BAB 01

1206 Words
TIDAK tanggung-tanggung, seorang cewek dengan rambut yang di kuncir satu menyerupai ekor kuda langsung mengambil tiga es krim dari dalam box dan segera memasukannya ke dalam kantung plastik. Setelah melakukan transaksi, ia keluar dari kantin. Sama sekali tidak peduli dengan tatapan dari seluruh siswa SMA Berlian Satu yang selalu saja menatapnya dengan pandangan aneh, menyebalkan sekali. Ia sempat melirik beberapa siswi yang berdiri tidak jauh dari posisinya dengan penglihatan horor dan siap menerkam. Mereka semua gelagapan saat menyadari di tatap oleh manik mata menghunus milik Olivia Kharisma. Setelah itu, Olivia memutar bola matanya jengkel. Ia melanjutkan langkah kakinya yang sempat tertunda. Olivia memberhentikan langkahnya, senyuman tipis terbentuk bersamaan dengan tangannya yang mengambil es krim dari plastik kresek di tangannya. Kertas pembungkus es krim itu ia buka, lalu memakannya dengan pelan. Saat menaiki anak tangga, ekor mata Olivia tidak sengaja bersirebok dengan salah satu siswi. "APA LO LIHAT-LIHAT?! MAU ES KRIM? DI KANTIN BANYAK, NGGAK USAH LIHATIN GUE!" Olivia menyemburkan murka saat di tatap pandangan jijik dari siswi yang berpas-pasan dengannya itu. Olivia menggeram kesal. Bola matanya terlihat nyalang. "Idih, pede banget." Siswi itu mencebikkan bibirnya, lalu mulai melanjutkan menuruni tangga. Sementara itu, Olivia mendengus kesal. Dengan emosi, ia mengentakkan kakinya di anak tangga sembari menikmati es krim di tangannya lagi. Semua siswa dan siswi mungkin sebagian besar mengenal siapa itu Olivia Kharisma. Galak, agresif, suka mencecar dengan perkataan pedas, begitulah yang dapat mereka simpulkan saat ditanya bagaimana watak Olivia. Bahkan, kedua temannya juga beranggapan seperti itu. Fokus utama Olivia sekarang hanyalah makanan favorit di tangannya ini, ia sampai tidak memperhatikan jalanan, bahkan sebuah kaki yang terjulur ke tengah koridor kelas tidak tertangkap oleh penglihatan cewek itu seolah dunianya sudah dialihkan oleh sebuah es krim Cornetto. Dan ... Tentu saja, bisa di prediksi dengan mudah jika Olivia akan tersandung karena kaki panjang yang menghambat jalannya itu. Olivia terjatuh dengan keadaan mengenaskan, kresek yang semula berada digenggaman tangannya kini sudah beralih tertohok di lantai dengan dua es krim yang ikut tergeletak di sampingnya. Hal yang lebih mengenaskannya lagi, es krim yang sempat ia makan mengenai seragam putihnya. Olivia menggeliat, mengaduh kesakitan, terutama pada bagian pinggang dan perut. Ia menyentuh bagian sikut yang terasa begitu sakit, tatapannya langsung tertuju pada seorang cowok yang tengah duduk di bangku depan kelas, tangannya terlipat di d**a. Fokus mata Olivia beralih menatap kaki panjang cowok itu yang masih saja berselonjor ke depan. Olivia menggeram dan menggeretakkan giginya dengan sebal. Tapi yang membuat Olivia tercenung untuk beberapa detik adalah wajah cowok itu. Sepertinya tidak asing, ia merasa sudah pernah bertemu dengannya, entah kapan dan di mana lebih tepatnya. Bodo amat, Olivia langsung menggeleng. "HEI!! KAKI JERAPAH LO UDAH BIKIN GUE JATUH, BURUAN TOLONGIN!" Olivia berseru dengan raut wajah merah padam. Cowok itu mengangkat satu alisnya, kemudian bangkit dari duduknya, mendekat ke arah Olivia yang masih saja tersungkur di lantai. Cowok itu menghela napas, jongkok di hadapan Olivia dengan senyuman remeh yang tercetak di sepasang sudut bibirnya. "Lo mau minta tolongin gue?" Olivia melotot, "YA JELAS, LO ITU SALAH, HARUS MINTA MAAF DAN NOLONGIN GUE. GITU AJA PAKE TANYA, LO BUKAN BOCAH!" Cowok itu meringis sesaat sambil memundurkan kepalanya ke belakang, teriakan itu sungguh nyaring. Bisa-bisa telinganya akan mengeluarkan cairan kuning kalau terus-terusan menerima cercaan itu. "Ngomongnya nggak usah pake urat bisa, kan?" "Ya udah, buruan bantuin gue berdiri." Olivia mengangkat satu tangannya, berniat memudahkan cowok itu untuk membantunya. "Yakin gue yang salah?" Cowok yang masih belum di ketahui identitasnya itu malah terkekeh kecil, hingga rahang Olivia semakin mengeras. "Kalo bukan karena kaki jelek lo gangguin jalan gue, gue nggak mungkin jatuh!" "Kalo bukan karena lo sibuk makan es krim, lo juga nggak mungkin jatuh," tukas cowok itu sambil tersenyum meremehkan. Olivia berdecak kesal, kemudian bangkit dan berdiri. Tidak lama setelah itu, cowok itu ikut berdiri dari jongkoknya, menatap Olivia yang sibuk membersihkan roknya. "Tuh kan, gara-gara lo seragam gue jadi kotor." "Itu karena ulah lo sendiri," balas cowok itu. Olivia merotasikan kedua bola matanya dengan malas, "lo jadi cowok kok nyebelin banget sih, nggak gentle banget. Kalo situ ngerasa cowok harusnya bantuin gue berdiri. Udah ngerasa nggak bersalah banget, malah nyalahin gue." "Terus mau lo apa?" tanya cowok itu dengan dagu yang di naikkan, kedua tangannya terlipat di atas d**a. Olivia mencetak senyuman kecil yang tidak kentara, "ambilin es krim gue yang jatuh," ucapnya tegas sambil menunjuk es krim yang tertohok di lantai dengan jarinya, tetapi tatapannya sama sekali tidak berpindah dari cowok di hadapannya ini. "Gue? Ambilin es krim lo? Yakin minta bantuan gue?" Cowok itu terkekeh lagi, kemudian melengos ke samping. "Mau minta bantuan siapa lagi? Di sini, kan, lo yang salah, masa gue harus minta tolong bantuan pak kepala sekolah?!" "Nggak usah ngelawak, nggak lucu!" tegas cowok itu lagi. "Idih, siapa yang ngelawak, gue bukan pak Tarno." "Emang bukan, lo kan cewek galak." Olivia mendengus, "buruan deh, nggak usah kebanyakan bacot, ambilin es krim gue!" "Nggak mau, gue udah kapok bantuin elo." Kening Olivia tercipta berlapis-lapis, rasa bingung menggelayuti raganya. "Kok kapok?" "Oh jadi lo nggak inget? Terus kalo gue ambilin es krim lo yang jatuh itu, gue bakal kena marah lo kayak waktu itu lagi. Gue nolak itu!" cowok itu berkata sarkastik, tanpa menunggu balasan ucapan dari Olivia, ia melenggang pergi, memasuki kelasnya. "Dasar rese! Nyebelin banget lo!" Olivia mengentak-entakan kakinya kesal di lantai, ia bersungut kesal, lalu memungut es krim yang tercecer di lantai dengan gerakan kasar. "Gue bakal sumpahin lo besok nggak bernapas, gue harap lo mati aja. Cowok jelek, nggak ngerasa bersalah!" Dari dalam kelas, cowok itu menghembuskan napasnya dengan kasar. Ucapan Olivia masih bisa ia tangkap. Lalu tak lama, ia bangkit dari duduknya lagi, berjalan keluar kelas dan memperhatikan punggung Olivia yang sudah melenggang menjauh. Sementara itu, Olivia masih mengerucutkan bibirnya, tangannya sibuk mengusap-usap seragamnya yang terkena es krim cokelat, sangat terlihat kontras dengan seragamnya yang berwarna putih bersih. "Kalo gini nggak mungkin bakal ilang!" gerutunya setelah pijakan kakinya kini berada di dekat toilet. Olivia berpikir sejenak, mencerna ucapan cowok itu lagi yang masih terngiang di otaknya. "Oh jadi lo nggak inget? Terus kalo gue ambilin es krim lo yang jatuh itu, gue bakal kena marah lo kayak waktu itu lagi. Gue nolak itu!" "Kayak waktu itu lagi? Berarti gue pernah ketemu dong?" Tanpa sadar, Olivia sudah bergumam sendiri. Tapi jujur, ia benar-benar tidak ingat tentang cowok itu, kapan dan di mana ia bertemu dengannya. Satu hal lagi, wajah tampan cowok itu entah kenapa tidak begitu asing di ingatannya. Berati benar, ia pernah bertemu dengannya. "Gue emang pernah ketemu sama lo, waktu itu plastik kresek lo bolong, gue udah bantuin ambil es krim yang berserakan di lantai, tapi apa yang gue dapet? Bukan terima kasih dari lo, tapi mulut pedes lo yang gue dapatkan!" Olivia kontak terbelalak, ia segera menoleh ke belakang. Tubuhnya mendadak menegang saat cowok itu berdiri di belakangnya. "Lo ngapain di sini?" tanya Olivia, masih dengan raut wajah bingung. "Nih pake jaket gue, nggak mungkin kalo lo pakai seragam kotor itu." "Eh?" Cowok itu berbalik badan setelah melempar jaket berwarna navy miliknya kepada Olivia. Mau tak mau Olivia menangkap jaket tersebut, lalu ia menghembuskan napasnya pelan. Jaket yang kini berada di dekapannya ia tatap, senyuman tipisnya terbit. Entah kenapa, mendadak saja, hatinya menghangat.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD