Satu

1970 Words
Di sebuah rumah sakit ternama di ibukota, seorang gadis sedang melakukan operasi kepada seorang pasien pria. Tangan lincah gadis itu yang seputih s**u dan semulus porselen sedang menggerakkan sebuah pisau bedah yang kecil nan tajam. Gerakannya pelan tapi pasti. Wajah gadis itu sangat cantik. Kecantikannya seperti tidak nyata, layaknya sebuah lukisan karya seorang seniman handal. Rambut indahnya yang panjang dan hitam legam digulung tinggi ke atas, tertutup dengan sebuah penutup kepala berwarna hijau. Sebuah masker hijau menyembunyikan bibir mungilnya yang merah semerah buah ceri, dan setengah bagian hidungnya yang mancung dan lancip. Kedua mata gadis itu tetap fokus pada bagian tubuh pasien yang sedang dibedahnya. Kedua mata itu memiliki manik hitam pekat dan bersinar seperti bintang di langit malam yang cerah. Setiap gerakan yang dilakukannya dalam diam menambah kadar kecantikannya. Anggun, lebih tepatnya. Setelah hampir dua jam, gadis itu berhasil menyelesaikan operasi yang dipimpinnya. "Jaringan ini harus dibawa ke laboratorium untuk diperiksa lebih lanjut." Kalimat pertama meluncur dari bibir mungilnya, memecah keheningan. Seorang asisten langsung meletakkan jaringan yang baru saja diambil dari tubuh sang pasien ke dalam sebuah toples bening berukuran kecil. "Saya berharap tumornya jinak," lanjut gadis itu seraya menatap pasien pria yang baru saja ditanganinya.  "Amin," sahut dua orang dokter lain yang ikut membantu jalannya operasi. "Baiklah, terimakasih untuk kerja sama kita hari ini. Saya harus mengisi laporan di luar." Gadis itu meninggalkan kamar operasi setelah memberikan beberapa instruksi kepada para asistennya. "Bagaimana keadaan suami saya, Dok?" tanya seorang wanita kepada gadis itu. “Thanks God," operasinya berjalan dengan baik. Kami berhasil mengeluarkan jaringan tumornya. Jaringan tersebut akan diperiksa lebih lanjut di laboratorium. Kita dapat mengetahui hasilnya dalam waktu seminggu, jawab gadis itu. "Apakah suami saya terkena kanker, Dok?" Wanita itu kembali bertanya dengan harap-harap cemas. Kedua tangannya saling bertaut di depan perutnya. "Kita sama-sama berdoa. Semoga hanya tumor jinak. Saya harap Anda tenang dan terus semangati suami Anda." Sang gadis sangat mengerti keadaan wanita itu. Dia berusaha untuk tidak menambah kecemasannya. "Maaf, saya tinggal dulu," pamit sang gadis. “Terimakasih, Dok." "Sama-sama. Itu sudah menjadi tugas saya." Gadis berusia 27 tahun itu melambaikan tangannya pelan dan meninggalkan keluarga pasien. Gadis itu melangkah masuk ke dalam kantornya dan menghempaskan tubuhnya di sofa empuk berwarna abu-abu. Hari ini dia harus maraton melakukan tiga operasi dengan pasien yang berbeda-beda. Sungguh melelahkan memang, tapi itu adalah pekerjaannya. Baru saja dia hendak menutup mata ketika terdengar suara pintu kantornya diketuk. Dengan langkah pelan dan malas dia membuka pintu. "Hai, Adhira Teratai Kusuma. Mau sampai jam berapa kamu di sini, hah?" tanya seorang gadis yang juga berseragam snelli. "Aku akan segera pulang, Dokter Ratna," jawab Teratai dengan senyum sumringah menambah kecantikannya. Kedua gadis itu duduk di sofa abu-abu yang baru saja menjadi tempat singgah tubuhnya Teratai. "Makan dulu, yuk?" ajak Ratna. "Aku udah pesan makanan tadi. Aku mau makan di rumah aja," tolak Tera.  "Hmm, di rumah apa apartemen?" selidik Ratna. "Ahh, kamu ini sudah seperti seorang ibu yang menginterogasi anak gadisnya," decak Teratai. Dia sudah berencana untuk pulang ke apartemen kekasihnya.  "Ohh, jadi kamu mengabaikan sahabatmu ini?" Ada nada kecewa dalam pertanyaan Ratna.  "Udah seminggu aku ngga pulang ke apartemen, Rat. Sudah rindu berat," goda Teratai sambil mengerlingkan sebelah matanya. "Dasar, dokter bucin," dengus Ratna pelan. "Makanya cari pacar dong, Rat. Biar kamu tahu gimana sakitnya menahan rindu." Kalimat yang baru saja dilayangkan Teratai sanggup membuat mata Ratna mendelik. Dia memang belum punya pacar, tapi dia mengerti bagaimana sakitnya menahan rindu. "Aku hanya ngga suka aja dengan kekasihmu itu, Tera. Sepertinya dia bukan kekasih terbaik untukmu," ucap Ratna pelan.  “Apa jangan-jangan kamu juga menyukainya, Rat?” Teratai terus menggoda Ratna yang sekarang sudah mencebikkan bibirnya tanda tak suka. “Firasatku dia bukan laki-laki baik, Tera. Sepertinya dia hanya memper‒” “Ahh, itu hanya firasatmu saja. Kamu tidak begitu mengenalnya. Dia memperlakukanku dengan baik dan penuh kasih sayang. Jadi kamu tak perlu khawatir, ok?" Teratai sengaja memotong perkataan Ratna. Dia tahu Ratna akan kembali mulai meracau mengenai sang kekasih yang sudah menjadi bagian hidupnya selama dua tahun ini. Pembicaraan keduanya pun terhenti ketika terdengar suara ketukan pintu. Dengan lincah Teratai membuka pintu.  "Ini pesanannya, Mbak." Seorang pengemudi ojek online menyerahkan sebuah paper bag kepada Teratai.  "Terimakasih, Mas." Teratai menerima paper bag tersebut dengan tangan kirinya dan tangan kanannya memberikan selembar uang biru kepada sang driver. "Mbak tadi sudah bayar lewat aplikasi," jawab sang driver. Ngga pa-pa, Mas. Ini tipsnya.” "Terimakasih banyak, Mba." Sang driver menerima lembaran uang biru tersebut dan bergegas meninggalkan Teratai. "Rat, maafin aku ya. Kali ini kita ngga bisa makan malam bareng. Lain kali aja, ya?" ucap Teratai yang sebenarnya tidak enak hati meninggalkan sahabatnya itu. "Ya udah. Lain kali deh kita makan barengnya," balas Ratna masih dengan mode kecewa.  Kedua gadis itu berjalan melewati lorong rumah sakit dalam diam. Mereka melangkah ke parkiran yang tersedia khusus untuk dokter. Mereka pun memasuki mobil masing-masing setelah saling mengucapkan selamat tinggal.  Setelah berkendara selama tiga puluh menit, Teratai akhirnya tiba di apartemennya. Sebenarnya ini bukan apartemen pribadinya. Apartemen ini ia beli berdua dengan sang kekasih dan sudah dua tahun ini mereka tinggal satu atap. Hal yang mungkin tabu buat orang lain. Namun, Teratai yang mencintai kebebasan tak pernah peduli dengan hal itu. Jari telunjuk Teratai dengan lincah menekan passcode yang merupakan tanggal anniversary-nya dengan sang kekasih. Pintu pun langsung terbuka.   Teratai membuka sepatunya dan segera menggantinya dengan sandal yang tersedia di rak. Alangkah kagetnya ia ketika melihat sepasang stiletto berwarna merah menyala tersusun rapi di rak paling atas. Entah siapa pemilik stiletto tersebut, tetapi yang pasti benda itu bukan miliknya. Teratai tak pernah suka memakai stiletto karena itu hanya akan menyiksanya.  Teratai meletakkan tas hitamnya beserta paper bag di atas sofa di ruang tamu. Rasa penasaran meliputi hatinya membawa langkahnya pelan menuju kamar tidur. Semakin dekat dengan kamar tidur, ia mendengar suara-suara aneh dari dalamnya. Ia tahu pasti apa yang sedang terjadi di sana. Seolah-olah ingin memastikan rasa penasarannya, Teratai menendang kasar pintu dengan cat berwarna putih itu. Benar saja apa yang dikhawatirkannya. Lelaki yang begitu dicintainya sedang bergelut di atas ranjang bersama seorang wanita yang tak dikenalnya. Kedua insan yang sedang memadu cinta sangat terkejut dengan kedatangan Teratai.   "Hei, apa-apaan ini?" Teratai terkesiap melihat dua insan yang sedang sibuk menutupi tubuh polos mereka dengan selimut yang sedari tadi teronggok di lantai. "Kurang ajar. Jadi begini kelakuanmu di belakangku?" hardik Teratai. Kedua mata indahnya melotot dan kedua tangannya terkepal siap untuk meninju. Dengan langkah lebar Teratai mendekati kasur yang selama ini menjadi saksi bisu percintaannya dengan sang kekasih, tapi sekarang ternodai. Didekatinya sang wanita yang masih bersembunyi di balik selimut favoritnya.   "Dasar kau wanita liar. Akan kuhancurkan wajahmu." Dengan geram Teratai mencakar wajah mulus wanita itu. Tak lupa ia juga menjambak rambut ikal selingkuhan kekasihnya itu. Sementara Teratai sibuk menghajar wanita yang sekarang sedang berteriak kesakitan, sang pria sibuk memakai pakaiannya yang tadinya berceceran di lantai.  "Berani-beraninya kau menggoda kekasihku. Tak akan kulepaskan kau!" cerca Teratai sambil terus menghajar wanita tersebut.  "Ma-maaf. Tolong lepaskan aku." Teratai masih terus menyerang sang wanita pengganggu. Bekas cakaran dapat terlihat di muka, di lengan, dan di sekujur tubuhnya. "Aku mohon, lepaskan aku. Pacarmu mengajakku untuk menemaninya di sini." Seakan-akan teringat sesuatu, Teratai melepaskan genggamannya di lengan sang wanita. Matanya membulat melihat kekasihnya yang masih sibuk mengancingkan kemejanya.  "Dasar kau pria laknattt!!" umpat Teratai. Ia menghampiri pria itu dan segera melayangkan tamparan di pipi kirinya. Suara tamparan yang terdengar membuktikan bahwa Teratai menggunakan tenaga kekuatan penuh. Pria tersebut hanya diam tak melawan, seolah-olah mengerti akan kesalahannya.  "Tak pernah kusangka kau akan melakukan tindakan serendah ini," decak Teratai kesal. Tak pernah terlintas dalam pikirannya bahwa dia akan dikhianati oleh satu-satunya pria yang pernah dicintainya.  "Maafkan aku, Sayang. Aku khilaf," kilah sang pria tersebut. Diraihnya tangan Teratai yang tadi sudah melayangkan tamparan di pipinya. Digenggamnya dengan erat. Matanya sendu seakan-akan memohon pengampunan dari Teratai.  "Maaf katamu? Sampai mati aku tak akan pernah memaafkanmu." Dengan sekali hentakan Teratai membebaskan tangannya dari genggaman pria itu.   "Maafkan aku, Tera. Please," mohonnya lagi.   "Sebutkan alasanmu. Mengapa kau tega melakukan itu padaku?" tanya Teratai tanpa memandang wajah sang pria. Dilangkahkan kakinya ke ruang tamu, tak tahan mencium aroma khas percintaan yang memenuhi kamarnya.  "Tera, dengarkan penjelasanku. Aku hanya merasa kesepian, Sayang. Satu minggu ini kamu selalu sibuk dengan jadwal operasi. Aku ... aku butuh itu, Tera. Kau tahu 'kan maksudku?" jelas sang pria yang tiba-tiba membuat Teratai menjadi lebih muak.  "Oh, jadi kau menyalahkan profesiku? Seminggu saja kau sudah mengeluh dan rela berbagi ranjang dengan perempuan itu?" gertak Teratai kasar. Kedua tangannya masih mengepal.  "Tera, kau boleh lakukan apa saja asal kamu memaafkan aku."  "Kau yakin?" Pertanyaan Teratai dibalas dengan anggukan lemah dari sang pria. Dalam hatinya hanya bisa berdoa agar Teratai tidak melakukan hal buruk padanya.  "Akan kupenuhi permintaanmu," ujar Teratai seraya tersenyum sebelah.  Bak buk bak buk  Teratai memukuli pria tersebut dan menjadikannya seperti samsak kesayangannya. Sang pria hanya diam menerima setiap pukulan dari Teratai.   "Dasar kau pria tak tahu diri. Begini caramu membalas cintaku?" Teratai terus memukuli pria yang kini mulai meringis. Darah segar mulai mengucur dari sudut bibirnya.   "Tolonglah, hentikan!!!" teriak wanita yang berlari dari kamar tidur menghampiri sang pria. "Tolong hentikan, kau bisa membunuhnya," mohon sang wanita seraya berdiri di depan sang pria seolah-olah hendak melindunginya.  "Minggirlah, Mila. Biarkan Teratai menghukumku," lirih sang pria.  "Tapi kalau begini kamu bisa mati, Sayang," ujar sang wanita yang bernama Mila. Mendengar cara Mila memanggil mesra sang pria membuat Teratai semakin mendidih. Tanpa aba-aba dia melayangkan tendangan ke bagian tubuh paling berharga dari sang pria. Sontak sang pria meringis kesakitan dan terjatuh di lantai. Mila hanya bisa menangis melihatnya. Tak disangkanya Teratai akan menghukum kekasihnya seperti itu.  "Tolong berhenti menghukumnya. Kalau dia mati aku akan melaporkanmu ke polisi," ancam Mila yang kini terduduk di samping kekasihnya.  "Kalian yang bersalah dan aku yang menanggung hukumannya? Itu maksudmu? Aku hanya menggunakan sepuluh persen kekuatanku. Jadi kau tenang saja, dia tidak akan mati. Tapi kupastikan juniornya tidak akan bisa bangun sebulan ini. Hahahahaha ...." Tawa sinis Teratai menggema mengisi ruang tamu yang tidak begitu luas.  "Aku mohon. Ampuni aku, Sayang," mohon sang pria yang terkapar tak berdaya di lantai.  "Jangan pernah panggil aku lagi dengan sebutan itu. Jangan pernah lagi sebut namaku. Sungguh menyesal aku mengenal pria sepertimu!!" teriak Teratai dengan posisi berkacak pinggang.  "Apa kamu tidak bisa memaafkanku? Kamu bilang tak ada Teratai kalau tak ada Banyu," lirih sang pria yang ternyata bernama Banyu.  "Di dunia ini tak hanya kau satu-satunya pria bernama Banyu." Banyu hanya bisa terdiam menyesali perbuatannya. Dia mulai berusaha untuk bangkit dan mendekati Teratai.  "Tapi aku mencintaimu, Tera," lirih Banyu. Tangannya mencoba meraih genggaman Teratai.  "Dan aku membencimu. Sangat.”  "Maafkan aku.”  "Sampai dunia ini runtuh aku tak akan pernah memaafkanmu. Simpan semua permintaan maafmu itu." Teratai menepis tangan Banyu yang mencoba menggenggamnya.  "Dan kau wanita rendahan, silakan kau nikmati pria bekasku ini. Ternyata kau tak lebih dari tong sampah, bisanya menampung bekas pakai orang lain." Teratai mengambil paper bag yang ada di atas meja dan melemparkannya kepada Banyu dan Mila. Nasi goreng sea food yang sudah dipesan Teratai berhamburan mengotori wajah kedua orang yang saat ini menjadi sasaran kebenciannya.  Teratai melangkah keluar apartemen sambil menjinjing tas hitamnya. Rasa kecewa dan marah memenuhi seluruh hati dan otaknya. Terdengar suara langkah kaki mengikutinya dari belakang. Tanpa basa-basi Teratai membalikkan tubuhnya dan melayangkan tendangan ke tulang kering Banyu yang sedang mencoba mengikutinya. Banyu terhuyung-huyung jatuh ke lantai. Sakit luar biasa dirasakannya di kaki kanannya.  "Jangan pernah membuntutiku atau kupastikan kematianmu." Teratai mengambil langkah lebar menuju ke lift.  "Kuharap kamu akan memaafkanku, Tera," gumam Banyu pelan sambil menahan rasa sakit akibat tendangan dan pukulan yang ia terima.  "Pacarmu itu lebih cocok jadi tukang pukul ketimbang jadi dokter," ujar Mila sambil mencoba membantu Banyu untuk berdiri.  "Dia mantan atlet karate," jawab Banyu pelan sambil merintih kesakitan. Jawaban Banyu membuat Mila menyesal karena sudah berani berurusan dengan wanita mengerikan seperti Teratai.     
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD