Bab 1 : Kehidupan Nabila

1466 Words
*Membaca Al-Qur'an lebih utama* Nabila Ananda , seorang gadis mungil yang tumbuh besar tanpa seorang ibu, sang ibu telah pergi meninggalkan nya sesaat setelah melahirkan ia kedunia, dan kini ia hidup bersama Abinya yang merupakan seorang yang gila kerja, dan sangat dingin terhadap Nabila, kesehariannya hanya diisi dengan kuliah, dan bekerja paruh waktu di sebuah cafe, ia terpaksa kerja paruh waktu untuk memenuhi kebutuhannya, membayar uang kuliah nya dan kebutuhan lain. Hidupnya sangat miris, ia mempunyai Abi tapi serasa hidup sebatang kara, Abi yang ia harapkan mampu menggantikan peran sang ibu, nyatanya tega menjadi belati disetiap waktu yang ia lalui, Abi yang dingin, Abi yang kasar dan sering membentaknya, Abi yang sejak ia bayi tidak pernah sekalipun menyentuhnya, rasanya sangat sesak, dan perih. Kepada siapa ia bercerita? Kepada sahabatnya Niswah pun rasanya tidak etis? Niswah juga tengah merasakan kesusahan meski jika dibandingkan dengannya, maka ia lebih susah. Astagfirullah Nabila, tidak baik membandingkan takdir sesama manusia. Nabila yang semula merenung disebuah cafe tempatnya bekerja pun segera sadar, ia langsung menghampiri pengunjung yang baru tiba. "Permisi, mau pesan apa pak?" Pengunjung tersebut tampak sediki mengerutkan dahinya tanda tidak suka dengan ucapan Nabila. "Apa saya setua itu? Sampai kamu panggil bapak?" Nabila langsung gelagapan mendengar nada tak suka itu, gawat, jangan sampai pengunjung ini komplain. "Ma-maaf om, mau pesan apa?" Tanya Nabila ulang, om tidak terlalu tua kan untuk lelaki dihadapannya ini? Dengan perawakan yang besar dan tegap dengan d**a bidangnya membuat ia yakin tidak mungkin laki-laki di hadapannya ini berumur 20 tahunan, paling tidak berumur 30an mungkin. "Hei, sejak kapan saya menikah dengan tante kamu hah?" Cukup sudah, Nabila sudah tidak perlu lagi yang namanya sopan santun, gadis berhijab ini sudah berada di atas sabar nya orang sabar yang di sabar-sabar kan ,eh ! Brak!! "MAU MAS APA SIH HAH? PANGGIL BAPAK SALAH, PANGGIL OM SALAH, TERUS SAYA MAU PANGGIL APA?" ucap Nabila keras, membuat beberapa pengunjung lainnya terkejut dan ia menjadi pusat perhatian. Berbeda dengan laki-laki di hadapannya, yang memandang Nabila dengan geli, perempuan ini terlihat sangat lucu saat marah dengan matanya yang bulat melotot dan juga pipi chubby, tak lupa pula nafas yang memburu emosi, rasanya ia Ingin tertawa ngakak. "Nah, gitu dong emosi, saya suka lihat kamu marah, ngomong-ngomong, saya suka panggilan Mas, serasa di panggil istri," ucapan laki-laki dihadapannya justru membuat ia elus d**a. Sangat menyebalkan! "Ya udah, kalo Memang tidak mau pesan, permisi om." Seketika mata lelaki itu melotot marah, apa-apaan gadis pelayan itu, sudah bagus di panggil mas, malah ia ubah lagi menjadi om, astaga, apa ia setua itu. Akh setelah ini ia harus melakukan perawatan agar wajahnya kembali bersinar seperti ABG (Anak belum gede). "Woy, mbak pelayan, main nyelonong aja, sini saya mau pesan! " Nabila yang mendengar itu hanya mendengus kasar dan mencoba tetap sabar, bagaimanapun ia masih butuh pekerjaan ini. "Baik mas, mau pesan apa?" "Nah gitu, panggil mas, kan saya suka dengar nya, Btw mbak, nama saya Rian Atmaja, panggil aja Mas Rian atau sayang juga boleh," ucapnya genit. Sedangkan Nabila hanya bergidik ngeri, apa laki-laki di hadapannya punya kepribadian ganda, tadi marah-marah sekarang bertingkah sok manis begini, duh ya Allah, mimpi apa tadi malam ia harus bertemu dengan manusia spesies menyebalkan seperti ini. "Jadi, mas mau pesan apa?" Ucap Nabila dengan penuh penekanan dalam kalimatnya serta sarat akan kekesalan. Rian hanya tertawa ringan, duh betapa sederhananya kebahagiaan seorang Rian, yaitu menganggu waiters emosian dihadapannya ini, apalagi wajahnya yang memerah, unch! Sangat menggemaskan. Nabila melihat Rian yang tengah mengetukkan jari telunjuknya di dagu seolah sedang berfikir keras. "Saya pesan es kosong saja, biar lebih sehat, dan hemat." Nabila sangat dongkol sekarang, beberapa menit berfikir hanya untuk membeli es kosong, yang benar saja laki-laki gila ini, sungguh menyebalkan. Dengan langkah yang di hentakkan, Nabila berlalu dengan cepat dari hadapan Rian, sebelum keinginan untuk mencakar dan menjambak laki-laki itu semakin meningkat. Rio yang melihat rekan kerjanya seperti sedang kesetanan pun heran, ada apa dengan gadis mungil itu, tidak biasanya ia terlihat sangat marah, biasanya ia adalah gadis yang cukup tenang dan sabar, bahkan beberapa kali ada pengunjung yang komplain ia tak semarah ini. "Nab, lu kenapa?" Nabila langsung melihat Rio dengan tatapan laser yang mematikan. Membuat Rio langsung meneguk ludah kasar, percayalah marahnya orang sabar sangat mengerikan di bandingkan dengan jenis manusia lainnya. "Sekali lagi lu Panggi gua Nab Nab, habis rambut kribo lu yah Yo!" Ancam Nabila dengan nada serius. Rio yang mendengar ancaman itu menyentuh rambut kribonya dengan sayang, tidak terbayangkan jika ia menjadi botak ditangan Nabila, hell! Seperti apa dirinya nanti. "So-sorry Bil, khilaf akang." "Cih, akang gendang maksud lu?" "Ya kagak lah bil, entar jadi maju, maju, maju, mundur mundur." "Iya maju kek jidat lu kan?" Nabila tertawa pelan, sedikit reda amarah dan kekesalannya karena lawakan receh Rio. "Sekate-kate loh yah bil, jidat gua seksi gini juga." Nabila langsung tertawa pelan, segera ia mengantarkan es kosong yang di pesan oleh laki-laki gila itu, sampai ke meja itu sudah ada beberapa orang, dan salah satu diantaranya ia kenali, yaitu salah satu dosen Nabila di kampus serta calon suami sahabatnya Niswah. Akh! Jangan bilang Rian adalah Sabahat mas Hafidz! Rian yang melihat waiters Mungil yang tidak ia ketahui namanya itu datang pun langsung tersenyum, tanpa sadar dua sahabat nya yang baru tiba merasa heran dengan tingkah absurd dari Rian. "Nabila?" Rian dan Nabila kompak melihat ke arah Hafidz yang memanggilnya dengan pelan. "Eh, mas Hafidz, assalamualaikum," sapa nya ramah. Ia dan Hafidz cukup kenal karena sempat beberapa kali bertemu ketika ia menemani Niswah untuk bertemu dengan laki-laki di hadapannya. "Lah, kalian saling kenal?" Tatapan heran itu membuyarkan lamunan Nabila, ia menatap Rian dengan tatapan malas. Hafidz yang melihat itu hanya tersenyum, ia mengenal sahabat karib calon istrinya ini, akh istri, tidak terasa ia akan segera menikah. Hafidz tau tatapan Nabila yang jengkel terhadap Rian, sudah bukan hal asing lagi ia melihat banyak orang yang kesal terhadap tingkah sahabatnya, bahkan ia saja terkadang punya keinginan membuang Rian ke pulau tak berpenghuni. "Waalaikumsalam, kamu kerja disini?" "Iya mas, lumayan cari tambahan." Hafidz mengangguk pelan, sedangkan Rian memberengut tidak suka, lihatlah gadis kecil ini, dengannya tadi harus di paksa terlebih dahulu baru memanggil Mas, sedangkan Hafidz? Astaga ia merasa terkhianati sekarang. Nabila pamit undur diri, tidak enak juga rasanya lama-lama ngobrol dengan calon suami orang. Dan cukup sekali ia bertemu dengan makhluk langka bernama Rian, semoga tidak ada lagi pertemuan yang menyebabkan ia harus menambah stok sabar ekstra banyak. ---------- Pukul 22:15 WIB, Nabila baru saja tiba di kediaman nya yang berada di perumahan elit, jangan heran, karena faktanya ia orang yang cukup berada, Abi nya adalah seorang pengusaha batu bara, tapi semua kemewahan yang ia punya sama sekali tidak bisa ia nikmati. Begitu masuk kedalam rumah, keadaan rumah masih gelap, tidak ada kehidupan didalamnya, hingga tiba-tiba suara seseorang mengagetkannya. "Dari mana saja kamu?" Ucapan dingin penuh dengan kemarahan terucap dari laki-laki yang berdiri tepat di tangga. "Assalamualaikum, Abi sudah pulang?" Tanya nya pelan, pasalnya beberapa Minggu yang lalu, Abinya sedang berada di Kalimantan untuk meninjau proyeknya. Abi Nabila melangkah dengan tegas menghampiri putrinya, akh! Bukan putri, tapi seorang gadis yang ia anggap menjadi penyebab kematian sang istri, andai saja anak ini tidak lahir, ia tidak harus kehilangan wanitan yang ia cintai sekarang. "Gak usah basa basi, dari mana kamu baru pulang? Ternyata begini tingkah kamu selagi saya tidak di rumah?" Nabila hanya menggeleng pelan, mulutnya terkunci rapat. "JAWAB! KAMU TIDAK PUNYA MULUT HAH?" Bentakan itu membuat degup jantung nya menggila, sungguh ia sangat takut, berulang kali Abinya membentak, berulang kali pula ia masih merasa takut, sangat takut! Rasanya lutut Nabila lemas dan tak bertenaga, raut wajah nya langsung pucat. Hingga tamparan keras menghantam pipi kirinya, ia baru tersadar, bukan karna rasa sakit, tapi karna rasa kecewa terhadap dirinya sendiri, sampai membuat Abinya marah kembali, seharusnya tadi ia tidak usah membantu temannya lembur, jadi ia tidak pulang semalam ini, tapi ia butuh uang untuk membayar uang semesteran yang masih kurang dan gaji lembur lumayan. Plak! "DASAR TIDAK BERGUNA, PERCUMA ISTRI SAYA DULU MEMPERTAHANKAN KAMU, CUIH!" Nabila langsung terduduk menangis tersedu-sedu di dinginnya lantai, setelah Abinya pergi masuk ke dalam kamar pria itu. "Ummi, Nabila rindu, bawa Nabila hiks Ummi, hiks, Nabila udah gak bisa kuat hiks Ummi..." Tangisan yang menyiksa menjadi backsound di sunyi nya malam, sedangkan pria yang berada satu atap dengannya di ujung tangga sana hanya menatap miris sang adik yang sedang tergugu, ia kasihan, ia sayang dengan Nabila tapi rasa marah lebih dominan, seharusnya jika Nabila tidak ada maka ia tidak harus kehilangan kasih sayang Ummi di umur 4 tahun, harusnya ia masih bisa mendekap tubuh sang Ummi dengan sayang. "Tuhan, aku sayang dia, tapi amarahku belum bisa mengalahkan rasa sayangku satu pintaku tuhan, kuatkan ia, jadikan ia wanita yang tegar."
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD