Cemburu

1431 Words
Dua buah mobil terparkir di halaman rumah pak Joyo Diningrat, rumah bernuansa klasik itu memiliki halaman yang luas dengan banyaknya tanaman-tanaman, sehingga menambah kesan sejuk dan nyaman. Pintu rumah itu terbuka lebar karena acara besar sedang berlangsung. Seorang pria tampan, bertubuh tinggi dengan bahu yang lebar, mengenakan batik biru tua. Terdengar lantunan basmallah dari bibirnya, dia menarik napas panjang, lalu mengembuskannya perlahan, seolah dia ingin mengatur kembali ritme jantungnya. "Saya ... Rega Darwanto, ingin melamar putri bapak, Titania Saputri Diningrat untuk menjadi istri dan ibu dari anak-anak saya," ujarnya. Pak Joyo Diningrat tampak tenang, namun terlihat raut haru dari wajahnya. "Bapak sudah menyerahkan keputusan ini sepenuhnya kepada putri bungsu bapak. Gimana, nak? Apa kamu sudah siap?" Suara pak Joyo sedikit bergetar. Beliau melirik putrinya penuh haru, Titania mengangguk, lalu pak Joyo memberikan mikrofon yang ia pegang kepada anak gadisnya yang langsung di raih Titania, lalu ia menyejajarkan tubuhnya dengan pria yang tengah berdiri di hadapannya itu. "Saya Titania Saputri Diningrat, menerima lamaran mas Rega Darwanto dan saya siap untuk menemani beliau di sepanjang hidupnya." Terucap begitu saja dari bibir mungil Tania sapaan akrabnya, dia begitu tenang, mungkin karena dia sudah menerima lamaran ini sebelumnya. Tepuk tangan dan lantunan do'a dari anggota keluarga membuat mereka tersenyum bahagia, apalagi Rega, senyum bahagia terus menghiasi wajah tampannya. Setelah melewati beberapa kali penolakan, kini penantian panjangnya terbayar sudah. Dengan lembut Rega meraih tangan Tania kemudian ia menyematkan cincin emas putih dengan mata biru di jari manis gadis itu. Begitupun Tania, dengan malu-malu dia menyematkan cincin putih polos di jari kekar pria itu. Setelah bertukar cincin, beberapa jepretan kamera mengabadikan momen bahagia mereka. Dua keluarga nampak sangat bahagia, lamaran berlangsung dengan lancar dan penuh suka cita. "Alhamdulillah ... sekarang anak kita sudah resmi bertunangan, acara pernikahannya akan diadakan dua bulan lagi, betul kan, Pak Joyo?" ucap pak Anton sembari tersenyum, dia menepuk punggung tangan pak Joyo. "Iya Pak, saya sih terserah anak-anak, mereka siapnya kapan." ujarnya, Pak Joyo memang tak ingin anaknya melangkah terburu-buru, walaupun dia tegas dan merupakan mantan seorang Tentara, namun dia tak pernah bersikap otoriter pada semua anaknya. "Betul Pak, tapi sepertinya mereka setuju saja, apalagi Rega sudah cukup umur untuk membina rumah tangga, dia pasti tidak ingin menunggu pernikahan ini terlalu lama," ucap Pak Anton dengan penuh percaya diri. Sikap tegas, dominan dan cepat dalam mengambil keputusan itulah yang di wariskan pada Rega. Para ibu-ibu tampak bahagia, mereka saling melempar tawa sambil menikmati beberapa hidangan. "Saya sebenarnya takut kalau Rega jadi tidak suka sama perempuan, soalnya dia terlalu lama menjomblo." Bu Ranti terkekeh. "Ah masa sih, pria tampan seperti Rega pasti banyak yang antri, kan Bu?" timpal Bu Sri. "Iya, tapi untungnya dia memilih Tania, saya sebagai mamanya cocok sekali sama Tania, kan jarang ya bu ada ibu yang ikut jatuh hati sama pilihan anaknya." "Syukurlah ... Kalau Bu Ranti jatuh hati sama anak saya, jadi saya tenang ... karena Tania memiliki mertua penyayang seperti Bu Ranti," ucap Bu Sri dengan tenang. Apa yang dia ucapkan bukan hanya sekedar pujian. "Ah ... Bisa saja bu Sri ini." Bu Ranti kembali terkekeh. Rega dan Tania duduk Berdua menyantap hidangan yang tersedia, sesekali mereka melempar senyum.  *** Satu minggu setelah acara pertunangannya dengan Rega, Tania harus kembali ke Jakarta disibukkan dengan rutinitasnya sebagai perawat di sebuah rumah sakit besar di Ibukota. Ia tinggal bersama Mia, adik dari bungsu Joyo Diningrat, semenjak kuliah hingga sekarang Tania tidak pernah luput dari pengawasan sang tante yang sudah dia anggap seperti ibu baginya. "Sudah jam makan siang nih, makan dulu yuk!" Rega berdiri di depan Tania, dia tidak akan berhenti mengulurkan tangan sebelum Tania meraihnya. Tania hanya meliriknya sekilas. Senyum tipis ikut terulas. Biarkan saja tangan Rega tetap seperti itu, lagi pula dia belum selesai dengan semua pekerjaannya.   "Sayang, tanganku pegal," ucap Rega sembari menggembungkan kedua pipinya, alisnya sedikit bertaut. Hal itulah yang membuat Tania selalu merasa bahwa, Rega itu lucu.  Tania  menghela napas, kemudian dia meraih tangan Rega, lalu beranjak meninggalkan kursinya. Rega menyematkan dan menautkan jari jemarinya pada jari lentik Tania lalu mencium sekilas punggung tangan calon istrinya itu. "Aku cinta kamu," bisiknya. Tania tersenyum, hatinya melambung. Meski sudah biasa mendengar hal itu, tapi dia merasa Rega selalu tak pernah bosan untuk terus menyatakannya.  Berjalan bergandengan tangan di koridor rumah sakit juga sudah biasa bagi mereka, membuat beberapa pasang mata iri melihat kemesraan yang dibuat Rega pada Tania. "Tania?" panggil Seorang pria yang tengah duduk di kursi tunggu yang di lewati begitu saja oleh sepasang kekasih itu. Tania menoleh mendengar seseorang memanggil namanya dengan tak biasa. "Rangga?" Tania berbalik, dia menyipitkan mata untuk memperjelas penglihatannya. "Hei ... ternyata kamu kerja di sini?" tanya pria berkulit putih itu sambil berdiri, tatapannya menyorotkan kekaguman pada wanita yang sedang ada di hadapannya. Tania tersenyum dan mengangguk. Rangga mengulurkan tangan hendak memberi salam. "Apa kabar?" "Baik, Tania baik ... kenalkan saya Rega calon suaminya," ucap Rega sembari meraih uluran tangan Rangga.  Tania tersenyum geli. Rega memang ada-ada saja. "Siapa yang sakit?" tanya Tania pada Rangga. "Mama". "Oh ... semoga cepat sembuh ya. Nanti kalau ada waktu, aku pasti mampir," ucap Tania yang langsung dibalas anggukan oleh Rangga. "Kami pamit, ya." Rangga mengangguk dan tersenyum lembut. Tania merasa aneh karena Rega berjalan mendahuluinya, tidak seperti sebelumnya. Tiba-tiba Tania merasa Rega menjadi acuh tak acuh.  Kini mereka duduk berhadapan di Kantin sehat rumah sakit. Tania melirik Rega dengan ujung matanya, dia tahu Rega sedang kesal, meski dia sendiri tidak mengerti apa penyebab kekesalan Rega. "Mas Rega kenapa? Ada masalah?" tanyanya memecah keheningan. "Ada," ucap Rega tegas, dia menaruh sendok yang dia pegang sehingga mengeluarkan bunyi berdenting yang cukup keras. Tania mengernyit. TIdak biasanya Rega bersikap seperti itu. "Kenapa? Tadi 'kan nggak apa-apa?" Tania meraih tangan Rega. "Cowok tadi siapa?" Rega menatapnya penuh selidik. Tania masih mengernyit heran. Dia menghela napas. "Maksud mas, Rangga?" "Iya," jawab Rega malas. "Dia temannya Dimas. Kenapa emang?" "Kok kamu bisa kenal dia?" Rega mengangkat alisnya. "Dikenalin sama Dimas." "Buat apa?" Rega mengerutkan dahi. "Aku enggak tahu, enggak nanya, mungkin nambah teman, biasanya kalau ngajak kenalan buat apa?!" ucapnya sambil mengunyah makanan. "Aku enggak suka, dia liatin kamu kayak tadi." "Kayak apa? Biasa aja." Tania meneguk air minumnya. Kemudian kembali berkata, "Lagian dia juga punya mata, bebaslah suka-suka dia." Tania benar-benar tidak ingin ambil pusing. "Kamu kayak bercandain aku?" "Bercandain apa, sih? Kamu cemburu?"  "Nggak. Biasa aja." Rega bangkit meninggalkan Tania sendiri.  "Ya udah biasa aja dong mukanya." Tania ikut bangkit mengikuti Rega dari belakang. "Dasar orang aneh," desisnya.  *** Tania terlihat sangat cantik dengan seragam putih khas perawat yang dikenakannya. Dia berdiri di depan halaman rumah menunggu ojek online yang sudah dia pesan lima menit yang lalu. Beberapa kali dia melirik jam tangan yang melingkar di pergelangan tangannya. Tiba-tiba suara klakson memanggilnya untuk segera keluar.   "Kak Tania ...," sapa driver ojek. "Iya saya." Tania mengangkat wajah dan menatap pria berjaket hijau itu. "Loh kamu?"  "Iya, kebetulan atau ...." Rangga menghentikan ucapannya. "Disengaja?" tebak Tania. Rangga terkekeh. "Bisa aja." Dia memberikan helm pada Tania. Saat hendak meraih helm yang diberikan Rangga, seseorang menepuk punggung Tania, dengan cepat dia menoleh. "Mas Rega?" "Iya, ini aku. Kok kamu kaget? Kaya yang enggak kenal."  "Bukan, kamu bilang nggak akan jemput aku." Rega mengidikkan bahu. "Mas, ojeknya di cancel ya, ini uangnya." Rega memberikan selembar uang berwarna biru. Rangga mengangguk. "Iya enggak apa-apa." Dia mengangkat telapak tangannya. "Enggak usah kak," ucapnya sembari mendorong tangan Rega. "Kamu?!" Rega masih ingat siapa pemilik wajah itu. Dia segera berbalik dan menarik tangan Tania menuju mobilnya. "Maaf ya, Ngga?" ucap Tania. Rangga mengangguk. "Iya nggak apa-apa." Rega duduk dibelakang kemudi, dia menatap Tania dan bertanya, "Kenapa dia yang antar?" "Dia 'kan ojek," ucap Tania sembari memasang seat belt.  "Enggak ada ojek lain?" "Aku nggak tahu kalau ojek yang aku pesan ternyata drivernya dia, Mas," jelas Tania. "Lagi pula aku juga baru tahu, kalau dia ojek." Rega mendelik. "Aku nggak percaya." "Astaga." Tania menghela napas. Sementara Rega memukul roda kemudinya, membuat Tania terkesiap. "Kamu kenapa sih, aneh banget?" Rega menoleh dan rahangnya mengeras. "Sebenarnya hubungan kamu sama dia apa?"  "Dih .... " Tania mencibir. "Jawab!" pekik Rega. "Kamu mau jawaban apa?" Tania mendelik. "Harusnya kamu percaya sama aku, kamu kenal aku sudah hampir dua tahun, kamu lupa aku nerima kamu sudah satu tahun lebih, kalau aku mau khianatin kamu, kenapa enggak dari dulu?" ungkap Tania. Rega terdiam, dia menahan gejolak cemburu yang bercampur dengan amarah di hatinya. Rega sendiri merasa aneh kenapa tiba-tiba dia ingin marah pada Tania. Tania membuang muka. Dia menatap lurus ke depan, sembari melipat kedua tangannya di d**a. Dia merasa aneh dengan kecemburuan Rega yang tanpa alasan. Rega memang terlalu membumbui perasaannya sendiri.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD