CHAPTER SATU : Distraksi Yang Menjengkelkan (1)

1484 Words
                 Drrrt! Drrrt! Drrt!                  Benda tipis, datar serta mungil itu kembali bergetar di dalam saku kemeja Adi  Surachman, walau tanpa terdengarnya sebuah nada dering yang menyertai getaran tersebut.                  Menganggu sekali, sampai-sampai membuat keluh Adi nyaris terucap dari celah bibirnya.                  Berharap getaran itu lekas mereda, Adi memilih menarik napas panjang saja untuk kemudian mengembuskannya sepelan mungkin. Usaha kecil yang segera menuai hasil bagi Adi. Lumayanlah, bak sebuah mantra ajaib, ternyata embusan napas Adi barusan terbilang manjur.                   Buktinya, dapat ‘mengusir’ getaran pada ponselnya. Getaran itu benar-benar berhenti beberapa saat kemudian.                  ‘Hm. Bagus,’ pikir Adi sedikit lega. Ia menyangka bahwa gangguan atasnya sungguh-sungguh telah berhenti sepenuhnya.                   Celakanya, rasa tenang yang ia rasakan tersebut, sama sekali tidak bertahan lama. Ah, rupanya dia keliru, terlampau cepat menyimpulkan bahwa ‘gangguan sialan’ itu benar-benar telah berlalu. Hanya berselang tidak sampai lima menit kemudian, gangguan serupa menyapa Adi lagi. Sialnya, kali ini bila dihitung-hitung dalam diam, nyata benar durasinya jauh lebih lama ketimbang sebelumnya. Bagaimana Adi tidak kesal karenanya?                   Kendatipun berusaha tetap memusatkan perhatiannya kepada rapat antar departement yang tengah berlangsung saat ini, toh Adi tidak mampu menyangkal bahwa dirinya amat terusik. Mau tak mau, dia mulai menghitung-hitung di dalam diamnya. Seingat Adi, getaran telepon selulernya itu sudah ketujuh kalinya terjadi, padahal baru satu jam yang lalu disetelnya ke mode getar. Jumlah yang lebih dari sekadar 'cukup.'                   ‘Siapa sih? Kalau ditilik dari tempo getarannya yang demikian lama, aku yakin bahwa  ini adalah panggilan telepon, bukan sekadar notifikasi pesan masuk. Niat banget berarti. Sengotot itu mencoba menghubungi aku? Seperti ada kondisi kritis saja,’ kata Adi dalam hati lantas buru-buru mengeliminasi pemikiran buruk yang melintas tanpa diundang.                  'Ah, enggak. Ibu dan adikku baik-baik saja. Sebelum rapat saja aku baru berkomunikasi melalui telepon sama mereka. Urusan kantor juga semestinya nggak ada yang segawat itu. Firasatku bilang, ini beda. Bukan urusan keluargaku maupun urusan yang berkaitan dengan pekerjaanku,' pikir Adi lagi.                   Bila menilik dari kegigihan sang penelepon yang macam tukang tagih sewaan itu, secara logika tentu takkan menyerah sebelum panggilan teleponnya disambut oleh Adi. Dan meskipun masih saja didiamkan oleh Adi, lama kelamaan getaran tersebut akan berpotensi membuyarkan konsentrasinya. Konsentrasi yang susah payah dibangunnya, apalagi dalam situasi yang tengah dihadapinya saat ini. Apalagi kalau bukan lagu lama, ‘suguhan’ adu argumen dengan tim Marketing, yang kian terasa alot dari waktu ke waktu?                   Namanya juga seorang Adi Surachman. Sudah barang tentu Cowok itu masih berusaha untuk 'stay cool', bersikap tenang, betapapun sulitnya hal itu.                   Ia memilih untuk mengabaikan getaran telepon seluler yang ada di saku kemejanya.  Adi menepis godaan untuk melontarkan keluhan secara verbal.                   Tapi apa daya, secuil ekspresi tak nyaman sempat mencuat pula  di raut wajah Adi. Pelan, ia menghela napas panjang lagi, menahannya sesaat sebelum mengembuskannya secara amat perlahan. Seakan-akan dengan begitu, gangguan dapat terusir pergi untuk selamanya.                   Ferdi Reivaldo yang duduk di seberangnya, memergoki perubahan samar pada mimik muka Adi. Ia pun menatap lurus pada Adi seraya mengedikkan dagu, sebagai ganti kalimat tanya, “Ada apa Di? Is everything ok?”                   Mata Adi menangkap kalimat tanya itu dengan sempurna. Makanya, dia pun menyahuti dengan gelengan sekilas, seolah penegasan dari kata, “Nothing.”                   Kemudian, Adi kembali  memusatkan perhatian serta indera pendengarannya pada keluhan yang tengah disampaikan oleh Flora Asteria Herlambang dalam rapat rutin dwi mingguan ini.                   “Ok, jadi salah satu keputusan rapat internal dua mingguan yang kita lakukan dua bulan silam, mempunyai dampak negatif pada angka penjualan. Itu merupakan sebuah fakta yang tidak bisa disangkal, karena langsung terlihat sekarang ini,” Flora menatap tajam ke arah Wenda Astuti Kusmantoro, salah satu anggota timnya Adi, yang duduk satu deret dengan Adi.                   Sebab bagaimanapun kesalnya dia pada departemen yang dipimpin Adi, untuk menatap tajam secara langsung ke arah Adi, mana mungkin dia berani terang-terangan melakukannya di dalam rapat begini, di depan orang banyak? Beda cerita kalau di belakang yang bersangkutan.                   Ditatap macam itu oleh Flora, Wenda yang duduk di dekat ‘bos kecil’nya itu tidak merasa gentar sama sekali. Malah, menunjukkannya pada ekspresi wajahnya saja tidak. Tenang saja gadis itu membalas tatapan Flora, meski setengah mati dia berusaha untuk menahan senyum miringnya agar tidak terulas di bibirnya. Ia konsisten membujuk hatinya dalam diam, memilih mendengarkan saja dulu, apa lagi yang hendak dikeluhkan ‘si nona’ satu itu.                   “Efek buruknya itu, terutama terlihat dari gagal tercapainya target penjualan individu. Ini jelas bukan hal yang remeh. Pikir saja, siapa orang Marketing yang tidak mengejar penjualan dan komisi, coba? Semestinya keputusan rapat tidak boleh diberlakukan ke semua, main disama ratakan begitu saja. Tetap harus ada yang namanya perkecualian. Harus dilihat kasus demi kasus, khususnya untuk pelanggan yang loyal, maupun prospek baru yang termasuk potensial,” ungkap Flora tanpa menyembunyikan kejengkelan yang membayang di wajah ovalnya.                   Kali ini, Flora langsung mencebik macam anak kecil yang sedang ngambek lantaran permintaannya tidak dituruti.                  Bentuk luapan perasaannya yang tertekan.                  “Huh! Dasar si 'nona besar'. Begitu deh. Dia selalu seperti itu. Minta diistimewakan,” dumal Wenda pelan.                  Adi menoleh ke samping mendengar dumalan Wenda. Lalu, ia menatap anggota timnya itu sejenak, tepat pada saat Wenda pun tengah menatap ke arahnya. Adi memejam mata sekilas, mengirimkan isyarat agar Wenda mendengarkan dulu uraian Flora sampai tuntas dan tidak terburu-buru mengomentarinya.                  Teguran tanpa kata itu ternyata ampuh untuk membuat Wenda terbungkam. Anggota timnya Adi itu terpaksa diam, menutup mulutnya rapat-rapat, mendengarkan lagi penjabaran Flora.                   Di sana, berdiri di balik meja yang berseberangan dengan Adi dan Wenda, Flora sudah siap mengemukakan permasalahannya secara lebih terperinci.                  “Adanya pemberlakuan penurunan limit kredit dan pengetatan jangka waktu pembayaran kepada para pelanggan langsung berpengaruh banyak pada angka capaian omzet penjualan. Ini berat sekali buat semua orang di bagian Marketing. Terlebih saya. Sudah susah payah memprospek pelanggan, mengarah kan mereka untuk menjadikan perusahaan ini sebagai vendor baru mereka, eeeh, begitu tiba giliran mereka mau order, malah terkendala plafon kredit sama jangka waktu pembayarannya. Percuma dong. Sama saja melakukan hal yang sia-sia. Buang waktu, buang tenaga dan biaya operasional saja. Kenapa sih, bukannya belajar dari pasar? Lihat tuh, para kompetitor kita! Mereka bukan sekadar memberikan limit kredit yang besar dan jangka waktu pembayaran yang jelas lebih lama dari kita. Mereka itu juga sangat royal dalam berbagai hal yang berbau promosi,” kata Flora. Nada suaranya terdengar mencemooh keputusan yang sejatinya telah diambil bersama dalam rapat sebelumnya.                   “Promosi?” celetuk Wenda yang rupanya kesulitan membungkam mulutnya yang sudah gatal untuk bicara. Iyalah, di mata Wenda, Flora itu terlalu arogan dan selalu mau menang sendiri. Alis Wenda terangkat begitu saja kala melontarkan celetukannya.                   Klop sudah. Bagaikan botol ketemu dengan tutupnya. Bila Wenda merasa Flora terlalu mendramatisir keadaan, sebaliknya Flora justru merasakan bahwa celetukan Wenda merupakan sebuah tantangan terbuka untuk adu mulut. Kuduanya nyaris lupa menjaga sikap dan tidak peduli bahwa kini mereka ada di hadapan atasan langsung mereka masing-masing.                  “Iya, promosi!” sahut Flora supercepat, nadanya pun tinggi. Seperti orang yang sedang marah saja.                   Wenda mengangkat bahu saja sebagai tanggapannya. Dia sudah hampir mengucapkan kalimat bantahan, kalau saja tatapannya tidak bersirobok dengan tatapan Adi.                   'Mas Adi nih, selalu saja begini. Terlalu kalem, deh. Sikap model begini nggak selalu work out untuk menghadapi seorang Flora, Mas. Dia mah, type-nya nggak ada di buku, jadi susah dihadapi baik-baik dengan segala macam teori yang ada di buku,’ batin Wenda gemas. Namun tak urung, dia toh terpaksa diam juga, dan menertibkan mulutnya.                   “Silakan dilanjutkan, Flora. Coba jabarkan lebih rinci, promosi macam apa yang dimaksud?” tanya Adi pula.                  Wenda puas mendengar pertanyaan yang diajukan oleh Adi. Ia merasa dirinya terwakili tanpa harus meminta. Ya, dia sungguh ingin tahu jawaban macam apa yang bakal disampaikan oleh Flora, penjelasan seperti apa yang menjadi andalan Flora untuk mamaksakan pendapat dan kemauannya kali ini.                   Maka, Wenda memasang telinganya tajam-tajam untuk tahu jawaban Flora. Sementara Flora, menanggapi komentar Adi sebagai peluang emas baginya untuk mengeluarkan segenap uneg-uneg yang dirasanya harus diketahui oleh segenap peserta rapat.                  ‘Dan aku yakin, semua orang Marketing juga berpikiran sama dengan aku. Mereka pasti akan mendukung aku, juga menganggap diriku sebagai penyambung lidah mereka. Pasti mereka akan sangat berterima kasih kepadaku,’ pikir Flora mantap, penuh percaya diri.                   “Banyak jenis promosinya. Yang paling sederhana ya semacam cash back, yaitu potongan harga untuk pembelian berikutnya. Bisa juga berupa barang. Contohnya saja, ada gift tertentu untuk pelanggan yang membeli dalam jumlah banyak atau bagi pelanggan yang membeli secara tunai. Ada pula pemberian paket tour tujuan domestik dan manca negara, hadiah berupa barang elektronik, sampai voucher belanja dengan berbagai nominal. Masih banyak hal lain, tetapi yang saya sebut adalah jenis gift yang paling sering diberikan. Pelanggan merasa dihargai. Itu baru soal promosi. Saingan kita juga kasih keleluasan jumlah kredit, cara mengangsur hingga jangka waktu pembayarannya,” sambung Flora berapi-api. Entah mendapatkan informasi akurat dari mana, Flora menguraikan pula data rinci beberapa perusahaan sejenis, saingan mereka yang memberikan aneka bentuk apresiasi kepada para pelanggan. Begitu lancar dan tanpa hambatan, bagaikan jalanan protokol ibukota di hari kedua hari raya lebaran.                                                                                                                                                              *^ Lucy Liestiyo ^*
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD