BLURB

1051 Words
  Delapan tahun bersama, lima tahun saling berbagi ranjang dan selalu bersama di setiap hari nya. Saling berbagi suka dan duka bersama, hidup selayaknya suami dan istri. Tanpa ada masalah Hingga suatu hari , aku mendengar pembicaraannya dengan salah seorang petinggi di perusahaan tempat kami bekerja, alasan mengapa ia tak kunjung juga menikahi ku, padahal kami berdua sudah cukup matang untuk berganti status menjadi sepasang suami istri.                 “Kenapa Ar?, she is gorgeous. The most gorgeous girl malah. Bukannya menjadikan dia istri adalah salah satu kesempatan dan pilihan yang sangat berharga?”                 “Sepertinya itu menurutmu” Henri tertawa renyah mendengar jawaban Arta, sementara aku disini, di balik tembok sudah setengah mati menahan beban tubuhku agar tidak terjatuh.                 “Kalau tidak mau , biar saya saja” Lagi – lagi Henri kembali bersuara.                 “Tanpa status lebih baik, lagipula I love her body, kalau saya melepas Reta, maybe I never find a girl like her anymore, sudahlah she is mine. Don’t touch her” Ucap Arta dan setelah itu hanya terdengar suara tawa dan langkah sepatu yang seakan memenuhi lorong kantor yang kosong.                 Aku? Aku sudah bergetar menahan tangisku sejak tadi. Siapa sangka Arta Ardian Hartono, laki – laki yang selalu ku bangga – banggakan di depan ibu ku tega menginjak harga diriku di depan teman baik nya sendiri.   *****                 “Kiss me” Ucap Arta saat ia baru saja sampai di sebuah apartement mewah . Apartement yang sudah ia tinggali selama delapan tahun terakhir bersama Reta. Reta tak menuruti permintaan Arta. Wanita itu sibuk memasak makanan untuk dirinya sendiri, mondar mandir di dapur kemudian mematikan kompor lalu menata makanannya di atas piring. Tak lupa ia mengambil se mangkuk makanan kucing untuk di berikan kepada Kitty, kucing kesayangannya hadiah ulang tahun ke dua puluh enam nya dari Arta. “Babe, whats the problem?! Am I make a mistake again?” Arta mulai merasa aneh ketika ia berulang kali mencari perhatian Reta namun tak satupun mendapat respon dari wanita berumur dua puluh sembilan tahun tersebut. “Ask your self, aku lagi gak mau berdebat” Jawab Reta tanpa menatap Arta. Ia masih kalut, perasaannya  yang selama ini begitu kuat kepada laki – laki yang sudah delapan tahun ini menjadi kekasihnya tiba – tiba di balut rasa ragu setelah mendengarkan percakapan Arta dengan teman baik nya. “Kamu sendiri yang bilang kalau ada yang salah, di bicarain baik – baik. Di pendam pun gak akan menyelesaikan apa – apa. Kenapa sekarang malah minta main tebak – tebakan kayak gini? ” Ucap Arta, tangannya di lipat di depan d**a sembari menatap Reta yang masih sibuk dengan makanannya. “Udahlah” Reta menghempaskan kedua alat makan di tangannya kemudian minum dan berjalan menuju kamar ‘mereka’ . Arta semakin tidak mengerti tentang hal yang sedang Reta permasalahkan saat ini. Reta membungkus penuh tubuhnya dengan sebuah selimut tebal di , seakan ia tak ingin di ganggu oleh siapapun juga. Arta pelan – pelan mendekatinya, memeluk tubuh Reta dari belakang. “Sorry” Bisik Arta tepat di telinga Reta. Yang di bisiki sontak bergeridik karena geli yang tiba – tiba ia rasakan di sekitar telinganya “Hey… oke tell me what should I do?” Reta berbalik, kemudian menatap kedua bola mata tajam milik kekasih nya itu. menarik napas panjang, kemudian membuangnya. Bersiap mengatakan apa yang ingin ia utarakan kepada Arta. Mata mereka bertemu, sehingga membuat Reta semakin yakin bahwa ia benar – benar mencintai Arta.  Sebenarnya tak perlu mengucapkannya saja Arta pasti sudah tau bagaimana Reta begitu mencintainya. Menyerahkan seluruh hidupnya tanpa adanya ikatan pernikahan sudah cukup menandakan betapa bodoh dan tulus terlihat begitu tipis untuk Areta.                 “Aku pengen kita nikah” Ucap Reta yang sedetik setelahnya membuat Arta membeku pada posisi nya, Arta menelan ludah. Bagaimana mungkin ia menikahi Reta sementara mama nya saja tidak setuju dengan hubungan mereka berdua. Tidak hanya mama nya, orang tua Reta pun tak setuju jika Reta menikah dengan Arta. Lantas mengapa mereka berdua masih hidup bersama selayaknya sepasang suami istri? Jawabannya, karena Cinta. Mereka hidup berdua secara sembunyi – sembunyi , bahkan orang tua mereka pun tak ada yang tahu. Setahu orang tua mereka, mereka sudah putus sejak usia dua puluh satu tahun, sejak hari dimana orang tua mereka saling tau bahwa keduanya memeluk keyakinan yang berbeda.                 “You know… we … we couldn’t..” Ucapan Arta berhenti ketika Reta bangun dan duduk di hadapan Arta                 “Apa? Aku yang bakalan pindah” Jawab Reta sehingga sontak membuat Arta kaget bukan main. Sebenarnya masalah mereka tak cukup sampai di perbedaan keyakinan saja, masalah yang sesungguh nya adalah Arta diam – diam telah bertunangan dengan seorang wanita pilihan mama nya setahun silam. Reta? Reta jelas tidak tahu. Kalau saja Reta tahu mungkin mereka sudah tidak di sini memperdebatkan hal – hal yang sudah jelas apa ujung nya.                 “Aku gak bisa babe…” Arta mendesah frustasi, ia bahkan tak menyangka bahwa Areta akan meminta untuk menikah. Mereka bahkan sudah sepakat untuk tetap begini hingga tua.                 “Kenapa?! Kita bisa…” Ucap Reta lirih, matanya bahkan sudah memanas karena mendengar penolakan dari kekasih nya. Jika saja Reta di minta untuk memacari laki – laki lain, ia pasti sudah jelas menolak hal itu. Menyerahkan tubuhku sepenuh nya kepada Arta adalah pilihan yang paling sulit untuk ku ambil saat itu. tapi aku sadar , bahwa kami akan bersama selamanya. Maka sejak saat itu, ia resmi memiliki ku. Dan aku resmi memiliki nya.                 “Menikah bukan tentang dua orang , tapi tentang dua keluarga yang saling terikat” Jawab Arta. Kali ini air mata sudah membasahi pipi Areta , ia tidak menyangka bahwa Arta akan menolaknya sejauh itu.                 “Kalau kita tidak bisa menikah , kenapa kamu masih di sini sekarang? Aku… aku juga mau menikah seperti teman – teman ku yang lain, aku mau punya anak , punya keluarga yang bahagia, aku mau kamu jadi suami aku!” Ucap Areta sembari mengusap air mata di kedua pipi nya, ia berteriak hingga suaranya memenuhi ruang kamar itu.                 “Perbedaan yang gak bisa nyatuin kita Areta!” Gertak Arta, Seketika Reta diam dengan napas yang tersenggal – senggal.                 “Perbedaan bukan alasan untuk tidak membangun rumah tangga” Jawab Arta kemudian menyambar baju nya yang terlipat rapih di sofa dekat meja kerja nya.                 Reta melihat punggung Arta tenggelam dari balik pintu, ingatannya tentang delapan tahun kebersamaan mereka dan seberapa banyak malam panjang yang telah mereka lewati bersama sungguh membuat Areta merasa frustasi. Bagaimana mungkin ia bisa menikah jika tubuh nya saja sudah pernah di jamah habis – habisan oleh Arta. Ia tidak akan menemukan pria lain jika saja Arta tidak bisa meresmikan hubungan mereka.    
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD