Bab 234 : "Tuhan."

4749 Words
“Baiklah, sudah aku katakan bahwa kalian tidak sendirian,” ujar Raja Arphakshad memecah ketenangan. “Lihatlah...” ia menunjuk ke arah horizon. Semua bangsa Elite mengangguk pada instruksi, maka Ali Eufrat meniup pluit keras. Maka, jauh dari kejauhan di horizon tempat semua orang tadi menghilang, munculah sekumpulan orang dengan berbagai keadaan. Semua Tabliq Suci tercengang. Mereka melihat kesana, kearah sekumpulan orang yang semakin mendekat. Diantara mereka ada yang mengenakan jubah berkerudung, mengenakan kerudung dan tunik, mengenakan setelan jas rapi, dan mengenakan gaun besar serta topi berpinggir lebar. Tabliq Suci merapatkan diri mereka satu sama lain dan berpikir apa yang menjadikan orang-orang itu kemari. Mereka terlihat datang dari tiga kerajaan lain namun kondisi mereka begitu mengenaskan. Diantara mereka ada yang harus memakai kursi roda, ada yang berwajah buruk, ada yang berwajah hancur, ada yang hangus terbakar, dan ada pula yang terlihat seperti anak i***t. Salem Eliezer berjalan menghadap Ali Eufrat, mempertanyakan semua orang-orang yang datang. Ali Eufrat hanya tertawa. Ia meniup pluit. Keras dan mendecit sekali. Lalu terdengar suara gong ditabuh, genderang dipukul, dan gesekan benda besar mendesis seperti lintah. Gumamam mengudara. Para prajurit Old Sammur, para Eliet, para Gamaliel, juga Ali Eufrat sendiri menaruh tangannya menyilang di d**a. Dengan penuh kekhidmatan, mereka mulai menyanyikan lagu kebangsaan bangsa mereka. Jauh ribuan tahun di timur tanah Aristarkhus, adalah kami, bangsa yang tak pernah tertidur. Membangun mimpi lembar demi lembar. Menciptakan peradaban dari masa ke masa. Oh tanah airku, Old Sammur. Mengapung dalam cahaya. Terlukis dalam gembira. Terbasuh dalam ilmu pengetahuan. Oh bangsaku, Old Sammur. Kami adalah anggur yang melenakkan. Kami adalah gedung yang Maha Besar. Kami adalah Tuhan Baru bagi pikiran kami.[1] Sementara lagu dikumandangkan, tembok filemon bergeser secara elektromagnetik menutupi seluruh wilayah Populo Dei. Raja Arphakshad telah menutup dirinya dan seketika layar transparan itu lenyap. Seakan disana tidak ada apa-apa dan tidak pernah terjadi perbincangan apa-apa. Semua Tabliq Suci bingung dan ketakutan. Mereka menangis. Beberapa yang mencoba melawan berlari menuju tembok dan tersengat listrik hingga tewas. Sementara para Elite tetap mengumandangkan Oh Old Sammur dengan khusyuk seakan tangisan dan teriakan Tabliq Suci hanyalah instrumen lain dari hiasan lagu. Tak ada satu pun Tabliq Suci yang sanggup menyentuh mereka sebab pakaian mereka sengaja dialiri listrik yang memungkinkan siapapun, kecuali dari kaum Elite sendiri, yang berani menyentuh mereka akan mati tersetrum. Demikianlah mereka bertempur tanpa kekuatan yang seimbang. Orang-orang yang tadi datang dari antah berantah dan masuk dengan begitu saja ke kerajaan Populo Dei, kini berkerumun mendekati Tabliq Suci. Mereka berdiri berdampingan, sebuah tindakan yang membuat Tabliq Suci semakin mengigil ketakutan. Izebel berlindung dibalik pelukan Salem Eliezer dan tersedu-sedan di dalamnya. Seorang lelaki berkursi roda yang datang bersama rombongan tadi, dengan terbata-bata mendekat dan berdiam disamping Izebel. “Jangan sedih, gadis manis,” katanya, dengan aksen Old Sammur yang amat kental. “Tidak akan pernah ada penderitaan yang abadi.” Izebel melihatnya sejenak dalam tatapan waspada. “Siapa kau?” tanyanya. “Gideon. Hezron Gideon,” kata lelaki itu. Izebel terdiam. *** Harum pernis merah dan buah anggur. Di dalam ruangan melengkung berwarna cokelat bata, anak-anak dari Kapelarium Zerubabel duduk dibelakang meja panjang dan melaksanakan ritual makan malam; nasi, sup ayam, teh dan s**u. Atalya, seorang ketua pengasih perempuan, berjalan mondar-mandir memastikan seratusan lebih anak-anak di ruangan raksasa ini mendapatkan jatah yang cukup. Lilin-lilin mahkota bertengger di dinding setiap dua meter, memberikan kesan kuno dan sangat sakral. Di ujung ruangan, naik satu anak tangga, terdapat panggung berkarpet merah, tempat para Salem dan pengasih makan bersama. Sinar mentari menelisik melalui celah-celah jendela berulir, menghasilkan cahaya panjang dan lurus mendarat di lantai. Sesekali seorang pengasih menarik gorden dan membukanya kembali, hanya untuk mengatur pencahayaan kalau-kalau anak-anak merasa silau dengan cahaya yang ada. “Mihlail!” seru Nayef, laki-laki bertubuh gempal yang tengah mengunyah paha ayam bulat-bulat. Ia melambaikan tangannya kepada Mihlail yang baru datang supaya duduk di dekat dirinya. Haran dan Nahor ikut berseru. “Akhirnya kita tujuh belas tahun juga!” pekik Nayef, kocak. “Bagaimana rasanya pesta semalam, kawan? Aku yakin kau tidak bisa melupakannya.” Mihlail tertawa. Ia meletakkan nampan tempat makannya di atas meja dan mulai makan dengan tenang. Ia berbincang-bincang dengan Haran, Nahor dan Nayef tentang pelajaran-pelajaran hari ini yang akan mulai mereka pelajari setelah umur tujuh belas tahun. Selingan tawa dan kelakar renyah mengiringi acara makan, menjadikan suasana riuh redam oleh suara manusia. “Permisi, apa disini sudah ditempati?” seru seorang perempuan, tiba-tiba datang dan menyela candaan Mihlail dengan kawan-kawannya. Gadis itu bertubuh mungil, berambut merah keriting panjang dan mekar, serta berkulit pucat. Bintik-bintik hitam di sekitar wajahnya menandakan bahwa gadis itu adalah seorang campuran antara bangsa Tabliq Suci dan De Shoshi. “Namaku Katyusha, aku murid baru pindahan dari Kapelarium Svarovich,” gadis itu memperkenalkan diri. Dilihat dari postur tubuhnya, ia tampak berusia tak kurang dari tiga belas tahun. Sekali lagi, Katyusha tersenyum lebar, memperlihatkan dua gigi kelincinya yang kinclong, mempertegas bahwa ia memang masih kecil dan imut. Haran, Nahor dan Nayef terkekeh tak bisa menyembunyikan betapa lucunya murid baru ini. “Ya, silahkan saja duduk,” Mihlail menjawab, santai. “Selamat datang di Kapelarium Zerubabel!” “Aku senang bisa satu sekolah sama Kaka Mihlail,” Katyusha blak-blakan. “Kamu tahu, kemarin kakak-kakakku juga datang ke acara pesta tujuh belas tahun anak-anak Kapelarium Zerubabel, kamu pasti masih ingat, bukan? Namanya Kaka Naomi dan Kaka Labebba. Mereka sempat bertemu sama kamu.” “Pita kamu lucu banget!” serobot Nayef, mengomentari pita yang melingkari rambut Katyusha. Haran dan Nahor tertawa. Tidak ada gadis yang memakai pita warna-warni dengan gaya seheboh itu. Katyusha memang manis dan lucu. Luar biasa! Mihlail juga diam-diam menahan tawa. “Svalome. Terima kasih,” balas Katyusha, seraya menyampirkan kerudung ke atas rambutnya dengan asal. Mereka makan dengan tenang selama beberapa saat, sampai tiba-tiba Mikhael datang. “Itu harusnya tempat dudukku!” serunya, kekesalan terpancar dari raut wajahnya. Katyusha mendongak, melihat siapa yang protes. “Kau, bocah kecil! Duduklah di tempatmu!” hardik Mikhael, menunjuk pojok ruangan tempat anak-anak berusia lima sampai tujuh tahun makan. “Aku bukan anak kecil. Umurku tiga belas tahun dan aku boleh duduk dimanapun aku suka!” “Tapi ini tempat dudukku! Pergilah kau!” Mikhael menyingkirkan nampan tempat makan Katyusha ke pinggir, dan menggantinya dengan nampan makanan miliknya. Katyusha bangkit tak terima. “Jangan otoriter! Kapelarium ini bukan punyamu!” “Dasar kau...” “Sudah-sudah, jangan bertengkar,” Mihlail melerai. Haran, Nahor dan Nayef ikut melerai. “Dia adalah murid baru, dia belum mengerti. Sudah, kau mengalah saja, Mikhael.” “Apa? Mengalah? Jangan jadi pahlawan kesiangan deh!” Mikhael menyunggingkan senyum sinis kepada kawan-kawannya. Ia menunjuk kedua gigi kelinci Katyusha, “Dasar kau marmut jelek! Pergi sana! Aku tak peduli kau murid baru atau murid yang sudah lumutan disini. Ini adalah kursiku. Ini adalah kedudukkan dan hakku. Kau cari saja kursi lain! Jangan merebut kursi orang!” Dengan berkata demikian, Mikhael mendorong Katyusha ke belakang dan duduk di kursinya. Katyusha memandangi tingkah Mikhael dengan kesal. Gadis berambut keriting itu lalu menumpahkan semangkuk sup miliknya ke atas kepala Mikhael. Oohhhhhh! Anak-anak lain berseru menyaksikan adegan potongan-potongan ayam dan daun seledri mengguyur rambut Mikhael. “Makan tuh! Dasar otoriter!” seru Katyusha. Sontak Mikhael naik pitam. Wajahnya merah padam. Dalam satu tarikan napas, ia bangkit dan menjenggut rambut Katyusha sekaligus mendorong badan gadis itu ke belakang. Katyusha meronta-ronta kesakitan. “Hei, Mikhael! Hentikan!” Mihlail ikut bangkit dan melerai perkelahian tersebut. “Kau tidak pantas berbuat kasar kepada seorang perempuan, Mikhael!” “Apa urusanmu, Mihlail? Kau selalu ikut campur urusan orang!” Mikhael mendorong Mihlail hingga jatuh tersungkur. Haran, Nahor dan Nayef ingin ikut melerai tapi Mikhael mengancam untuk tidak ikut-ikutan. Katyusha lari terbirit-b***t keluar ruang makan dan Mikhael tertawa terbahak-bahak dengan kemenangannya. “Bangunlah, Mihlail! Aku belum puas memukulmu!” Seperti jagoan, Mikhael menarik Mihlail dan memukul wajahnya. Buk! Tepat kena pelipis! Buk! Tepat kena rahang! Buk! Buk! Buk! Anak-anak di ruangan mulai bersorak saling menjagokan satu sama lain. “Ayo! Ayo! Ayo! Ayo! Ayo!” “Mikhael, hentikan!” teriak Haran, Nahor dan Nayef. Tapi suara mereka teredam oleh suara anak-anak lain yang bising meneriakkan Mikhael dan Mihlail. Akhirnya... “SSSSTTTTTTOOOOOPPPPPP!!!!!!!!!!” Teriakan dari Salem Yosafat laksana peluit panjang. Seketika, semua terdiam dan duduk di posisinya masing-masing. Hening. *** Di ruangan para Salem, di ruangan cokelat penuh pernak-pernik kuno, Mihlail dan Mikhael duduk tertunduk di hadapan Salem Henokh. Jarak diantara mereka dengan Salem Henokh hanya dipisahkan oleh meja kayu tempat Salem Henokh meletakkan buku catatan “Kenakalan-kenakalan di Kapelarium Zerubabel”. Tak lama berselang, masuk Katyusha dan dengan wajah tertunduk, ia ikut duduk di samping Mihlail dan Mikhael. “Apa yang terjadi, Mikhael?” tanya Salem Henokh. Mikhael menceritakan apa yang terjadi versinya. Ia menyalahkan Katyusha. Katyusha juga menceritakan apa yang terjadi versinya. Ia menyalahkan Mikhael. Mihlail bercerita... “Aku hanya berusaha melerai keduanya, Salem.” Salem Henokh menarik napas. Salem Ere dan Salem Yosafat yang ada di pinggir ruangan juga ikut menarik napas. Akhirnya dicapailah kesepakatan antara Mikhael dan Katyusha. Keduanya sepakat berdamai. Mikhael tidak boleh bertindak sewenang-wenang lagi dan Katyusha harus melihat situasi dan kondisi saat ingin berbuat sesuatu. Akan tetapi, Mikhael dan Mihlail adalah permasalahan lain. “Ini sudah yang kesekian kalinya kalian bertengkar,” kata Salem Henokh. Ia membuka-buka lagi catatan lama tentang pertengkaran mereka. “Dia selalu ikut campu urusanku,” sergah Mikhael. “Dia selalu mencari gara-gara, Salem.” “Tidak, Salem! Hanya...” “Baiklah-baiklah, tunggu sebentar...” Para Salem berdiskusi sebentar. Beberapa menit kemudian, hukuman diputuskan! Mikhael, karena ulahnya memukul Mihlail, maka ia akan menjalani hukuman memotong rumput dan membersihkan taman di belakang Kapelarium selama seminggu. Sementara itu, dalam upaya mendamaikan Mikhael dan Mihlail untuk selamanya, maka Mihlail harus tinggal bersama Mikhael selama seminggu. Jika dalam seminggu mereka masih bertengkar juga, maka masa hukuman bisa ditambah. ****** “Tidak!” Mikhael protes. “Itu bukan hukuman! Itu kutukan!” Tapi para Salem telah menyetop celotehnya yang menggelora dengan segenggam tangan. Mikhael bersungut-sungut. Ia lirik Mihlail yang dengan senyum mematuhi semua perintah Para Salem. “Jangan sok bersikap manis, Mihlail!” gerutu Mikhael. “Kau itu iblis! Kau pikir aku tidak tahu dibalik sikap baikmu itu, kau ingin menghancurkan bangsa Tabliq Suci huh? Lewat catatan di buku ‘Ode To Fear’ yang kau baca di malam peresmian tujuh belas tahun anak-anak Kapelarium Zerubabel, kau pikir aku bodoh untuk tidak menyadarinya?” “Mikhael! Apa-apaan ini?!” Salem Henokh naik pitam. “Dia membaca di depan umum sebuah buku terlarang! Dan tidak ada seorang pun yang menegurnya! Tidak seorang pun menghukumnya! Aku hanya memukul si iblis Mihlail agar dia sadar apa yang dia lakukan! Dan tak seorang pun menghargaiku! Apa-apaan ini!” “SUDAH, CUKUP, HENTIKAN!” teriak Salem Henokh, ia bangkit dari kursinya hendak menampar lelaki berambut cokelat Mikhael itu, tetapi diurungkannya dan tangannya terkepal di udara. Keadaan menjadi tegang. Katyusha ketakutan, para Salem menenangkan. Mikhael dan Salem Henokh saling bertatapan. “Keluar kalian semua,” kata Salem Henokh, suaranya dalam. Kemudian, semuanya keluar dalam diam dan rasa mencekam. *** Mikhael dan Mihlail disambut dengung nyanyian anak-anak lain yang berdesakan tak mau ketinggalan momen langka ketika dua laki-laki tampan yang baru membuat keributan itu harus berjalan bersama, satu langkah kaki kiri bersama, lalu satu langkah selanjutnya serempak. Katyusha berjalan dibelakangnya dan sosoknya segera tenggelam oleh kerumunan anak-anak yang lebih tertarik melihat Mikhael dan Mihlail daripada dirinya. Atalya, sang pengasih perempuan muda berjalan di belakang mereka. Ia menyuruh Mikhael dan Mihlail bergandengan tangan. Terdapat kasak kusuk sebentar hingga akhirnya kedua tangan itu bertaut. Sontak anak-anak terkikik. Kemudian Atalya juga menyuruh mereka untuk saling tersenyum. Mikhael dan Mihlail tersenyum canggung. Sontak anak-anak semakin terkikik. Jarak dari ruang Para Salem ke asrama cukup jauh, harus melewati pintu bagian belakang Kapelarium lalu menyebrangi kebun bunga menuju gerbang asrama, dari gerbang mereka harus menapaki jejak sekitar puluhan meter dengan pepohonan bjork dan neem disisi kanan dan kiri. Barulah nanti mereka akan bertemu dengan bangunan berpintu sebesar monumen dengan jendela-jendela bujur sangkar yang terkotak-kotak dalam tiap-tiap satu meter. Ini adalah perjalanan yang menyiksa lantaran anak-anak lain terus membuntuti Mikhael dan Mihlail. Mikhael yang sedari awal memang tidak suka menjadi bertambah ketidaksukaannya. Ia tahu, secara insting, bahwa mereka hanya mengejek dirinya. Sudah terlalu banyak pujian diberikan kepada Mihlail: Oh anak cerdas! Brilian! Jenius! Ingatan yang bagus!. Mereka akan terus berkata seperti itu, pikir Mikhael. Dan ketika Mihlail mendapat hukuman, lihatlah siapa yang paling dibuat malu? Mikhael teringat ada sumur tua didalam rimbunan pohon tersebut yang airnya keruh ditumpuki daun-daun jatuh. Mengapa tidak pura-pura jatuh saja ke sumur? pikir Mikhael. Kacau. Maka selesailah semua. “Ho ho ho ada apa dengan kalian ini?” Nayef menghampiri, kegirangan berpendar dalam mata cokelat mudanya. Mikhael hanya mengisyaratkan bocah itu untuk diam atau sesuatu yang cukup buruk akan ia rencanakan untuk membuat hari Nayef menjadi lebih buruk daripada harinya. Tapi Nayef hanya cengingisan, bersama Haran dan Nahor, juga bersama yang lain yang tak bisa disebutkan satu-satu, mereka mengiringi Mikhael dan Mihlail seperti pengantin. “Chanda chamke cham cham chikhen chaukanna chor. Chitee chate chinee chatoree chinikhor!” senandung Nayef. Lagu lama. Lagu favoritnya setiap kali ada hal-hal lucu melintas dalam hidupnya. Yang lain mengikuti. “Khadaksingh ke khadakne se khadaktee hain khidkiya. Khidkiyo ke khadakne se khadakta hain khadaksingh.” Goyang ke kanan, goyang ke kiri. Tangan kiri melambai ke kanan. Tangan kanan melambai ke kiri. Pinggul berputar. Alat-alat musik bermain di kepala. “Pakke ped par paka papita, paka pedya paka papita. Pake ped ko pakde pinku, pinku pakde paka papita.” “Hush, hush,” Atalya mengusir anak-anak yang membuat gaduh. Ia mendorong tangannya ke arah mereka seperti mengusir anak-anak ayam. Wajahnya galak seperti ibu mertua. Namun anak-anak itu protes dengan alasan mereka juga akan tidur di asrama ini juga. “Hooo...” Mereka bersorak-sorak gembira. Yah, hajar lagi goyangan menggila, bergoyang-goyang lagi dan seluruh malam ribut oleh desingan nyanyian mereka. “Hooo...hooo...hooo....” Atalya menepuk jidatnya. ***** Tepat jam sepuluh malam di hari Jupiter, Mikhael dan Mihlail menyentuh keset kamar. Pemandangan kotak abu-abu dengan beberapa tempelan materi pelajaran berjejer di dinding. Buku-buku berserakan di meja, tak beraturan di rak, dan ada satu buku yang terbuka di lantai dekat bangku belajar. Satu lemari besar dan ranjang kecil yang rasanya akan sangat sempit jika harus ditiduri dua orang adalah hal yang paling signifkan di sekotak ruangan ini. Lampu bohlam menggantung lemah di langit-langit, ketika Mikhael menyalakan sakral, bahkan cahayanya lebih lemah lagi, seperti makhluk bunuh diri yang berayun-ayun di tali. “Jangan sentuh ini jangan sentuh itu jangan pegang ini jangan pegang itu,” demikian Mikhael mulai menegakkan peraturan. “Disini aku adalah rajanya,” lanjutnya bangga. Tapi Mihlail rupanya tidak terlalu mendengarkan karena ia langsung sibuk menelusuri tulisan-tulisan di dinding, yang ditulis dengan sangat niat: Target semester depan, prestasi yang harus diraih, hambatan-hambatan, strategi dalam menghadapi hambatan, mata pelajaran yang masih sulit dipahami, belajar lagi ayo belajar lagi!, belajar sampai otakmu setajam silet! Mihlail tercengang. Ia melihat tulisan sebesar karton bertuliskan “Tuhan ada. Populo Dei harga mati.” Dan ia tercengang lagi. Seekor tikus gemuk keluar dari lubang di dinding bagian bawah, dengan satu tancapan mata ia terbirit-b***t mengambil sepotong keju yang tergeletak di piring kotor dibawah kasur dan kembali ke lubang kediamannya. Mihlail berusaha menangkap, tapi lantai kayu yang ia injak tiba-tiba berkeletak dan ia lebih tercengang lagi. Populo Dei yang tidak pernah kaya. Beruntunglah penduduknya tidak terlalu banyak sehingga dengan dana sedikit, setiap Kapelarium tetap bisa membangun pondok yang nyaman, setidaknya satu orang murid yang belajar di Kapelarium dapat satu kamar. Meskipun kondisinya tidak terlalu meyakinkan, tapi bukankah urusan keindahan, tata letak, dan interior adalah urusan si empunya kamar? Demikian akhirnya orang-orang mulai berdamai dengan kayu-kayu rapuh, jendela yang tidak bisa dibuka kalau sudah ditutup dan tidak bisa ditutup kalau sudah dibuka, suara lantai kayu berkeletak,lumut yang menjamur di pinggir-pinggir, hewan-hewan pengerat yang hidup di lobang-lobang tersembunyi seperti gerilyawan perang, cermin kusam yang tak memantulkan cahaya apapun selain debu dan usang, gunungan debu-debu sebagai faktor utama kotornya segala perabotan, sarang laba-laba yang selalu setia menghias sudut-sudut ruangan, bahkan cacing-cacing yang bangkit dari tanah gembur dan merayap susah payah ke tembok-tembok untuk kemudian mati sia-sia. Satu-satunya perapian ada di ruang tengah lantai tiga, tak cukup untuk menghangatkan seluruh penghuninya. Namun hal itu masih lebih baik karena Populo Dei tidak pernah mengalami cuaca ekstrem seperti di De Shoshi. Meskipun tetap saja, dingin. ***** Mihlail menutup hidungnya. Bau asam menyeruak. Mikhael pun mencium semerbak ini dan buru-buru memakai sarung tangan. Seperti telah dituntun oleh insting karena telah melakukan hal ini berkali-kali, mungkin berpuluh-puluh kali, ia mengangkat seekor kucing Turki dari tempat duduknya di sebuah box besar di belakang pintu, terlihatlah lonjongan liat yang nampaknya baru saja keluar dari dubur si kucing. Dengan kakinya, Mikhael membuka jendela. Terdengar bunyi krek besi karatan dan langsung saja ia membuang kotoran itu. Entah apa yang terjadi nanti dengan si kotoran, apakah mendarat di tanah atau menimpa kepala orang, ia tak terlalu memusingkannya sekarang. Ia kembali dengan box yang telah kosong dan dengan santainya mencuci tangan di wastafel. “Kau tidak boleh memelihara kucing!” pekik Mihlail. Ia tengok sekali lagi si kucing Turki yang duduk tanpa rasa berdosa. Oh ia gemuk seperti babon kekenyangan. Ia pasti kucing malas. “Kau pun suka melanggar peraturan,” balas Mikhael, acuh. “Ingat, ini kamarku dan kau berada dalam keadaan terhukum. Jangan harap aku ingin berteman denganmu.” Mikhael mengambil sapu dan menyapu lantai. Ia merapikan buku, mencuci piring-piring kotor dan mengembalikannya ke tempat semula. Si kucing meong-meong dan Mikhael memberikannya makan. “Romeo,” demikian Mikhael memanggil kucingnya. Lama waktu berlalu hanya senyap. Tapi Mikhael yang diliputi rasa kesal akhirnya tak tahan lagi. “Blackbot! Mengapa kau hanya termangu disitu?” Mihlail terkejut. Mikhael melempar buku. Ia mesti menggaruk sesuatu yang sudah sedari tadi bikin ia gatal-gatal. Mihlail balik melempar buku. Kata-kata meledak seperti soda di ujung botol. Berbusa-busa. Lantai banjir ludah. Blackbot! Blackbot! Blackbot! Pada titik-titik kritis, mereka membuat benteng pertahanan. *** “Apa kalian baik-baik saja?” Atalya mengetuk-ngetuk pintu. Sandiwara riang dimulai. Atalya kembali ke kamarnya dan dua begundal itu kembali lempar-lemparan. “Ini ranjangku! Jangan coba-coba kau tidur disini!” Mikhael mengancam. Mihlail tidur di lantai. Tak berapa lama, ia bangun dan pindah ke kasur. Mikhael segera menendangnya. Mihlail tak terima. Mereka bertengkar lagi. “Apa kalian baik-baik saja?” Atalya mengetuk-ngetuk pintu lagi. Sandiwara riang dimulai lagi. Atalya kembali ke kamarnya lagi dan dua begundal itu kembali lempar-lemparan lagi. *** Gerimis malas menyapa pada pukul tujuh pagi. Di Kapelarium Zerubabel, gerimis menjadikan acara lari pagi ditiadakan, maka para penghuni langsung digiring untuk sarapan. Mikhael dan Mihlail masih menjadi perbincangan. Ketika dua makhluk itu masuk ke ruangan makan, sontak semua orang, termasuk Para Salem, Para Pengasih, dan para murid senior dan junior, menoleh. Diantara mereka yang paling heboh tentu saja datang dari kalangan mereka sendiri: Nayef, Haran dan Nahor. Mereka duduk di pojok, menghindari tatapan mata dan seluruh perhatian. “Jangan duduk disebelahku,” Mikhael protes. Mihlail menghela napas. Dengan agak malas, ia duduk diseberang Mikhael. Kedua bocah itu makan tanpa berbicara dan tanpa memandang satu sama lain laksana mereka hidup di dua planet yang berbeda. Teman-temannya masih saja terkikik. Terkikik seperti malam kemarin, dan terkikik untuk malam tujuh hari yang akan datang. “Maafkan aku ya ka,” bisik Katyusha di samping Mihlail. Demi mengekpresikan rasa penyesalannya, ia menambahkan roti miliknya ke dalam nampan Mihlail. “Itu buat Kaka Mihlail,” kata Katyusha lagi. Mihlail hanya tersenyum canggung. Dikembalikannya roti itu ke nampan Katyusha, “Makanlah, nanti kamu sakit dek,” “Ahhh baiknya Kaka,” Katyusha tersipu malu. Pipinya bersemu merah. ***** Ada jeda tiga puluh menit setelah sarapan sebelum kelas pertama dimulai. Pelajaran pertama yang Mikhael dan Mihlail akan hadapi adalah tafsir Habel yang menjelimet. Tafsir Habel adalah semacam pelajaran menafsirkan teks kitab iman Habel dan memaknainya secara filosofis. Para murid juga diajak untuk mempraktekkan hasil dari makna Habel di kehidupan nyata. Inilah bagian yang paling sulit; praktek di dunia nyata. Tapi Mikhael, sebagaimana tulisan-tulisan yang telah dengan begitu niat ia tulis di dinding kamarnya, ia memilih untuk langsung masuk ke kelas. Ia membaca, membolak-balik Alkitab Habel, mencoba memahami dan menghapal rumusnya. Mihlail, karena harus terus bersama-sama dengan Mikhael, terpaksa mengikuti bocah tersebut. Kekakuan terjadi lagi. Mereka tidak berbicara sepanjang waktu dan sama-sama menahan ketidaknyamanan ini seperti orang menahan sakit perut. Diluar kelas, para senior sedang seru bermain bola dan anak-anak seusia Mikhael dan Mihlail sedang belajar alat musik di pinggirnya. Mereka memainkan berbagai macam alat musik, dari biola gemulai hingga rongsokan kaleng kerupuk yang dijadikan drum. Mihlail hanya melihat kepada kerumunan anak-anak tersebut dan tersenyum manis saat seseorang melambaikan tangan kepadanya. “Aku mengagumimu Mihlail!” kata seseorang diseberang. “Kau luar biasa! Dan si Mikhael itu...” ia memberi tanda jempol ke bawah. Semua anak tertawa penuh kemenangan. “Jangan pernah melihat kepada siapapun dan menyapa siapapun. Ingat, kau sedang bersamaku dan kau dihukum. Aku tidak mau ada seorang pun, bahkan diriku sendiri, menyadari bahwa kau sedang bersamaku,” Mikhael berkata congkak. “Dengar, Mikhael...” “Dengar, aku bahkan tidak mau mendengar suaramu dan tidak mau seorang pun tahu, meskipun itu kucing Turkiku sendiri, bahwa aku sedang berbicara denganmu. Bahkan jika aku harus berbohong kepada diriku sendiri, aku harus membayangkan bahwa kau tidak ada denganku. Tidak ada.” “Kau seperti orang gila, kau tahu?” Mihlail jengkel. Mikhael menutup bukunya kasar. Wajahnya galak. Ia berkoar-koar membela dirinya, bahwa mengatakan sesuatu tentang kegilaan dengan kenyataan bahwa dialah yang gila, Mihlaillah yang tidak waras! Ini adalah fitnah keji dari kejadian luar biasa. Mihlail tidak mau mendengarkan. Ia beranjak keluar, bersandar pada pintu kelas, dan mengamati anak-anak yang bermain di lapangan. Mikhael menghitung detik per detik waktu penuh penyiksaan ini. Dan tiba-tiba saja sesuatu di dalam perutnya bereaksi. Ia mengaduh. Terbirit-b***t ia menuju kamar mandi. Mihlail yang melihat itu langsung mengikuti. Mikhael membalikkan badan, mendorong Mihlail supaya pergi. “Kau baik-baik saja?” tanya Mihlail. “Kau meracuniku?!” Mikhael menuduh. “Hah?” *** Mikhael melewati kerumunan para senior bermain bola dan rombongan yang sedang bermain musik. Rasa malu menghunjam di kuku Mikhael ketika semua mengejeknya. Ia berlari sekencang ia dapat berlari. Mihlail mengejar. Mikhael sampai di depan kamar mandi dan melihat realitas paling buruk: antrian panjang. Ia semakin memegangi perutnya tidak keruan. Seorang senior botak di sebelahnya segera menyadari dan menyarankan teman-temannya untuk memberi jalan bagi Mikhael duluan. Tapi Mikhael terlalu gengsi. Apalagi ketika Mihlail tiba, lelaki itu buru-buru berbalik arah menuju asrama. Ia buka gerbang, ia susuri jalan setapak. Mihlail memanggil-manggil. Mikhael pura-pura tidak mendengar. Dan aduh... perutnya semakin tidak keruan. Ia bersandar di pohon neem. Peluh keringat berjatuhan dari keningnya. Terbungkuk-bungkuk ia berjalan sempoyongan hingga ia tidak sadar telah masuk ke dalam rimbunan neem yang dalam dan semakin dalam. Wueekk! Ia muntah, menyiram rerumputan dengan sup jagung dan cincangan roti kering yang berubah wujud menjadi begitu buruk karena sudah dicerna. Rasa pedas membakar tenggorokan. Wueekk! Wueekk! Wueekk! Segelas air hangat tersodor di depan hidungnya. Mikhael mengangkat kepalanya dan mendapati Mihlail dengan ekspresi tenang mengulurkan tangannya. Ia membantu Mikhael bangkit. Ia seret sebuah ember bekas yang sudah lama tidak terpakai yang tergeletak begitu saja di tengah-tengah rimbunan pohon. Ia dudukkan Mikhael diatasnya dan dengan satu isyarat tangan, ia membiarkan bocah itu untuk buang hajat. “Aku tidak akan melihatnya,” pungkas Mihlail, yakin. Ia berbalik meninggalkan Mikhael sendirian. Bocah itu, dengan segenap rasa tinggi hatinya, mencaci maki Mihlail dalam berbagai istilah. Tapi ia turunkan juga celananya dan ia tuntaskan niat terpendamnya. Satu menit. Dua menit. Lima menit. Ia mengelap lelah di dahinya. Ia minum juga air hangatnya. Dengan begitu, secara medis, ia merasa lebih baik. ***** “Kau makan terlalu terburu-buru tadi. Lambungmu jadi sakit,” Mihlail menjelaskan dengan gaya ala dokter. Ia buang ember berisi kotoran itu ke atas gundukan sampah. Dengan cekatan, ia berjalan ke sumur tua, menarik katrolnya dan mencuci tangan dengan air yang di dapat dari sumur tersebut. “Lupakan ini dan jangan pernah berkata pada siapapun, mengerti?” hardik Mikhael. Ia menepuk-nepuk kedua tanganya seperti orang membersihkan debu. “Aku adalah manusia yang tidak dapat lupa, Mikhael,” jawab Mihlail, santai sambil membuang tumpukan daun di atas ember sumur berisi air. Ia tersenyum. “Kau tentu tahu itu, bukan?” “Huh, jadi sekarang kau ingin menyombongkan dirimu itu huh?” Mikhael menampakkan raut enggan. “Jangan terlalu bangga, suatu saat kau akan tergilas dengan ingatanmu sendiri.” Mihlail mengangkat bahu. “Aku tidak bangga. Tapi aku tahu kau iri padaku. Semakin tinggi harga dirimu, semakin kau iri padaku. Aku tidak mengerti bagaimana hampir semua orang di Populo Dei mengenalku dan mengapa mereka bertindak seakan aku ini luar biasa, namun sejujurnya aku tidak merasa seistimewa itu. Jadi kau tidak perlu iri padaku karena aku sama sekali biasa-biasa saja.” ***** Ya, biasa-biasa saja! Saat kelas dimulai dan Salem Ere sebagai pengajar tafsir Habel mulai menanyakan tentang dasar-dasar heremeneutika dan filsafat bahasa. Mihlail dapat menjawab semua pertanyaan dengan benar. Ketika kelas berganti menjadi hitung-hitungan dan Salem Yosafat sebagai ahli matematika mulai menjelaskan tentang algoritma menurut kitab Habel. Banyak yang tidak mengerti. Tapi Mihlail dapat mengikuti kelas dengan santai, bahkan menjawab berbagai pertanyaan dengan tepat. Terakhir, ketika ritual rutin pembacaan kitab Habel bersama. Mihlail seakan-akan sudah hapal diluar kepala apa isi kitab Habel. Ia membaca tanpa buku. Mulutnya berkomat-kamit dan semua ucapannya benar, persis seperti yang ditulis di dalam Habel. Belum sampai disitu, ketika senja pada acara latihan paduan suara, Mihlail mampu menjadi konduktor handal dengan hanya membaca harmoni nada berdasarkan ingatannya. Dan ia bilang ia biasa-biasa saja? Mikhael tak habis pikir. “Kau tahu, kau merendah untuk meninggi.” Mikhael cemberut. Mihlail hanya menggelengkan kepala. Saat itu petang setelah latihan paduan suara dan sebelum makan malam, Mihlail menyempatkan diri untuk membantu Mikhael memenuhi hukumannya: membersihkan kebun bunga di belakang Kapelarium. Maka ia bergeraklah memotongi rumput-rumput liar, menyiram tanaman dan mengumpulkan dedaunan. Ia tersentak. Mengumpulkan dedaunan? Seraut wajah seorang gadis membayang di pikirannya. “Kenapa?” Mikhael bertanya. Mihlail menggelengkan kepala. Ia memandang jauh ke pegunungan Barboza di ujung barat. Halimun bergerak mengarungi sisi-sisi pegunungan. Segaris angin meniup puncaknya, membias dalam warna cahaya emas mentari, menyebar dingin dan kesejukan. Tiba-tiba saja ia berharap seseorang lewat di seberang jalan, melirik padanya dengan senyum manis dan membawanya pergi bersenang-senang ke bukit rahasia. ***** “Hei Mihlail,” seorang senior menyahut, sebut saja namanya Emraan. “Ambilkan aku setangkai mawar, tolong,” Ia memelas. Tanpa diduga, Mihlail malah memetik bunga aster. “Dia lebih menyukai aster,” kata Mihlail. “Minggu lalu ketika kau memberinya mawar dia bersin-bersin. Ini tidak seperti diharapkannya. Dia tidak ingin kau kecewa bahwa dia alergi pada mawar dan kau sendiri pun sebenarnya tak mengerti mengapa harus mawar yang kau berikan. Dari matamu, aku tahu kau juga melirik bunga aster ini.” Emraan terkejut. “Apa kau membuntutiku?” “Oh tidak, waktu itu saat jam pelajaran Salem Henokh, aku duduk di dekat jendela dan melihat kau dan dia saling bertemu di belakang gerbang itu,” Mihlail menunjuk gerbang barat Kapelarium dimana tempat gunung Barboza berada. “Kau berkata, “Apa kau menyukainya?” dan si wanita yang alergi terpaksa menahan napasnya dan berbohong, “Ya, Emraan, aku menyukainya. Kapan lagi kau bisa memberiku bunga secantik ini?” dan kau tersenyum sumringah, matamu...” “Cukup, cukup.” Emraan tak tahan dengan buka-bukaan spontan yang diujarkan Mihlail. Ia tertawa agak geli. “Terima kasih, Mihlail. Tapi jangan pernah ceritakan detil-detil itu lagi padaku ya atau aku akan malu.” “Baiklah,” “Tapi berarti ia menahan bersin selama denganku?” “Kau bilang jangan ceritakan detil-detil...” “Oke, baiklah, baiklah.” Emraan memberi isyarat stop dengan tangannya. Ia langsung pergi. Mikhael dan Mihlail terbahak-bahak. Untuk pertama kalinya sepanjang pertengkaran itu, mereka akhirnya benar-benar dapat berbicara. ***** “Bagaimana rasanya dapat mengingat segala hal? dapat melihat segala hal? dan dapat mendengar segala hal?” ujar Mikhael, memperhatikan Mihlail yang sedang membuang dedaunan ke tong sampah.“Apakah itu mengganggumu?” tanyanya lagi. Mihlail hanya mengangkat bahu. “Apakah kau pernah mengalami pengalaman buruk?” Lagi-lagi, Mihlail hanya mengangkat bahu. Hening sejenak. Beberapa menit berlalu. “Pastinya menyeramkan menjadi dirimu,” Mikhael meratap. “Bahkan orang normal saja bisa trauma terhadap hal-hal buruk yang menimpanya. Bagaimana denganmu yang selalu diikuti masa lalu? atau jika kau melihat sesuatu yang tidak ingin kau lihat? dan kau mendengar sesuatu yang tidak ingin kau dengar? atau hidungmu mencium suatu aroma yang menjijikan?” Mihlail tidak menjawab. Ia hanya menghela napas, memandang ke alam lepas, sambil tersenyum sedih. Ia tertunduk menyerok akar-akar rumput bercampur sampah-sampah sintetis. Mikhael tidak berkata apa-apa lagi. Pada suatu titik di langit, sayap-sayap camar berkelepak.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD