke sini?" Arka menaruh gelasnya. "Masih sama. Cerewet, ngeluh mulu, dan pastinya susah dibilangin," kata Arka, tentu dengan nada datarnya. Fara tertawa pelan. "Lagian kamu juga, sih. Senang banget ngerjain dia. Kenapa gak di ACC aja skripsinya? Kasihan, loh." "Enggak bisa gitu. Dia memang udah bagus, judulnya, isinya, penulisannya, semuanya sempurna untuk seukuran mahasiswi dengan otak pas-pasan. Tapi Arka cuma mau ngajarin supaya dia dengar saran orang. Dia selalu aja melenceng dari apa yang Arka bilang. Kalau kaya gitu terus, nanti kebiasaan, Ma. Dalam berkeluarga juga harus dengar saran dari pasangannya, kan? Ava terlalu percaya diri dengan dunianya." Ya ... gadis yang sedang dibicarakan ini tentu saja seorang Ava. Avalyn Exienna--mahasiswinya. Fara yang mendengar penuturan putranya hanya bisa mengiyakan saja. Putranya memang seperti itu, ya, mau bagaimana lagi. Sikapnya yang terkesan mengintimidasi, justru itulah yang jadi caranya menyampaikan perhatiannya. "Terus juga, tadi dia curhat, katanya mau dinikahin sama om-om kalau gak diwisuda tahun ini. Memangnya Arka setua itu?" tanya Arka lagi. Oh, ayolah. Ia baru berumur 30 tahun dan tidak setua itu. "Itu karena dia gak tahu yang dimaksud mamanya itu kamu." "Kalau dia tahu ... gimana, ya, hebohnya?" Arka berani membayangkan seheboh apa Ava saat mengetahui bahwa Arka lah yang akan menikahi gadis itu. Sebenarnya ancaman tidak diwisuda itu hanya omong kosong. Meskipun Ava diwisuda besok, Arka tetap akan menikahinya. Ya seperti itulah rencananya. Arka juga agak frutrasi saat mengetahui bahwa Ava yang akan dinikahinya. Kalau bukan karena permintaan almarhum Ayahnya dan Ayah Ava, Arka lebih baik mencari istri sendiri. "Ava itu anak baik. Dia penyayang. Kamu belum lihat semua sifatnya. Kamu hanya melihat sisi terdepannya. Kamu tahu kerang? Cangkangnya jelek, kotor karena lumpur, keras, tapi ketika dibuka, ada mutiara. Seperti itulah Ava. Kamu yang harus membuka cangkang kerasnya, lalu dapatkan mutiaranya." Arka terdiam sebentar. Ia menatap lurus ke arah gelas yang tadi ia pakai untuk minum. Pikirannya menerawang jauh, membayangkan hari di mana ia harus menikahi Ava yang ia tahu sekali—Ava tidak menyukainya. Lagipula, ia juga tidak menyukai Ava. Gadis manja, bawel, keras kepala. Bagaimana Arka akan menghadapi Ava seorang diri? Membayangkannya saja sudah semengerikan itu. Beruntunglah ia anak berbakti, menuruti keingan sang Ayah yang sudah setahun lalu meninggalkannya, Mama dan Ares, tidak berjauhan dengan hari di mana om Anton—Ayah Ava juga meninggal karena sakit. Arka ingat sekali permintaan terakhir sang Ayah; menjaga Ava seperti yang diminta Om Anton. Sebagai anak penurut, Arka bisa apa? Menolak juga tidak ada gunanya. Meskipun di dalam hatinya ia masih menginginkan seseorang … seseorang yang masih berada di relung hatinya, menetap sempurna tanpa bergeser sedikitpun. Arka menghela napas. Seandainya Wanda tidak memilih menikahi pria itu—mungkin saat ini Wanda sudah menjadi istrinya. Siapa yang tahu … ternyata takdirnya semenyebalkan itu. Ava … kita lihat seperti apa takdir kita ke depannya.  ---To be continued-
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD