SR - 1

1488 Words
Hari ini adalah hari di mana Shera menghirup udara segar yang ada di kota Oklahoma untuk pertama kalinya. Salah satu kota paling menyenangkan dan banyak orang mengais ilmu karena jumlah universitas dan asrama lebih mendominasi wilayah ini. Alasannya pindah ke kota ini adalah karena menuruti keinginan terakhir dari papanya yang baru saja meninggal dunia sekitar seminggu yang lalu. Shera hidup sebatang kara tanpa kedua orang tua. Tidak ada saudara kandung maupun saudara tiri, hanya ada kenalan papanya sesuai isi surat yang sedang dipegangnya saat ini. Gadis cantik berparas ayu, hidungnya mancung kecil, bibirnya tebal, rambut mata nan lentik bagaikan eyelash palsu. Kulitnya seputih salju, tubuhnya sangatlah bagus ramping dan tinggi semampai. Gadis yang berjiwa ceria namun sedikit ceroboh itu sedang membawa kopernya menuju alamat yang ada di kertas tersebut. Keringatnya mengucur deras, perjalanannya lumayan jauh. Anehnya tidak ada kendaraan yang bisa ditumpangi untuk menuju alamat tersebut. Shera menyeka peluh di keningnya lalu mengibas wajahnya dengan kertas di tangannya. Rambut panjangnya yang tergerai membuat gerah. Shera memutuskan untuk mengikatnya ke atas dengan kep jepit. Setelah berjalan sekitar 7 menit dari simpang terminal turun bus, akhirnya Shera tiba di depan gerbang yang punya plang nama sama seperti tulisan di kertasnya. “ASRAMA VOILLA!” “Akhirnya aku bisa sampai juga! Kenapa tempat ini begitu jauh dari persimpangan jalan?” tanyanya sendiri dengan gaya lemas. Shera menarik tubuhnya, meraup nafas sebanyak-banyaknya lalu merapikan wajah serta bajunya, mempersiapkan diri untuk masuk menemui seseorang. Shera menemui penjaga gerbang terlebih dulu untuk mengatakan tujuannya bertemu dengan Ibu Rana. Pria itu mengantarkannya sampai ke ruangan. “Terima kasih banyak, Pak!” “Sama-sama.” Shera tersenyum lebih dulu sebelum masuk ke dalam ruangan, mengumpulkan semangat diri yang luntur dimakan aspal jalanan. Jemarinya mulai mengetuk pintu lalu mendengar suara seorang wanita memintanya masuk. Gadis itu membuka pegangannya lalu mengucapkan sesuatu, “Permisi, selamat pagi!” Rana, wanita yang dicarinya itu melongok ke arah pintu. Dia melihat ada seorang remaja di pintu. “Masuklah!” pintanya. Shera segera melangkah membawa kopernya lalu menaruh benda itu dekat pot bunga samping pintu. “Selamat siang, Bu Rana, perkenalkan nama saya Shera Milton. Saya anak dari bapak Arley Milton.” Mendengar nama Arley, Rana langsung melotot dan keluar dari meja kerjanya kemudian menghampiri gadis tersebut. Shera kebingungan karena Rana memegangi tangannya sambil tertawa bahagia. “Hahaha, Kau anak Arley?” tanyanya. “I-iya, Bu,” jawabnya putus-putus. “Wah, kau sangat cantik! Duduklah, duduklah!" Rana meminta Shera duduk di kursi lalu dia pun kembali ke singgasananya. Shera tersenyum heran padanya. Rana menghubungi seseorang untuk membawakan mereka minuman. Sangat tepat waktu, kerongkongan Shera sudah kering kerontang karena lelah, untung Rana meminta diantarkan minuman. “Kau tidak salah tempat! Saya Rana, sahabat baik papamu!” kata wanita itu. “Oh.” Shera baru tahu kalau Rana adalah sahabat papanya. “Bagaimana perjalananmu?” tanyanya. “Hehe, baik. Lumayan capek juga.” “Haha, kau harus terbiasa berjalan di sini, kota ini menegakkan kesehatan warganya dengan cara banyak berjalan dan sedikit menggunakan kendaraan.” Shera mengangguk paham. Pantas saja tidak ada angkutan umum lainnya selain bus di jalan raya. “Bagaimana kabar papamu?” tanya Rana. “Ya.” Gadis itu sedikit menunduk kemudian tersenyum tipis. “Papa sudah meninggal, Bu!” “Astaga! Benarkah?” “Ya, Bu. Seminggu yang lalu karena serangan jantung. Saya tahu tempat ini juga karena pengacara papa memberikan sepucuk surat untuk saya. Isinya perintah untuk ke asrama ini.” Rana mengangguk. “Aku turut bersedih,” ucapnya sok tabah, tapi lama kelamaan wanita itu malah menangis seperti anak kecil. Dari nada lemah, akhirnya tiba-tiba wanita itu pun menangis sekuatnya. Shera sampai kaget, tingkah dan umurnya tidak sepadan. Wajah Shera membeku karena memperhatikannya bersedih bak anak-anak. Seseorang datang membuka pintu ruangan, Rana memintanya masuk. Minuman yang dipesan sudah datang diantar oleh pelayan berbaju hitam putih, Rana mempersilahkan Shera minum. Gadis itu segera meneguk isinya sampai habis. Pelayan yang masih berdiri di sana sampai tercengang. “Apa perlu saya ambil lagi?” tanyanya. “Haha, tidak usah Bi, ini aja sudah cukup.” “Ambilkan lagi untuknya!” perintah Rana sambil menyeruput kesedihannya dengan tisu. “Baik, Bu!” pelayan itu keluar dan segera menuruti perintahnya. Rana menyisihkan cairan dalam hidungnya agar kembali lega setelah mengeluarkan kesedihan. “Maaf, saya sangat terpukul mendengar kepergian papa kamu. Dia sangat baik dan dermawan padaku dulu.” Shera mendengarkan semua yang diucapkannya. Lagipula dia juga merasa asing di sini, hanya Rana yang dikenalnya. Shera memberikan surat yang ditulis untuknya, masih tersegel rapat dan belum dibaca olehnya. Rana menerimanya lalu membuka surat itu. Shera menunggu sampai dia selesai membacanya. Gadis itu melihat ke arah dinding yang terletak belakang Shera. Ada banyak penghargaan dalam figura, ada foto Rana juga bersama bapak presiden lalu beberapa foto lain yang mungkin menurutnya punya momen bagus. Wajah Rana kembali mengerucut kala membaca isi suratnya, Shera ikut mengerutkan kening mencoba menganalisis makna dalam surat itu. “Baiklah, Arley! Aku akan melakukannya untukmu,” ujarnya sendiri lalu melipat surat tersebut. Pelayan datang membawa minuman yang dimintanya lagi. Shera mengucapkan terima kasih lalu Rana menyuruhnya minum. Gadis itu meneguknya kembali sampai setengahnya. Rana terus memperhatikan wajah Shera saat dia minum. Akhirnya gadis itu menyadari bahwa wanita di depannya sedang mengawasi dirinya. Shera berdehem ringan lalu meletakkan cangkir tersebut. “Apa papa saya mengatakan hal buruk?” tanyanya. Rana menggeleng ringan. “Tidak." “Apa isi suratnya menjelaskan tentang tujuan saya ke asrama ini, Bu?” tanyanya. Rana tersenyum, menarik napas lalu menjelaskan semua yang perlu dijelaskannya. Pertama, Shera akan kuliah di sini mulai hari senin. Kedua, Shera akan tinggal di asrama ini. Ketiga, dia harus mengikuti segala peraturan yang ada di dalam asrama termasuk perintahnya. Keempat, Rana masih menyimpan perintah itu sampai waktunya pas. "Hah?" Shera sangat kaget, kedatangannya ke mari ternyata untuk melanjutkan studinya yang telah berjalan di universitas lain selama 4 semester. “Jadi, saya harus pindah ke sini mulai hari ini?” tanyanya. “Ya, itulah tujuan mengapa kau bawa koper ke ruangan saya sekarang.” Shera mengangguk, tidak bisa menolak permintaan papanya karena di sana juga dia tidak ada teman dan kesulitan mencari makan. Rana memintanya untuk menunggu di ruangan pengumuman. Wanita itu akan menunjukkan letak kamarnya. Shera keluar dari ruangan. Mencari tempat yang dimaksud tanpa ditemani Rana, dia hanya disuruh ke arah kiri ketika keluar dari ruangan, lalu menuruni anak tangga dan menunggu di ruangan bawah tanah. Sambil membawa kopernya, Shera mengikuti arahan Rana. Lorong menuju tangga itu sangat lah sepi. Shera mengernyit dan berhalusinasi ada hantu di ujung ruangan. Perlahan Shera menggeleng kepala kemudian memberanikan diri menuju ke arah tangga. Di tengah suasana batinnya yang ketakutan, dres Shera tersangkut paku yang ada di dinding karena dirinya berjalan menepi dan mnegendam-endap. “Ah! ” jeritnya sendiri, sambil memejamkan mata. Shera panik sekali karena ketakutan. Jeritannya menyusup ke sebuah ruangan, membuat seorang pemuda tampan yang menggunakan ikat kepala merah menoleh paksa. Mengalihkan perhatiannya dari kanvas di depannya. Pria berkaus putih dan menggunakan celana olahraga hitam tersebut langsung keluar untuk melihat situasi, sambil membawa wadah cat lukisnya. Saat dia melongok, kedua bintik hitamnya menemukan seorang wanita yang sibuk sendiri dengan baju serta jeritannya Merasa kesal karena membuat keributan, pria itu pun menegurnya. “Oi,” sahutnya dengan nada membesar, berdiri depan pintu ruangan pribadinya yang berjarak 3 meter dari Shera. Shera langsung mendelik karena mengira suara itu berasal dari penghuni tak kasat mata gedung ini! Ketakutannya membuat warasnya menghilang hingga dia pun menjerit lagi sekuat-kuatnya. “Ah!” Pemuda itu berdecak semakin emosi dan berjalan cepat menuju Shera. Tangannya menyentuh bahu gadis itu, niatnya menyadarkan wanita tersebut, tetapi bukannya mendapat sambutan baik, Shera spontan berbalik dan menangkis wadah cat lukisnya sampai mengenai wajah dan tubuhnya. Shera mendengar benturan dari ulahnya kemudian terdiam. "Manusia?" tanyanya sendiri, lalu menoleh ke belakang karena mulai sadar kalau ketakutannya hanyalah ilusi semata. Shera sontak menoleh ke kiri dan baru menyadari kalau bajunya tersangkut paku, bukan ditarik Pria itu melepas tangannya dari bahu Shera kemudian melihat kekacauan yang sudah dilakukannya. Wajah penuh cat dan bajunya juga berlumuran pewarna dari pallet lukisnya. Pria itu menatapnya dengan marah, kedua tangannya terlipat, mukanya ketat seperti singa kelaparan. Seolah siap memangsa Shera. “Ma-maaf!” kata wanita itu menyesali perbuatannya. Pria itu berdecak lagi dan berjalan mendekati Shera. Selangkah kaki pria itu mendekat, selangkah pula ayunan tungkai Shera menjauh. “Ma-maaf!” ucap Shera lagi. “Apa yang kau lakukan?” erangnya sinis. “Sa-saya tidak sengaja, tadi saya kira ada-“ “Hantu?” sambar pria itu. Shera mengangguk cepat. "Apa?" desahnya kesal. “Jaman seperti ini mana ada hantu!” bentaknya lagi. Shera sampai memejamkan mata dan menelan ludah. “Apa yang saya bisa lakukan untuk menebus kesalahan saya?” tanyanya. Sudah diduga, Shera pasti bicara seperti itu. “Kau akan berurusan denganku setelah aku selesai membersihkan diri!” jawabnya sambil meluruskan telunjuk kanannya ke arah muka Shera. Saliva Shera kembali tertelan dan mencari cara untuk melarikan diri dari pria yang namanya pun belum diketahui itu.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD