SEASON 1 Ep.1 - Duniaku

1201 Words
Setting Cerita : SMA POV Laura Aku Anggita Laura Sakti. Aku adalah gadis remaja yang sangat beruntung. Memiliki orangtua yang sangat menyayangiku. Aku putri tunggal Bapak Indrawiguna Sakti dan Ibu Laura Tsurayya. Terlihat jelas bahwa namaku merupakan perpaduan nama kedua orangtuaku. Sedikit cerita, Kedua orangtuaku berkecimpung dalam dunia pendidikan. Ibuku sudah 11 tahun menjabat sebagai Kepala Sekolah di TK yang cukup terkenal namanya saat ini. Itu adalah tempat pertama sejak kami sekeluarga pindah ke kota ini pada tahun 2000. Kami tidak memiliki keluarga lain disini. Hanya tekad, keberanian dan ilmu yang telah ditempa di Universitas itulah menjadi modal orangtuaku hijrah ke kota ini. Sampai akhirnya seorang kakek tua mengajak kedua orangtuaku bekerja sama membangun sebuah Yayasan. Beliau tidak punya modal apapun, ia juga tidak tau cara mengelola sebuah yayasan. Ia hanya memiliki gubuk kecil di tengah semak belukar. Tetapi dengan niat yang baik, akhirnya orangtuaku menyetujuinya. Masa-masa sulit dimulai. Menggunakan sabit dan cangkul, pelan-pelan ayah mampu mengubah semak belukar menjadi lapangan yang cukup luas. Modal sedikit yang ayah miliki, ayah belikan alat pencetak batako dan mulai mencetak batako satu persatu. Batako yang sudah jadi, sebagian ada yang dijual dan sebagian lagi ada yang digunakan untuk membangun gedung yang lebih layak. Semua ayah kerjakan sendiri, namun pada saat membangun sekolah ayah meminta 2 orang temannya untuk membantunya. Perubahan gubuk menjadi TK dengan segudang prestasi seperti sekarang semua itu tidak luput dari hasil kerja keras ayah dan ibuku yang sangat luar biasa. Empat tahun setelahnya tepatnya tahun 2004, Ayah diterima sebagai tenaga pendidik di Sekolah Menenagah Pertama Negeri dalam bidang studi Bahasa Inggris, inilah sekolahku yang sekarang. Meski satu sekolah dengan ayah, sekalipun ayah tidak pernah masuk mengajar di kelasku, kelas IX-1. Dari awal aku masuk sampai sekarang aku sudah hampir tamat, haha. Mungkin guru lain takut kalau ayah akan KKN saat mengajar anak sendiri. Padahal ayah bukan orang yang seperti itu. Untuk masuk kesekolah ini saja ayah sama sekali tidak memanfaatkan kedudukannya sebagai guru. Nilai UN ku sangat mendukung untuk bisa diterima di SMPN manapun, dengan rata-rata 9,08. Tapi karena ayah dan ibu menginginkan aku tetap dalam pengawasan mereka, mau tidak mau aku harus bersekolah disini. Setiap tahun aku selalu menjadi juara kelas. Ayah banyak tersenyum karena pujian guru selalu mengalir padanya. Meski begitu ayah tidak pernah mengatakannya padaku, takut aku besar kepala katanya. Ibuku saja yang secara diam-diam memberitahuku, hehe. Menjaga nama baik ayah itu tanggung jawab yang besar untukku. Apalagi semua siswa dan guru mengenalku sebagai anak guru yang baik, itu membuatku hati-hati dalam bersikap. Kehidupan kami sederhana, tidak kekurangan juga tidak berlebihan, bisa dibilang cukup. Orangtuaku sangat mendukung segala kegiatanku. Aku diizinkan mengikuti beberapa kursus yang aku gemari diantaranya Bahasa Inggris, Piano, dan Biola. Jadi intinya, prestasi Akademik dan Non Akademik ku berjalan seimbang. Karena itu guru-guru sangat menyayangiku dan selalu mengikutsertakan aku dalam berbagai jenis perlombaan untuk membawa nama sekolah. Walau begitu, aku sedikit tertutup atau dengan istilah membatasi pergaulan, terutama dengan makhluk adam. Aku memiliki ketakutan tersendiri akibat hal tidak menyenangkan yang pernah aku saksikan. Itu terjadi saat aku berada dikelas VII. Kami menjadi penonton atas hal tidak senonoh yang diperankan oleh beberapa teman sekelasku. Aku duduk di deretan ketiga saat itu. Di depanku ada Salma dan Dita. Mereka mengalami pertumbuhan fisik yang sangat cepat untuk ukuran anak SD yang baru beranjak SMP. d**a dan buntut mereka sudah maksimal kurasa. Fisik mereka mengundang nafsu keingintahuan anak laki-laki yang mengalami masa pubertas dikelasku, ditambah lagi sifat ganjen yang nggak wajar Salma dan Dita yang membuat mereka menjadi bahan lecehan anak-anak lelaki itu. Setiap jam istirahat dua deret bangku dibelakangku yang kebetulan 4 orang cowok, maju ke meja Salma dan Dita. Mereka mulai melecehkan dengan memegang d**a Salma dan Dita secara bergiliran. Tapi bodohnya kedua perempuan itu malah membiarkan dan seakan menikmati perlakuan mereka. Hal itu terus berlangsung selama seminggu. Tidak satupun anggota kelas yang berani melaporkan hal itu pada guru. Sementara pada waktu itu aku adalah anak yang sangat polos. Aku sangat ketakutan dan tidak tau harus mengatakan apa pada guru. Akhirnya aku menceritakan kepada ibuku kejadian tersebut saat pulang sekolah. Pada awalnya ibuku tidak percaya karena kami masih terlalu kecil untuk mengetahui hal seperti itu, dan menganggap omonganku hanya kekeliruan. Untuk memastikan ucapanku, setiap hari ibu selalu bertanya padaku bagaimana aku disekolah dan ada cerita apa hari ini. Lagi dan lagi aku menceritakan hal yang sama karena memang itulah yang kulihat setiap hari hingga lebih kurang sebulan lamanya. “Mama jangan bilang-bilang sama ayah ya” kalimat yang selalu ku ucapkan setelah menceritakan kenakalan teman sekelasku. Melihat kejanggalan itu, ibu akhirnya menceritakan pada ayah tanpa sepengetahuanku. Saat aku tengah mengerjakan PR, tiba-tiba ayah dan ibu masuk ke kamarku. “Ra, sini ayah mau bicara” suara ayah mengagetkanku. Terbesit khawatir bahwa ayah telah mengetahui kejadian tersebut, aku takut. Perlahan aku duduk didepan ayah dan ibu. “Ayah mau tanya, apa benar teman-teman Laura melakukan semua itu?”. Aku terdiam enggan menjelaskan. Namun ibu memintaku untuk menceritakan semuanya ke ayah, dan aku pun menuruti perkataan ibu. Esok paginya setelah selesai kegiatan di mushala, kelasku tidak diizinkan keluar dan disuruh untuk tetap berada di mushala sebentar. Aku deg-degan. Aku yakin pasti karena masalah itu. “Nama-nama yang bapak panggil, maju dan berdiri disana. Salma, Dita, Oki, Wahyu, Heri, Dedi. Silahkan kedepan!”. Saat ayah memanggil nama-nama mereka menggunakan microphone, aku semakin yakin bahwa dugaanku benar. Ayah meletakkan microphone ke lantai setelah mereka semua berdiri didepan. Lalu... Plaaakk... plakkk... plaakk.. plaakkk.... pplaakk....  plaaakkk... Suara-suara nyaring terdengar saat ayah mengelus pipi-pipi mereka secara merata, kami terkejut. Guru-guru merasa bingung apa yang sebenarnya terjadi dengan anak-anak ini dan ayah menjelaskan dengan suara yang sangat pelan. Tidak berselang lama, 2 orang guru BK, seorang guru kesiswaan dan seorang lagi guru Agama berdiri serta turut mendaratkan tangannya ke pipi mereka. Guru lain terlihat sangat emosi menatap mereka. Aku melihat raut penasaran di wajah-wajah teman sekelasku. Bukan penasaran kesalahan apa yang mereka lakukan, melainkan rasa penasaran siapa yang melaporkan kejadian ini ke guru. Aku hanya bisa tertunduk, karena sejujurnya aku takut mereka akan membenciku saat mereka tau bahwa akulah yang menyebabkan semua ini. Lalu kami disuruh kembali ke kelas dan guru membawa mereka ke kantor. Benar dugaanku, teman sekelas sangat penasaran dengan sang pelapor sehingga kelas menjadi ribut. Aku tidak nyaman dengan perasaan yang seperti ini, lalu aku maju ke depan. “Maaf teman-teman, sebenarnya... aku yang melapor”. Seketika kelas menjadi hening. Tatapan mereka seolah meminta penjelasan lebih. Takut, resah, gugup, gemetar semua ku rasakan saat itu. Namun aku tetap harus melanjutkan perkataanku. “Aku bukannya ingin bermulut ember atau gimana. Aku hanya ingin mereka berhenti mempertontonkan hal yang tidak seharusnya dilakukan anak seusia kita. Tapi aku nggak tau bagaimana caranya. Melihat kalian yang diam saja dengan semua itu, aku tambah tidak tahan. Jadi aku menceritakan semua ke ibuku, terus ibuku memberitahu ayah”. Mereka terdiam. Aku tidak tau apa yang mereka pikirkan tapi setelah hari itu kelas kami berubah menjadi kelas yang semestinya. Semenjak hari itu juga ayah benar-benar memperketat pengawasan terhadapku, pulang dan pergi sekolah harus bersama ayah. Aku takut terhadap sentuhan, saat berbicara dengan lawan jenis aku selalu menunduk, tidak berani duduk benar-benar bersebelahan dengan lawan jenis, dan saat berjalan aku buat sekaku mungkin agar tidak berlenggok.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD