Dia Pulang

1001 Words
"Gue juga males, tapi gue cukup bertanggung jawab. Nggak kayak lo!" Elang mengambil piring kosongnya, mulai mencuci. Ia melirik Theo yang tetap dalam pendiriannya untuk pergi. Elang menatap tajam adik kembarnya itu. Sial. Semakin hari semakin parah saja kelakuannya. Elang setuju semua pesan bijak mendiang Mama. Kecuali itu. Elang juga bandel, tapi ia masih tahu aturan. Sedangkan Theo? Ya Tuhan! Elang tahu Theo memang bodoh, tapi tidak bisakah anak itu mengerti sedikit saja? “Yo, bukannya semalem kita udah sepakat mau berangkat pakai satu mobil?” Elang mengingatkan Theo, supaya anak itu tak lupa lagi. Ya … meskipun mengingatkannya menggunakan nada 8 oktav. Theo diam, sama sekali tak menanggapi. Pura-pura tak mendengar teriakan melengking kakaknya. “Kalau kita pakai satu mobil, seenggaknya bisa sedikit hemat uang bensin!” Elang berteriak lagi. Sayang, Theo sudah sukses keluar dari rumah. Bahkan deru halus mobil anak itu telah terdengar. Selanjutnya Theo telah berhasil berangkat duluan tanpa Elang—seperti yang sudah-suah. Elang geram sekali. Bagaimana nanti kalau uang mereka benar-benar sudah habis? *** Jam pelajaran berakhir, Elang bergegas menuju deretan kelas IPS yang berada di seberang kelasnya. Elang menerobos kerumunan anak-anak IPS itu. Beberapa dari mereka menatapnya aneh. Sebuah cerita klasik, anak IPA dan anak IPS jarang bisa akur. Itu juga berlaku di sekolah ini. "Theo!" seru Elang begitu menemukan sang adik. Elang yakin Theo mendengarnya, sengaja pura-pura tuli. Elang berlari mengejar Theo. Teriknya matahari membakar kulit. Pagi tadi Elang buru-buru, sampai lupa tak pakai jaket. Itu semua salah Theo. Begitu Theo masuk mobil, Elang segera ikut masuk. Reaksi Theo ... sesuai dugaan. "Keluar lo?" usirnya. "Ogah!" tolak Elang. "Gue bilang keluar!" Theo mendorong Elang kasar. Elang tak gentar. Ia masih dan tetap akan bertahan di dalam mobil sampai mereka tiba di rumah. Elang sudah mengalah dengan berangkat sekolah naik bus, demi menjujung tinggi kesepakatan mereka semalam. Sekarang apapun rintangannya, Elang harus berusaha bertahan. Ia tak sudi mengalah lagi. Dan Theo tidak boleh lanjut melanggar kesepakatan mereka. "Kita udah sepakat pakai satu mobil!" Elang menegaskan sekali lagi. "Sepakat?” Theo menyeringai. “Gue nggak pernah setuju sama argumen lo itu, Kakakku!" ucap Theo dengan nada meledek. Elang geram mendengarnya. “Lo emang nggak pernah bilang setuju. Tapi lo cuman diem saat gue ngomong panjang lebar tentang kesepakatan semalam. Jadi gue anggap diam lo sebagai sebuah persetujuan! Setuju nggak setuju, lo harus setuju. Karena keadaan kita terdesak!” “Terdesak gimana? Argumen lo itu nggak berdasar dan sangat bego!” Elang menarik napas dalam, berusaha mengontrol emosi supaya tak meledak. "Terus sekarang mau lo apa? Kapan lo mau ngerti, sih? Kita udah jatuh miskin sekarang. Kita harus mulai hemat." "Gue nggak mau!" "Mau nggak mau harus mau!" "Keluar!" Theo membuka pintu mobilnya dari dalam, kembali mendorong Elang dngan keras Elang mengambil alih kemudi mobil ini, menyingkirkan tangan Theo. "Apa-apaan lo?" Theo berusaha menghentikan aksi gila Elang. Elang tak tinggal diam. Meskipun tubuhnya lebih kecil, Elan g beru saha sekuat tenaga bertahan pada posisinya. Elang meng injak gas. Mobil me laju, deng an posisi pengemudi yang berada di kursi penumpang. Dan Theo di kursi kemudi masih berusaha mengam bil alih lagi. "Berhenti dorong gue atau kita bisa kecelakaan. Lo mau mati?" gert ak Elang. "Tapi ini mobil gue!" Theo tetap pada pendiriannya. "Oke, gue bakal lepasin setirnya, asal lo sepakat mau pakai satu mobil." "Nggak mau." Amarah Elang semakin tersulut. "Ya udah, gue bakal tetep nyetir dari sini. Hikmahnya, kalau kita kecelakaan dan mati, setidaknya kita nggak bakal bingung lanjutin hidup tanpa uang." Theo terdiam. Ia mengerti kok. Sungguh sangat mengerti tentang masalah mereka yang sangat dikhawatirkan oleh Elang. ‘Bukan cuma lo yang cemas sama finansial kita. Gue bahkan udah banyak cari lowongan kerja part time. Tapi gue ogah jalanin rencana berhemat lo. Gue punya rencana sendiri,’ batin Theo. Theo enggan mengatakan isi hatinya, karena tahu Elang pasti tak akan setuju. Mengingat Elang selalu meremehkan apa pun buah pikiran Theo, yang selalu ia anggap bodoh. Karena posisinya di kursi kemudi, Elang tak bisa menginjak rem dengan baik, mobil melenceng pada jalur yang salah. Di saat bersamaan, sebuah truk mengklakson dari arah berlawanan. Mobil ini dan truk itu sama-sama berada dalam kecepatan penuh. "Lang, awas!" pekik Theo. Berbeda dengan adiknya yang panik, Elang nampak tenang. Nyaris sekali, tapi ia berhasil menginjak rem di saat yang tepat, mengalihkan mobil kembali pada jalur yang seharusnya. "Gila lo, ya!" Theo memaki. "Lo aja yang parnoan!" Elang meremehkan. "Minggir, biar gue yang nyetir!" Theo berhasil mengambil alih kemudi. Tak tahu Elang tengah tersenyum penuh kemenangan. "Jadi kita udah sepakat pakai satu mobil?" Elang mulai melanjutkan kepastian kesepakatan mereka. "Gue nggak bilang gitu!" elak Theo. “Oke, sepakat!” Theo menatap Elang sengit. Ia tak akan pernah sepakat. *** "Tapi, Pak, sisa uang tabungan kami nggak cukup buat bayar segini banyak. Kami butuh waktu lebih lama." "A-aduh, maaf, Mas. Saya cuma petugas lapangan. Mas langsung saja ke PLN untuk berdiskusi. Meskipun sejauh ini belum pernah ada kasus pelanggan nunggak yang mendapat keringanan, sih, Mas." Si Petugas menggaruk tengkuknya yang tak gatal. "Lo lihat, kan?” Elang beralih pada Theo, bersiap menyemprotnya. “Tagihan listrik segini banyak. Masih ngotot pengen bawa mobil sendiri? Kalau bensin habis lo mau isi pakai apa? Kobokan?” Theo tak terima. "Nyalahin gue, sementara lo sendiri boros. Dikit-dikit nyuci piring, dikit-dikit nge-charge laptop lo yang ada lima itu." "Gue nge-charge laptop karena butuh buat ngerjain tugas, gue juga jual beli bitcoin buat hasilin duit. Buat siapa nanti duitnya kalau bukan buat kita bertahan hidup? Harusnya lo berterima kasih!" "Gue bawa mobil juga buat nyari kerjaan, tapi tertunda terus karena lo selalu maksa nebeng gue. Gue juga ada itikad baik buat nyari duit. Tapi lo gangguin terus!" "Tidak apa-apa, Mas. Sudah tugas saya." Petugas itu tak tahu siapa orang yang baru datang ini. Namun di matanya, orang ini adalah malaikat yang memberinya kesempatan untuk berpamitan dan akhirnya bisa pergi. "Udah hampir jam tujuh, kalian nggak sekolah?" tanya Yas pada kedua adiknya. Ia sebenarnya terharu melihat kedua adiknya tumbuh dengan baik. Bahkan Theo sudah sama tinggi dengan dirinya.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD