Chapter 1

1050 Words
Jika tidak suka dengan karya saya silahkan di-skip, jangan malah meninggalkan jejak (komentar) buruk, tolong hargai saya sebagai penulis, karena memikirkan cerita ini tidak semudah menutup mata saat kau sudah lelah. Terima kasih atas perhatiannya. Ps : Author Nilai ujian tryout matematika terakhir mereka anak kelas 9, telah dibagikan. Seorang gadis berkuncir kuda sebahu tersenyum tipis melihat angka 8 dengan tinta merah yang tertoreh di kertas ulangannya, gadis itu menunduk, menjulurkan tangan ke bawah meja, mengambil lembar kertasnya yang terjatuh tadi. "Sempurna!" seru gadis itu tiba-tiba. "Apanya yang sempurna? Andini!?" Guru bermuka seram dengan perawakan bapak-bapak berusia 40 tahun itu telah siap memegang penggaris kayu berukuran 1 meter di tangannya, dia memasang wajah seramnya yang siap membunuh orang. Ini sebenarnya sudah menjadi rahasia umum, bahwa umur guru itu sebenarnya masih 25 tahun, tapi perawakannya seperti 40 tahun, dan ini juga rahasia umum, bahwa guru itu sama sekali belum menikah. Ingat! Ini RAHASIA UMUM. Gadis itu langsung berdiri dari kursinya, benar-benar berdiri di atas kursi, bukan di depan kursi. "Nilai matematika saya yang biasanya selalu berbentuk telur besar sekarang sudah berubah menjadi 2 telur yang berdempet Pak! Bukankah ini sempurna? Akhirnya, kejeniusan saya keluar!" Gadis bernama Andini itu memasang ekspresi paling bahagia di wajahnya. Dia benar-benar merasa bahwa dia seorang jenius. Teman-teman di kelasnya langsung tertawa, sangat keras. Bahkan suara ketawa teman-teman di kelasnya melebihi suara toa masjid di sebelah sekolah. Guru matematika yang berusia 40 tahun-- 25 tahun itu langsung memukul meja dengan tangannya, padahal dia sedang memegang penggaris kayu dengan panjang 1 meter, kenapa tidak memukul meja dengan penggaris kayu itu saja? "DIAM KALIAN SEMUA!!" Guru matematika itu berseru kesal, keriput-keriput di wajahnya semakin bertambah. Semua murid langsung diam, membungkam mulut mereka masing-masing. Guru matematika itu kini melangkah ke arah gadis bernama Andini yang sedang melompat turun dari kursinya. Guru matematika itu langsung memelototkan matanya yang kini berwarna merah pada Andini. "Hanya kamu yang memiliki nilai paling rendah di kelas saya, sekarang remedi! Jika nilai kamu masih rendah, siap-siap tidak lulus! AN... DI... NIIII!!" "Hah? Bukankah nilai saya sudah 8 Pak? Bagaimana bisa saya menjadi murid dengan nilai terendah di kelas ini? 8 loh Pak, DEEELAAAPAAAN!" Dengan penuh percaya diri Andini menjelaskan pada gurunya, dia berpikir nilainya sudah melewati batas KKM (Kriteria Kentuntasan Minimal), dia mengira nilainya 8 dari 10 bukan 8 dari 100. "Nilai kamu itu DELAPAN, sedangkan nilai tertinggi itu SERATUS! Cepat kamu keluarkan kertas selembar, kerjakan soal ini kembali! Jika nilai kamu masih di bawah KKM, Hahaha..." Kini guru matematika itu tertawa jahat, otaknya sudah dipenuhi dengan banyak ide-ide baru untuk membalaskan dendamnya pada murid perempuan kelas 9 nya ini. "Pak! Bagaimana bisa saya mendapatkan nilai di atas KKM!? Dari SD sampai sekarang saya tidak pernah mendapatkan nilai matematika dengan digit 2 angka! Saya hanya terus mendapatkan telur besar, Pak!" Andini berseru kesal, seolah bangga dengan telur besar yang selama 9 tahun ini dia pertahankan. "Bukan urusan saya, Andini! Jika kamu gagal, lengkap sudah nilai matematika di lapor kamu akan terus menjadi telur besar. Kamu tidak akan bisa mengikuti ujian kelulusan." Guru matematika itu kini sedang tertawa atas kemenangan yang dia dapatkan, "Kita masih akan bertemu TAHUN DEPAN, Andini. HAHAHAHAHAHAH." "Dasar Fir'aun!" bisik murid-murid yang lain. "AAAAAH! Tidak bisa gitu dong Pak! Nilai semua mata pelajaran saya 90 Pak! Bagaimana bisa saya tidak lulus!?" seru Andini kesal, dia tak mau menerima penghinaan seperti ini. Dari dulu Andini hanya lemah di pelajaran matematika saja, dia bisa mengerjakan semua mata pelajaran lain dengan baik, termasuk fisika tentunya. "Tapi tidak dengan nilai matematikamu. Hahahah. Ini azab kamu Andini, azab durhaka pada guru sebaik saya! Hahahah!" Guru matematika kembali tertawa kemenangan, dia benar-benar sedang bahagia, seketika keriput-keriput di wajahnya mengencang, dia kembali muda. Andini menggepalkan erat tangannya. Guru matematika itu menyadarinya. "Kenapa? Mau memukul saya?" tanya guru matematika itu sambil tersenyum tipis, sangat menawan dan tampan-- semua ini berkat kepergian keriput-keriputnya. Hampir saja Andini pangling melihat ketampanan guru matematikanya versi no keriput yang sungguh mennggoda kaum hawa yang lemah iman, Andini contohnya. Setan-setan yang mengayomi pikiran Andini langsung membuat pesona guru matematika ini buyar! Bagi Andini, tidak ada yang lebih menggoda dari pamannya-- bukan berarti gadis seperti Andini jatuh cinta pada pamannya yang sudah punya 2 istri. Andini hanya kagum pada aura orang tampan yang dimiliki pamannya. Andini membalas dengan senyuman tipis penuh penuh kebanggaan miliknya. Walau sejenak, guru matematika itu jelas merinding. Dengan penuh rasa percaya diri, Andini melangkah pelan ke depan pak gurunya, mendekatkan bibirnya ke telinga guru matematika itu. "Pak, kemaren sore jam 4 lewat 30 menit 31 detik, saat suhu cuaca di angka 20° Celcius, di bawah pohon beringin yang tumbuh di seberang mini market Boleng, 432 meter lebih 48 centimeter dari titik gerbang sekolah kita, saya melihat Bapak sedang memfoto guru bahasa Indonesia, ibuk Fatimah, jika saya memberikan foto Bapak yang diam-diam sedang memfoto Ibuk Fatimah, kira-kira bagaimana reaksi Ibu--" "Saya akan memberikanmu nilai 70! Saya pastikan kamu lulus dari sekolah!" bisik guru matematika itu cepat. "Owh... hanya 70?" "Baiklah 85!" Guru matematika itu menggepalkan tangannya, gemetar. Andini menjauhkan kepalanya dari guru matematika itu, tersenyum hangat sampai memperlihatkan gigi putihnya yang tersusun rapi. Andini menyelami guru matematika itu. "Kalau begitu, saya izin ke kantin dulu Pak, anak-anak cacing di perut saya butuh gizi!" Andini menepuk ringan bahu guru matematikanya. "Pak, nanti fotonya saya kirimkan, lengkap dengan foto ibuk Fatimah yang sedang melepas ikat rambutnya di kamar mandi perempuan tadi pagi." Guru matematika itu mengacungkan jempolnya pada Andini, tersenyum bahagia. "Setelah itu saya kirimkan screenshot-an bahwa saya mengirim foto ibuk Fatimah pada Bapak." Andini tersenyum tipis dengan wajah polos tak berdosanya. Keriput-keriput di wajah guru matematika itu kini muncul kembali, matanya yang tadi sudah normal kini kembali berwarna merah, dia sangat-sangat marah. "Kalau Bapak tidak mau sampai ketahuan, kasih saya nilai 90, dah Pak! Saya ke kantin dulu!" Andini tersenyum penuh kemenangan atas kelicikannya memanfaatkan kelicikan gurunya sendiri. Andini terlihat bahagia di atas kemarahan orang lain. Mungkin yang lebih cocok mendapatkan gelar Fir'aun adalah Andini, bukan guru matematika yang selalu teraniaya oleh gadis satu itu. "Anak itu... menipu saya! Lihat saja!" gumam guru matematika itu kesal. Dia memulai pelajaran dengan semua komat-kamit tidak jelas. "Lagian... bagaimana bisa anak itu terus dapat nilai 0 di matematika? Perhitungannya sedetail itu tadi, dasar titisan Dajjal!" Andini kini melangkah dengan riang ke kantin sekolah, bersenandung ria di sepanjang koridor.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD