Pria Tampan

1306 Words
Oh gosh, ini anugerah bagi mataku. Tidak, lebih tepatnya sebuah vitamin yang menyegarkan mata dan menghapus seluruh kelelahan yang aku rasakan setelah perjalanan jauh dari Seattle menuju Manhattan. Padahal aku mengira jika datang ke tempat ini aku akan merasa dikutuk atau mati karena bosan, nyatanya itu salah. You know why? Sebab, pada saat pintu apartemen ibuku terbuka, aku melihat sebuah mukjizat bagi mata. Lihat saja di sana, di sofa berbahan kulit berwarna krem--terdapat pria berambut gelap bermata biru gelap tajam menatapku. Dia tampan, tampan dan tampan. Tunggu, kata tampan tidak cukup. Harus ada deretan pujian untuk menggambarkan bagaimana keindahan sosok itu. Ya ampun dia membuat seluruh tubuhku mati rasa karena mendamba. Dia menyedot seluruh perhatianku seperti pembuangan air di wastafel. Oh kini aku jadi suka yang gelap-gelap, dan tidak sabar memeriksa apa saja yang gelap pada pria di sofa. Aku yakin akan mendapatkan kesempatan itu. "Apa yang kau lihat?" sebuah suara dari neraka membuyarkan angan-anganku. Membuatku yang seolah melayang ke surga menjadi tergantung di neraka. Sepupuku, Clark membuka pintu apartemennya, membuatku malas meski untuk melirik sosoknya yang menyebalkan. Dia adalah musuh besarku sedari kecil dan ibuku yang selalu menjadi wasit saat kami bertengkar. Sekarang--aku terpaksa tinggal di apartemennya. Ralat, apartemen yang ibuku pinjamkan padanya. Ibuku adalah makhluk berhati malaikat yang bersedia meminjamkan apartemen mewah yang terletak di Upper west side, dimana harga sewanya sebulan sama seperti gaji pegawai biasa setahun. Beruntung ibuku memiliki uang, yah dia memang kaya, lebih tepatnya kaya secara normal, tapi suami barunya yang berumur lima puluh empat itulah yang memiliki kekayaan atas normal. Jadi dia lebih tepatnya ayah tiriku memanjakan ibuku seperti orang gila. Dia tergila-gila pada kecantikan ibuku yang memang tidak bisa diabaikan siapapun. Hebatnya lagi, aku turut menikmati fasilitas yang ayah tiriku berikan pada ibuku. Aku terpaksa menjawab pertanyaan pria tidak penting yang bertanya padaku. "Hanya memperhatikan sesuatu yang ingin aku duduki, " jawabku cuek pada Clark. Namun mataku tidak bisa mengalihkan dari pria yang duduk di sofa dengan cara yang anggun. Aku memang ingin duduk di atas pria itu dan melakukan sesuatu yang menyenangkan diatasnya. Astaga, baru kali ini aku melihat pria yang bisa memacu hormon hanya dengan pandangannya. Dia adalah dewa seks yang turun untukku. Aku yakin dia memang diciptakan untukku. "Siapa kau? Dan mengapa kau di sini?" pertanyaan Clark membuatku melotot padanya. Apa Clark sudah gila sehingga tidak mengenali sepupunya. Ayolah, sudah banyak manusia gila di bumi terutama di negara ini, tidak seharusnya Clark menambah daftarnya. "Tunggu dulu. " Aku mengamati pria pirang ini dari ujung kaki hingga kepala. "Kau bukan Clark Helle!" pekikku tak percaya. Sungguh mengejutkan mendapati pria asing ada di apartemen ibuku yang seharusnya dihuni Clark Helle. Meski aku tidak keberatan karena ada pria tampan tetap saja aku harus berhati-hati. Tampan tidak bearti aman. Jaman sekarang bukan animasi disney yang menggambarkan pria baik dengan wajah tampan, dan orang jahat dengan wajah jelek. Hidup sangat kejam dan penggambaran tokoh animasi merupakan pembodohan bagi anak kecil. Mereka jadi merasa jika orang tampan pasti baik. "A-apa, jadi kau adalah sepupu Clark Helle. Oh, mati aku... " pria pirang itu juga ikut panik. Dia memang harus panik karena aku bisa mengusirnya. "Nona, tolong masuklah dan kita bisa bicara." Lalu ia menyuruhku duduk di sofa apartemen ibuku. Aku menurut, tanpa sepupuku aku jelas pemilik kekuasaan di apartemen ini. Dan sekarang ada dua pria asing yang sialan seksi di apartemen dengan status tidak jelas. Ini membuatku harus merelakan kakiku menendang bola mereka jika ada gerakan yang mencurigakan. "Jelaskan, siapa kalian dan di mana Clark--sepupuku?" tanyaku menyelidik. Sebenarnya aku ingin bertanya apa kalian single, atau kapan kita bisa one stand night. Di samping itu semua aku harus bertemu Clark Helle. Sungguh, aku ingin menendang bola pria tak tau terima kasih itu. Bagaimana dia sangat tidak bertanggung jawab seperti ini. "Tenang, okey. Aku Clark Willson. Aku menyewa apartemen ini dari Clark Helle. Kami adalah orang yang menyewa jadi kami bukan penyusup ilegal. " "Apa?!" tanyaku tak percaya. "Bagaimana ceritanya orang yang tidak memiliki kuasa atas apartemen ibuku berani menyewakan pada orang asing? " pertanyaanku membuat mereka berdua terdiam. Sesaat kemudian aku menyesalinya. Hatiku sakit melihat pria bersurai gelap itu kebingungan. "Baiklah... Ini terjadi karena... " Aku awalnya tenang mendengar cerita dari Clark pirang di depanku, namun akhir dari ceritanya membuatku ingin mengutuk dunia dan segala hal yang indah di dunia ini. Ya Tuhan, mereka adalah gay! Pria tampan yang menarik perhatianku seperti putaran tornado adalah gay! Ini ironi di antara Ironi. 'Tenang, tenang...Fiuh. ' Aku mencoba menahan diri agar tidak mengumpat. Meski di hatiku sudah mengatakan ribuan umpatan pada fakta ini, aku harus menunjukkan sikap anggun seorang Halle, putri sosialita Megan Helle Wilgard. Aku mencoba bersikap tenang di depan mereka. "Jadi, apa ini artinya kalian akan pergi karena pemilik sebenarnya apartemen ini sudah tiba? " tanyaku. "Apa kau tega membiarkan dua pasang kekasih seperti kami tinggal di apartemen kumuh? " tanya Clark. Dia memasang wajah mengiba, dan ketika aku amati lebih cermat ternyata pria ini juga tampan. Rahangnya tegas dan hidung tinggi. Matanya berwarna biru agak coklat cerah. Surainya pirang, secara keseluruhan mereka tampan. Ini membuatku semakin nestapa. Mereka adalah pasangan gay yang sialan tampan. Sungguh kerugian bagi kaum kami. Aku harus mengasihani mereka karena terusir dari keluarga Wilson dan Burgen. Salah satu keluarga yang terkenal dengan reputasi berdarah bangsawan dan kekayaannya. Itu karena mereka gay dan dianggap memalukan. Meski di jaman sekarang orang banyak yang menerima pasangan gay, ternyata keluarga Burgen dan Wilson tidak sependapat. Mungkin itu karena darah bangsawan yang mereka miliki. "Baiklah, kalian boleh tinggal di sini sampai kalian mendapatkan pekerjaan dan tempat tinggal. Tapi--- memasak, bersih-bersih dan mencuci baju adalah tugas kalian. " "Apa!? Jadi aku harus mencuci bajumu?" Tanya Clark. Meski tampan dia orangnya cerewet. "Tidak perlu sepanik itu, bukankah ada mesin cuci. Lagi pula kau hanya mencuci baju, bukan pakaian dalamku. " Aku adalah orang yang berkuasa di sini. Mereka juga tidak membayar sewa padaku. Jadi kedua gay ini harus bekerja untukku sebagai bayaran tinggal di sini. "Memang kenapa kau tidak ingin aku mencuci pakaian dalammu, aku tidak akan mengeras karena bra atau G-tong yang kau kenakan, " tantang Clark. Sungguh mengejutkan mendapati aku bisa berbincang secara santai dengan pria. Biasanya aku bersikap defensif atau menjaga sikap. "Benarkah, aku hanya takut kau kehilangan akal. Jika demikian mulailah dengan mencuci sweeterku dan celanaku. " Aku melepas sweeter dan celana jeansku lalu melemparkan pada Clark. Meninggalkan bra dan G-string berenda berwarna hitam yang menempel di tubuhku. Mereka tercengang, tapi aku tidak menghentikan kejahilanku. Aku berpose sensual seperti model porno di sofa. Jelas d**a sempurna dan tubuh melengkung yang aku miliki merupakan pemandangan indah bagi kau normal. Ingat, kaum normal. Bukan gay seperti mereka. "Syukurlah aku tinggal bersama gay. Setidaknya kalian tidak akan bernafsu padaku hohoho. " Aku meninggalkan mereka dan mencari kamar sambil berlenggak lenggok memamerkan pantatku yang tidak tertutup sempurna karena hanya menggunakan tong. Saat menemukan kamar yang cukup bersih aku masuk. Dalam hati aku bertanya-tanya mengapa pria berambut hitam itu hanya diam. Namun aku tidak peduli, mendapatkan pelayanan pada saat kondisi dihukum oleh ibuku tidaklah buruk. Itu terjadi karena aku secara tidak sengaja melihat lemak di pinggulnya ketika masuk kamar tanpa mengetuk pintu lebih dahulu. Ibu sangat tidak menyukai kelemahan tubuhnya dilihat orang lain. Itu aib baginya. Dia adalah salah satu tipe wanita Amerika yang takut akan keriput, menua dan menjadi jelek. Jadi jangan heran jika ibuku memiliki tubuh biola, rambut pirang panjang dan berwajah tanpa kerut. Ia seolah berumur tiga puluh di saat usianya menginjak empat puluh enam. Aku bersyukur dia menurunkan tubuh berlekuknya padaku, tapi rambut pirang kemerahan ini dari nenekku dan juga mata kehijauan. Aku juga memiliki wajah tirus dan bibir yang dapat disebut kissable. Sayangnya bibirku belum pernah mencicipi rasa pria sesungguhnya. Mereka masih murni. Memang sungguh disayangkan. Padahal aku tidak sabar ingin merasakan bagaimana ciuman itu. Tbc. New story, semoga tidak ada penggemar LGBT yang mampir ya, soalnya ini bukan kisah gay.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD