Mempertaruhkan Nyawa

1366 Words
Sekelompok anggota SWAT yang dipimpin oleh Brendan Cooper sedang menyusuri lorong bawah tanah untuk menuju ke sebuah bank yang saat ini sedang dirampok oleh komplotan penjahat yang memang sangat dicari di kota Los Angeles. Bagaimana tidak, komplotan yang menamakan dirinya Wolf Geng telah merampok hampir 10 bank dalam dua bulan terakhir ini. Bahkan yang lebih hebatnya lagi komplotan itu selalu saja lolos dan tidak berhasil diringkus oleh FBI. Sampai akhirnya, sekelompok SWAT yang dipimpin oleh Brendan ditugaskan untuk menangani masalah ini. "Kita bagi menjadi dua regu. Regu pertama kau yang memimpin Morgan, kau ke sebelah sana dan aku masuk lewat sini!" Tunjuk Brendan ke sebuah jalan untuk masuk ke dalam bank sambil terus mengamati peta yang dibawanya. Kini Brendan membagi regu yang dipimpinnya ke dalam dua kelompok. Masing-masing kelompok terdiri dari 5 anggota karena memang terdapat dua jalan masuk menuju lokasi bank di mana aksi perampokan itu sedang berlangsung. Bukan hanya perampokan, beberapa sandera yang berjumlah 10 orang menjadi fokus utama dalam misi Brendan kali ini. Sementara itu, situasi di dalam bank tampak sangat mencekam. Terlebih setelah salah satu dari 7 penjahat baru saja membunuh 1 sandera sebagai ancaman kepada pihak berwajib yang tengah mengepung lokasi bank tersebut untuk membiarkan mereka pergi. "Dengarkan baik-baik! Saya beri waktu 10 menit agar kalian menjauh dan pergi dari lokasi bank ini atau kesepuluh orang yang masih tersisa akan mati seperti tadi!" kecam seorang penjahat dengan wajah yang ditutupi topeng. Membuat identitas mereka tak dapat dikenali. Setelah selesai menyiarkan ancaman mereka secara live, kini ketujuh penjahat itu masih menunggu tanggapan dari pihak berwajib dengan penuh kegusaran. "Bagaimana jika mereka tetap tak menuruti permintaan kita?" Salah satu penjahat tampak gelisah karena rencana mereka harus berantakan sebab ada seorang sandera yang diam-diam menghubungi polisi di luar sepengetahuan mereka. "Ini pasti karena ada salah satu sandera di sini yang diam-diam menghubungi polisi! Bagaimana hal sebahaya itu bisa luput dari pengawasanmu!" jawab salah satu penjahat lainnya dan menyalahkan pria tadi yang kini terlihat gelisah atas kecerobohannya karena dianggap lalai menjalankan tugas seperti yang sudah ditentukan, lalu ia memindai semua sandera yang tengah ketakutan saat ini. Merasa kesal dengan darah yang mendidih, ketujuh penjahat itu mulai menginterogasi seluruh sandera dan menanyakan mereka satu persatu dengan penuh ancaman. "Apa kau yang menghubungi polisi?" Seorang pria paruh baya tengah dicengkeram kerah kemejanya hingga membuat raut wajahnya tampak basah oleh peluh ketakutan. Bahkan celana hitam perlente-nya itu mulai basah karena pria tersebut sampai mengompol di celana. "Tidak Tuan, saya tidak berani. Tolong jangan bunuh saya! Saya bisa memberikanmu seluruh uang yang saya bawa ini, tapi jika kamu mau membebaskan saya. Bukankah kamu merampok bank hanya untuk uang, kan?" Dengan tercekat pria paruh baya itu coba memberi penawaran pada penjahat yang tengah mencengkram kerah kemejanya. Namun, sayangnya hal itu malah berakhir tragis untuk hidupnya. Tak hanya merampas koper dari tangan pria tersebut, penjahat itu juga merampas nyawanya hingga ia mati seketika. Jalannya interogasi berlangsung sangat alot karena tak ada satu pun yang mengakui. Seluruh sandera tetap bungkam, walau sudah ada dua orang yang menjadi korban. Belum lagi beberapa orang terluka akibat pukulan dari para penjahat itu yang seolah tak berperikemanusiaan. Merasa bersalah atas tindakannya yang ternyata malah memakan korban, seorang wanita dengan lantang mulai mengakui bahwa dialah orang yang telah menghubungi polisi, beberapa menit setelah para penjahat itu datang merampok bank tersebut. "Aku yang telah menghubungi polisi!" ungkap seorang wanita yang bernama Alice Noomi. Wanita yang bekerja di salah satu bar terbesar di kota Los Angeles itu sebenarnya tidak pernah sekalipun pergi ke bank. Namun, kebetulan hari ini ia sedang ada keperluan untuk mencairkan sebuah cek yang didapatnya dari salah satu pelanggan di bar. Nahasnya, perampokan itu terjadi di waktu yang sama dengan kedatangannya. "Dasar wanita jalang!" Salah satu penjahat seketika mencengkram rambut Alice hingga wanita itu mengaduh kesakitan. "Lepaskan aku! Lepaskan aku, tolong!" pinta Alice terus memohon sambil meringis kesakitan. Bagaimana tidak, penjahat itu menyeret tubuhnya dengan mencengkram erat surai rambutnya yang berwarna keemasan. Tak ada yang berani menolong Alice. Semua sandera lainnya hanya diam tanpa kata, menatap iba tanpa suara. Mereka sebenarnya ingin bertindak. Namun, apa daya rasa takut seolah mengikat kedua kaki mereka untuk bergerak. Setelah tiba di sudut ruangan, tubuh Alice mulai digerayangi oleh penjahat itu tanpa ampun. Sekeras apa pun Alice berontak, semua percuma karena tenaga pria itu lebih besar darinya. "Hei, kau pria biadab yang sangat menjijikkan! Berhenti menyentuhku!!" Alice terus menghina penjahat itu sambil berontak untuk melepaskan dirinya. Namun, apa yang dilakukannya malah membuat pria itu semakin gelap mata. Alice pun ditampar dengan keras hingga tubuhnya jatuh ke lantai. Tak cukup sampai di situ, pria itu kembali menyergap Alice untuk memenuhi hasratnya. Hasrat yang kian timbul karena melihat tubuh wanita itu tampak seksi di matanya. Di saat Alice hanya bisa pasrah akan kehidupannya, tiba-tiba suara langkah kaki terdengar dari bawah tanah. Membuat pria itu seketika menghentikan apa yang hendak dilakukannya. "Ada yang datang? Cepat kalian periksa di sebelah sana!" Pria yang merupakan pemimpin dalam misi perampokan itu menunjuk ke sisi kirinya. Dilihatnya, ada sebuah pintu besi dan itu tersembunyi di balik sebuah almari besar. "Baik, Bos." Dua orang anak buah pria itu, kini mulai memeriksa apa yang diperintahkan kepadanya. Namun, di saat kedua pria itu baru saja mendekat, tiba-tiba sebuah ledakan membuat langkah mereka beringsut mundur. Asap yang mengepul membuat setiap orang yang berada di sana jadi terbatuk-batuk dan kesulitan melihat. Sampai akhirnya, Brendan pun muncul dan dengan pistol Dessert Eagle yang dimilikinya, ia menembaki kedua penjahat itu. Tak hanya sampai di situ, Brendan kemudian berlari dan melompat ke balik sebuah meja yang tak jauh dari tempatnya berada untuk berlindung dari muntahan peluru yang terus diarahkan padanya. "Tunggu aba-aba saya untuk masuk! Morgan, tahan pergerakan karena masih terlalu bahaya untuk sandera!" bisik Brendan sambil menyiapkan pistolnya untuk kembali menyerang. "Hai, polisi yang sok jagoan! Aku akan membunuh wanita ini jika kau tidak menyerahkan dirimu!" kecam pimpinan penjahat itu sambil membekap tubuh Alice dan menodongkan pistol pada pelipisnya. Brendan semakin tersudut. Terlebih ketika penjahat itu mulai menghitung mundur agar Brendan segera keluar dari tempat persembunyiannya. "Sial, aku tak punya pilihan lain!" Sambil mengangkat kedua tangannya, pria itu pun keluar dari tempatnya berlindung. "Stop! Lepaskan wanita itu!" titah Brendan dengan sorot matanya yang tajam. Kini posisi Brendan tengah membelakangi pintu tempatnya masuk. Posisi yang sejajar dengan penjahat itu. "Bagus kalau kau paham, tapi kau tidak cukup pintar dengan masuk ke tempat ini. Kau sangat bodoh karena menyerahkan dirimu." Penjahat itu mulai mengalihkan bidikan pistolnya ke arah Brendan dan bersamaan dengan itu Brendan merentangkan jari telunjuk dan merenggangkan jari tengahnya lebar-lebar. "Mati, kau!" Alice menatap dengan penuh rasa takut. Bahkan ia memejamkan kedua matanya karena tak berani menyaksikan penjahat itu menembak Brendan. "Ya Tuhan, selamatkan polisi itu," batin Alice yang tiba-tiba tertegun, saat yang mati ternyata adalah penjahat yang seketika melepas dekapan tangannya dan roboh seketika. "Sekarang! Sergap dan lumpuhkan mereka!" Ketika pandangan penjahat yang lain masih terpaku atas kematian pimpinan mereka. Tiba-tiba sebuah ledakan kembali terjadi dan seketika pasukan SWAT yang dipimpin oleh Morgan mulai merangsek masuk dan mulai menembaki penjahat lainnya hingga kesemuanya mati seketika dengan bersimbah darah. Rencana kejutan dari Brendan, mampu membuat situasi berubah kondusif. Tak ada lagi korban jiwa dari para sandera. "Ayo bangun, Nona! Kau sudah selamat!" Senyuman itu mulai menggantikan raut penuh rasa takut yang sejak tadi terus bertahta di wajah Alice. "Terima kasih banyak, Tuan. Terima kasih kau telah menyelamatkanku." Alice meraih tangan Brendan. Lalu, ia bangkit dari posisinya dan melihat seisi ruangan sudah penuh dengan anggota polisi lainnya. "Tolong bawa dia ke tim medis, Scott!" titah Brendan kepada salah satu rekannya. Sambil terus melangkah ke arah sandera yang lain, Brendan menyampaikan pujiannya kepada rekan yang lainnya. "Kerja bagus, Charlie. Bidikanmu tepat sekali." "Tapi maaf, Sir. Kalau saya sedikit meleset," keluh Charlie, sang penembak jitu yang berhasil menembak penjahat itu tepat di bagian dahinya, melalui celah dari dua jari Brendan. "Ini cuma goresan, Charlie. Kerjamu bagus untuk hari ini!" puji Brendan kembali kepada rekannya itu. Tiba-tiba ponsel Brendan bergetar. Namun, ia belum bisa menjawabnya dan membiarkan panggilan itu berakhir begitu saja. "Sabar ya Jessica, sebentar lagi aku akan pulang," batin Brendan yang tak menyadari bahwa sejak tadi seorang wanita tampak menatap kagum dirinya dari tempatnya mendapatkan penanganan tim medis akibat mengalami luka di dahi dan juga tangannya.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD