CHAPTER ONE

2119 Words
“Jahat bukan berarti mengancam.” . . . Hari ini, hari pertama Cia masuk sekolah baru. Ya, Cia harus pindah sekolah di awal semester kelas 3 karena Orang tuanya memutuskan untuk pindah ke Jakarta. Ayah Cia punya perusahaan di Jakarta. Lebih memungkinkan untuk pindah rumah dibandingkan harus pulang-pergi Jakarta-Bandung. Cia tinggal bersama kedua orang tuanya dan kakak laki-lakinya, Galang. Cia tidak punya adik, oleh karena itu ia selalu dimanjakan. Cia tidak pernah dimarahi karena ia tidak pernah melawan. Cia gadis yang lembut, baik hati dan penyayang. Dia penurut dan pintar. Galang, Kakaknya, sangat sayang padanya. Di keluarganya hanya Cia yang berhati lemah. Ia tidak bisa dimarahi, mudah patah hati, juga mudah menangis. Sejujurnya, Cia merasa gugup karena ini pertama kalinya ia tinggal di Jakarta. Yang ia dengar, Jakarta tidak seperti Bandung yang ramah. Sekolah di Bandung tidak sebergengsi sekolah di Jakarta. Awalnya Cia tidak mau masuk ke sekolah yang dipilihkan Ayahnya. Ia mencaritahu tentang sekolah itu semalam. Sekolah paling bergengsi di Jakarta, dengan anak-anak dari berbagai golongan atas. Sepertinya, masa sekolahnya akan sedikit sulit dibandingkan saat dia di Bandung. Hari pertama, Galang yang mengantarnya. Cia meremas tali tasnya, gugup. "Hari pertama di sekolah baru. Jangan lupa berdoa sebelum masuk kelas," kata Galang, mengingatkan. Cia mengerutkan dahinya, "Biar apa, Kak?" "Biar dapat pahala, lah." Cia mendengus sebal. Ia mencium tangan Galang untuk berpamitan, kemudian keluar dari mobil. Cia melambaikan tangannya saat melihat mobil Galang melesat pergi. Sekolah terlihat ramai. Cia tambah gugup saat melihat beberapa dari mereka memakai barang-barang bermerk; tas, sepatu, bahkan mobil-mobil yang terparkir di sana rata-rata adalah mobil keluaran Eropa. Benar-benar sekolah yang luar biasa. Cia melangkahkan kakinya, berjalan sambil melihat sekeliling. Sekolah ini sangat besar dan bersih. Bangunannya modern seperti sekolah Eropa. Cia tahu karena ia sering menonton film barat berlatar sekolah. Cia baru tahu, ada sekolah sebagus ini di Jakarta. Tidak seperti sekolahnya yang dulu di Bandung. Saat memasuki koridor sekolah, semua mata memandangnya. Entah apa yang mereka lihat. Ada yang berbisik, ada yang tersenyum padanya, ada juga yang melihatnya dengan tatapan sinis. Sebenarnya, Cia merasa risih. Cia sempat mendengar beberapa perbincangan mereka. "Cewek cantik, tuh. Kayaknya dia gak akan aman di Salazard." Begitulah yang Cia tangkap dari beberapa bisikan orang-orang disekelilingnya. Cia berusaha tidak peduli. Ia terus melangkah menuju kelasnya. Saat sampai di ambang pintu kelas, Cia bisa melihat beberapa anak yang sedang mengobrol, tidur, bahkan makan dengan lahapnya. Sangat berisik. Kelas yang tadinya ramai langsung hening saat salah seseorang memberitahukan kedatangan Cia. Cia mengambil napas perlahan dan berdoa dalam hati seperti yang disarankan Galang. Setelah berdoa, Cia melangkahkan kakinya. Dua orang cewek memanggilnya dan menyuruhnya duduk di dekat mereka. Cia tersenyum, lalu menurut seperti biasa. Gadis penurut. "Kamu, anak pindahan, ya?" tanya cewek cantik berambut ikal dengan banyak jepitan di kepalanya. Wajahnya sangat bersih dan babyface. Siapapun yang melihat untuk pertama kali pasti akan jatuh cinta. "Iya—" Cewek itu tersenyum ramah. "Aku Riana, panggil aja Ana," katanya sambil mengulurkan tangan. Cia membalas uluran tangan itu dan balik tersenyum. "Gracia. Panggil aja Cia." "Aku Katie," sapa cewek disebelahnya. Berbeda dengan Ana, cewek yang satu ini memang punya kulit kecokelatan dan rambut sebahu. Tidak secantik Ana, tapi dia manis. "Cia—" "Kamu boleh duduk di sini. Aku sama Katie sahabatan. Kalau kamu mau, kamu bisa jadi teman kami." "Beneran?" Mata Cia berbinar. "Beneran, dong. Yang bohongan itu cintanya Bagas ke Katie," ledek Ana. Katie memukul lengan Ana dengan keras dan terjadilah pertengkaran lucu di antara mereka. Hanya beberapa detik saja, mereka langsung akur kembali. Sungguh menarik. "Oh, iya. Ada banyak hal yang mau aku kasih tahu tentang sekolah ini ke kamu. Nanti, istirahat kita pergi ke Belsek." "Hah? Belsek?" "Belakang sekolah—" jawab Ana dan Katie bersamaan. Ketiganya tertawa sampai akhirnya sang guru datang. Membuat kelas yang tadinya ricuh menjadi hening. Sepertinya, tidak akan sesulit itu bersekolah di sini. Cia tersenyum, kemudian mengeluarkan alat tulisnya dan bersiap belajar untuk pertama kalinya di sekolah yang baru. *** Cia, Katie dan Ana pergi ke belakang sekolah. Ada sebuah taman yang memiliki banyak sekali bunga dan pohon-pohon yang membuatnya tampak sejuk. Ada beberapa meja serta kursi dan beberapa anak-anak yang sedang membaca buku. Benar-benar tempat yang tenang, tidak seramai di kelas. Cia suka sekali bunga, ia punya lahan bunga di Bandung. Namun, lahan itu harus dijual karena kepindahan mereka. Padahal, Cia merelakan waktunya dari kecil untuk merawat taman itu. Mereka bertiga duduk di salah satu meja yang ada di dekat pohon. Di meja, ada sebuah kayu bertuliskan Ana dan Katie. "Ini?" Cia menunjuk papan kayu itu. "Oh, ini kita yang buat. Supaya gak ada orang lain yang bisa duduk di tempat ini kecuali kita. And now, aku bakalan tulis nama kamu juga karena kita udah jadi teman." Ana mengambil spidol dan menulis nama Cia di bawah nama mereka. Cia hanya bisa geleng-geleng kepala melihatnya. "Tamannya bagus. Aku suka banget di sini." "Oh, ya, pasti. Di Salazard ada banyak organisasi yang bisa kamu ikuti, salah satunya Orja, organisasi penghijauan. Tugas mereka, ya, menjaga tumbuhan di lingkungan sekolah. Salah satunya taman ini. Ana salah satu anggota Orja." "Beneran? Aku boleh ikut organisasi itu, gak?" tanya Cia antusias. "Boleh banget. Kebetulan, ketuanya itu Barga. Dia baik dan pastinya akan nerima kamu di organisasi. Nanti aku bicarain ke Barga." "Makasih." "Oh, iya. Ada beberapa hal yang harus kamu hindari di sekolah ini." Cia menyedot es nya sambil mendengarkan Ana bicara. "Kamu harus jauhin anak kelas B. Jangan sampe kamu cari masalah atau berurusan sama mereka." "Kenapa?" "Karena di sekolah ini, yang paling horor selain ruang BP adalah kelas 3B." Cia mengerutkan dahinya tidak mengerti. "Di kelas B, ada Alika dan Alfaro. Kamu harus jauhin mereka." "Emangnya mereka kenapa?" "Alfaro, cowok dengan wajah bak pangeran negeri dongeng. Siapa yang gak kenal dia. Dia jago basket, taekwondo, main musik, ah pokoknya sempurna. Tapi, ada dua hal yang paling dia benci; cewek yang sok cantik dan cewek yang emang beneran cantik. Kaya kamu misalnya." "..." "Intinya Alfaro benci cewek cantik. Tapi, kalo kamu gak berurusan sama dia, dia gak akan ganggu kamu." "Benci cewek cantik? Terus, dia pacaran sama cewek kaya gimana?" "Lebih tepatnya, dia gak pernah pacaran," sambung Katie, sambil mengunyah rotinya. “Ah, ralat. Dia pernah sekali pacaran. Namanya Bella, tapi Bella meninggal dua tahun lalu karena kecelakaan. Sejak itu, Alfaro gak dekat sama cewek.” "Aneh—tapi bisa jadi dia belum move on," gumam Cia. “Bisa jadi,” sahut Ana. "Dan satu lagi, Alika. Cowok-cowok menganggap dia sang putri dari kayangan. Cantik, pintar, berwibawa, tapi bagi kami para cewek-cewek, dia itu iblis. Dia jahat, sok penguasa, sok cantik, ya, meskipun dia emang beneran cantik. Dan dia suka Alfaro." "Apa hubungannya dia suka Alfaro sama harus dihindari?" "Semua berhubungan. Kalo kamu gak berurusan sama anak kelas B, kamu gak akan berurusan sama Alfaro dan Alika. See, Alika gak suka ada cewek yang ngalahin kecantikan dia dan menurut aku ... Kamu kandidatnya." "Kandidat apa?" "Kandidat calon pengganti gelar Alika; cewek tercantik di Salazard. Ya, aku akui kamu lebih cantik dari Alika." Cia menghela napas. Ia pikir akan mudah untuk beradaptasi di sini. Tapi, ia sudah dihadapkan oleh beberapa fakta bahwa sepertinya sekolahnya akan sedikit sulit. Ia harus menjauhi kelas B seperti yang Katie bilang. Juga Alfaro dan Alika, siapapun mereka, sepertinya mereka akan membuat Cia terancam. Lebih baik dijauhi. *** Cia menunggu Kakaknya di gerbang. Galang bilang akan menjemput Cia. Namun, sudah hampir setengah jam Galang belum datang. Akhirnya Cia memutuskan untuk berjalan kaki saja. Cia tidak tahu arah jalan pulang. Ia mengandalkan maps di ponselnya untuk membantunya sampai rumah. Tapi, tiba-tiba saja ponselnya mati. Hari sudah mulai gelap dan Cia tidak tahu harus ke mana. Lagi-lagi, ia harus dihadapkan oleh kenyataan bahwa ia tidak tahu arah jalan pulang. Tidak ada satupun kendaraan yang lewat. Cia melihat sekitar. Seperti hutan, namun bukan hutan. Banyak pepohonan dan tidak ada rumah warga. Di mana ini? Tubuh Cia gemetar. Ia tersandung batu dan membuat lututnya luka. Cia menangis sambil menutup wajahnya dengan telapak tangan. Hingga sebuah cahaya dan suara deru motor datang mendekatinya. Cia bisa melihat motor itu berhenti. Seseorang datang menghampirinya. Cia tidak bisa melihat wajahnya karena cahaya lampu motor. Sepertinya cowok. "Lo gapapa? Lo ngapain di sini?" tanyanya. Cia menggigit bibir bawahnya sambil terus menangis. "Hey, jangan nangis. Ayo ikut gue!" Cia sedikit ragu. Nyatanya ia tidak mengenal siapa yang mengajaknya saat ini. seperti bisa membaca pikiran Cia, cowok itu langsung paham. "Tenang aja. Gue bukan orang jahat. Gue satu sekolah sama lo." Cowok itu membuka jaketnya dan menampilkan seragam sekolah yang sama dengan Cia. Dia memberikan jaketnya pada Cia, kemudian membantu Cia berdiri dan menuntunnya ke motor. Selama diperjalanan, tidak ada yang bicara. Cia juga tidak tahu mau dibawa ke mana. Ia sudah pasrah saja. Mereka berhenti di sebuah gerbang kemudian cowok itu membantu Cia turun. Sebuah rumah yang lumayan mewah untuk ukuran sekecil itu. Cowok itu memapah Cia dan mengajaknya masuk ke dalam. "Bi ... Bibi," teriak cowok itu. Seorang wanita paruh baya berlari menghampiri mereka dan membantu memapah Cia ke sofa. "Ya allah, Den. Ini kenapa, toh?" "Dia luka, Bi. Tolong ambilin p3k, ya." "Siap, Den." Tak selang beberapa lama, wanita paruh baya yang dipanggil Bibi itu datang membawa sekotak p3k. Cowok itu membersihkan luka di lutut Cia dan mengobatinya. "Aww, sakit." "Tahan, ya. Kalau sakit, gigit dasi aja. Jangan gigit bibir. Nanti luka," katanya dengan nada yang sangat lembut, seperti menenangkan. Cia tidak bisa melihat wajah cowok itu. Karena sejak tadi, cowok itu menunduk dan fokus pada lukanya. Cia hanya bisa melihat punggung dan rambutnya. Setelah mengobati luka Cia, cowok itu berbalik dan pergi untuk mengembalikan kotak itu. Bibi datang sambil membawa ponsel ke arah Cia. "Non, ini hpnya udah Bibi cas sebentar. Udah dapet 10%, siapa tahu bisa nelepon lagi." Bibi itu mengembalikan ponsel Cia. Dengan cepat Cia langsung menelepon Galang. "Halo, Kak Galang." Astaga, Cia. Kamu di mana? Kakak nyari kamu di sekolah. Kamu baik-baik aja? Bilang sama Kakak kamu di mana? "Cia ... Cia lagi di rumah teman, Kak. Tadi Cia nyasar dan hp Cia mati." Yaudah, kamu share location aja. Kakak ke sana sekarang. "Iya, Kak." Cia bisa bernapas lega. Ia meminum teh hangat pemberian Bibi itu. Cia merasa bersyukur karena bertemu dengan teman satu sekolahnya. Tak lama, bunyi klakson mobil terdengar di depan. Cia bisa tahu itu mobil Galang. Ia dibantu Bibi berjalan ke arah gerbang. "Bi, cowok tadi ...." "Oh, Adennya lagi mandi tadi. Mau nunggu?" "Engg, gak usah, deh, Bi. Bilang aja terima kasih. Nama saya Gracia." "Oh, ya. Nanti Bibi sampaikan. Hati-hati ya, Non. Jangan pulang sendiri lagi. Jakarta itu bahaya." "Iya, Bi. Kalau gitu saya pulang dulu, ya. Assalamualaikum." "Waalaikum salam." "Duluan, Bi," ucap Galang yang dibalas senyuman oleh Bibi. Kemudian, mobil itu menghilang digelapnya malam. Wanita paruh baya yang memiliki nama Bi Asih ini, langsung menutup gerbang dan kembali ke dalam. Cowok tadi baru saja selesai mandi. "Loh, cewek tadi mana, Bi?" tanya cowok itu sambil mengalungkan handuknya. "Sudah pulang, Den. Dijemput Kakaknya." Cowok itu mengangguk, kemudian meminum s**u hangatnya. "Oh iya, kata Non tadi, dia bilang makasih. Namanya Gracia." Cowok itu tersenyum samar, lalu merebahkan tubuhnya ke sofa. Ia merasa ada sesuatu yang ia duduki. Cowok itu memeriksa sofa dan ia menemukan sebuah gantungan berbentuk bunga matahari. Dibelakangnya ada ukiran nama. "Gracia Aureli." "Alfaro—" panggil teman-temannya yang baru saja datang. "Wey, Bro. Kok lo gak chat kita sih, kalo udah sampe rumah? Btw, gua gak lihat lo di cafe. Lo ke mana?" Cowok bernama Alfaro itu memasukkan gantungan yang ia yakini milik cewek yang ia tolong tadi ke dalam saku celananya. "Biasa, lah. Ada urusan gue." "Yaudah, yuk lah, kita on the way. Udah malem, nih." Alfaro mengambil jaketnya yang ada di sofa, kemudian memakainya. Tapi ia merasa ada yang aneh. Teman-temannya juga berhenti melangkah saat mencium bau yang asing diantara mereka. "Bau parfum cewek. Lo make parfum emak lo lagi, ya, Gas?" tuduh Galih. "Kaga, ah. Gue make parfum laundry. Parfum Bi Asih kali." Alfaro mengendus jaketnya dan ternyata bau parfum itu berasal dari sana. Sepertinya, parfum cewek tadi menempel di jaketnya. "Jaket, lo, Al. Lo abis meluk cewek mana? Atau jangan-jangan lo udah gak waras, nyolong parfum Bi Asih!" tuduh Galih. Alfaro menghela napasnya. Ia melepas jaket itu, kemudian menggantinya dengan jaket baru. Ia menaruh jaket tadi di atas sofa. Saat Bi Asih hendak mengambil jaket itu, Alfaro menghentikannya. "Jangan, Bi!" semua orang nampak kaget karena tiba-tiba Alfaro berteriak. Termasuk Bi Asih. "Bibi mau apain jaketnya?" "Ya, mau di cuci." "Gak usah dicuci. Taruh di kamar saya aja." Bi Asih hanya mengangguk lalu melakukan apa yang Alfaro minta. Galih dan Bagas saling berpandangan. "Kenapa gak dicuci, Al? Jorok, lo!" "Udah, yuk, ah. Udah malem nih." Akhirnya mereka pergi dan menuju tempat tongkrongan mereka yang tidak jauh dari sana. ***
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD