BAGIAN SATU

1107 Words
             Namanya Alma, Alma Aindya. gadis berusia 24 tahun, di sebelahnya ada Bima, Bima empat tahun lebih tua daripada Alma, pria yang berstatus sebagai pacar sekaligus calon suami Alma. Pertemuan mereka cukup sederhana, Bima pulang bekerja dan mampir di BAR namun sebaliknya, Alma tidak dari bekerja karena ia baru saja resign dari pekerjaannya demi menjaga adik sematawayang nya.             “Can I taste your Coffee?” Ucap Bima yang kala itu tiba-tiba menghampiri Alma. Alma terlihat sangat menarik bagi Bima, Rokok, Kopi , Dan Bar. Heyyy, gadis muda jaman kapan yang akan minum kopi di Bar sembari merokok, melihat orang-orang yang berlalulalang, berjoget kesana kemari, bahkan ada juga yang saling berciuman.             Alma mengangguk, membiarkan Bima menyesap kopi nya, “Boleh, minum aja.” Ucap Alma kala iu. Lagi-lagi ia terlihat manis dari samping, hidung bulat, bibir tipis serta kulit putih nya justru semakin membuatnya bercahaya di tengah-tengah kerumunan orang yang justru dandan berlebihan.         “Can I-” Belum sempat Bima menyelesaikan ucapannya, Alma sudah menyerahkan rokok yang ia hisap kepada Bima, Alma tahu ini adalah cara berkenalan paling random yang pernah ia temui, Bima terlihat sedikit acak-acakan  juga sedikit terlihat sexy di balik kemeja putih nya.         “Bima.” Ucap Bima sembari menyerahkan rokok milik Alma kembali.         “Alma.” Jawab Alma sembari tertunduk, saat itu, tanpa di beritahupun Bima sudah tahu jelas bahwa Alma sedang banyak pikiran, terlihat jelas dari sorot mata tajam gadis itu yang memandang satu objek secara terus-terusan sedari tadi, Alma sedang berada di sini, namun pikirannya berada di tempat lain.         “What’s the problem? You look so sad. Kalau mau cerita aja.” Ucap Bima, kali ini ia duduk di sebuah kursi, di samping Alma. Gadis itu hanya menghela napas selama berkali-kali tanpa tahu kapan ia akan mulai bercerita.         “Orang tua aku sudah meninggal, dan aku resign dari kerjaan aku buat jagain adik aku yang sekarang lagi koma di rumah sakit, I don’t know, why it feels so sad. Mbak nya yang jagain tiba-tiba berhenti karena dia hamil, hell.” Desis Alma sembari menghisap batang rokok milik nya.         “You are a great sister right? Apa yang sedih?” Tanya Bima         “Mungkin gara-gara aku harus mengikhlaskan karir ku yang udah aku bangun mas, I don’t know… but kayak berat aja gitu.” Jawab Alma. Mendengar Alma memanggilnya dengan sebutan Mas membuat Bima jadi aneh sendiri, ia sudah datang ke BAR yang sama selama bertahun-tahun lamanya, namun setiap kali ia bertemu dengan orang baru, tidak pernah ada orang yang memanggilnya dengan sebutan Mas. Alma ini, aneh.             “It’s okay kok, gak apa-apa kalau kamu ngerasa sad. Toh itu juga hak kamu, wajar.” Jelas Bima. Malam itu mereka ngobrol ngalur ngidul, memesan minuman berkali-kali melepas kepenatan di kepala mereka masing-masing, hingga berakhir di sebuah kamar hotel tanpa tahu apa yang terjadi. *****                                                                                 “Enghh-“ Alma mengerjapkan matanya, menatap langit-langit kamar tempat dimana ia tidur, Alma sadar, bahwa hari sudah berganti, dan dia juga sadar bahwa ia berada di tempat yang tidak seharusnya, tempat dimana ia berada saat ini ialah bukan tempatnya, Alma sadar ia sedang tidak berada di rumahnya. Terlihat kasur di sebelahnya kosong, Sofa di kamar hotel itu di tempati oleh seorang pria yang sedang meringkuk dengan selimut besar menutupi seluruh tubuhnya, buru-buru Alma memeriksa dirinya sendiri, namun syukur, pakaiannya masih lengkap, tidak ada tanda bahwa ia melakukan hal bodoh semalam, bersama orang yang baru saja ia kenal di Bar.             Di saat yang sama, Bima juga sudah mulai bangun, mereka berpandangan satu sama lain selama beberapa detik kemudian saling merasa canggung, terlebih ketika Alma melihat bagian atas tubuh Bima yang polos ketika ia menyingkap selimut yang ia pakai.             “Kenapa kita di sini?” Tanya Alma.             “Kita mabuk. Tenang saya masih ingat kok, kita gak ngapa-ngapain. Kamu gak usah takut, saya bawa kamu ke sini Cuma karena saya gak tau kamu tinggal di mana, jadi saya gak nganterin kamu pulang” Jawab Bima, yang di balas dengan sebuah anggukan oleh Alma. Alma tidak menaruh curiga sama sekali kepada Bima, Bima terlihat baik, setidaknya itulah yang Alma lihat.             Mereka berpisah begitusaja, setelah bertukar kontak, Alma pamit karena harus ke rumah sakit menemui adiknya, sementara Bima harus kembali bekerja karena hari itu adalah weekdays not a weekend.             Hari-hari mereka lewati seperti biasa, namun mereka kembali di pertemukan di sebuah minimarket dekat rumah sakit tempat dimana adik Alma di rawat, Alma saat itu terlihat begitu cantik walau hanya dengan baju kaos yang terlihat kebesaran di badannya serta celana pendek yang hampir tidak terlihat. Kulit Alma begitu bersinar, bahkan dari jauh Bima bisa melihat leher jenjang milik gadis itu.             “Bumi itu sempit ya.” Ucap seseorang yang sontak membuat Bima kaget, baru saja ia ingin menghampiri Alma, sekarang Alma sudah berada di sampingnya, tersenyum manis kepada Bima sembari menempelkan minuman dingin di pipi pria itu.            “E-eh? Alma?”             “Waah kamu inget nama aku ya mas ternyata. Kamu ngapain di sini? Keluarga kamu ada yang sakit?” Tanya Alma, kali ini ia duduk, di hadapan Bima sembari menenggak soda yang ada di tangannya.             “Jenguk teman.” Jawab Bima dengan singkat. Alma yang kala itu masih saja terus mengoceh tanpa henti. Dari situ lah Bima paham bahwa Alma adalah sosok yang ia cari selama ini, Bima yang kesepian dan Alma yang periang. Cocok sekali bukan? Iya, Bima butuh Alma dalam hidup nya.             “Boleh… saya jenguk adik kamu?” Tanya Bima pada akhirnya. Alma terlihat diam selama beberapa saat kemudian ia mengangguk dengan semangat. Setelahnya mereka berdua berjalan bersama menuju ruang rawat adik Alma. *****             “Dia namanya Syahila. Di jahilin sama temennya pas mau duduk. Awalnya dia masih sadar kok, yang lumpuh Cuma bagian bawahnya aja. Tapi naas nya orang tua aku, mama sama papa meninggal pas di perjalanan mau jenguk Syahila. Mereka kaget sampai ugal-ugalan di jalan, terus akhirnya meninggal karena rem mobil mereka blong. Pas Syahila tau, Syahila syok banget sampai komplikasi sama beberapa penyakit bawaannya juga terus… koma dan belum sadar sampai sekarang.” Mendengar cerita Alma, Bima seketika menjadi kasihan terhadap gadis di hadapannya saat ini. Ia pikir masalah Alma tidak seberat apa yang saat ini ia lihat, Alma selalu tersenyum, bahkan ketika gadis itu terbangun di kamar hotel bersamanya, Alma bisa nampak tenang, tanpa panik sedikitpun. Bima kira, masalah Alma tidak seberat itu, namun sepertinya apa yang Bima pikirkan ternyata salah sebenarnya beban Alma berat, hanya saja gadis itu yang mampu menutupinya.             “Alma.” Panggil Bima, seketika gadis itu menoleh, menatap pria yang tingginya lebih 10 cm di bandingkan dirinya.             “Kenapa mas?” Tanya Alma.             “Kamu, mau gak jadi pacar saya?”
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD