Bab 1. Istri Baru

1040 Words
*** Namaku Annira, orang-orang terdekat sering memanggilku Nira. Hari ini aku resmi menjadi istri Mas Azam. Bukan istri pertama seperti yang pernah aku harapakan dalam sebuah pernikahan. Namun, istri kedua yang terpaksa menjadi madu dari istri pertama lelaki itu. "Kamu harus menikah dengan Mas Azam, Nira. Hanya itu satu-satunya cara agar kemandulanku tertutupi," ucapan Mbak Lia, istri pertama Mas Azam terbayang dalam benakku. Pertemuan kami setelah dua tahun lamanya tak bersua membawaku pada kisah pilu yang Mbak Lia alami karena tak mampu memberikan keturunan untuk Mas Azam. Hatiku ikut terluka mendengar kesedihannya. Lalu Mbak Lia memohon agar menjadi madunya demi tumbuhnya benih Mas Azam di perutku. Tak kuasa aku menolak sebab Mbak Lia adalah orang yang pernah berjasa atas operasi yang Bapak lakukan Dua tahun lalu. Mbak Lia adalah seorang dokter yang pernah membantu biaya pengobatan Bapak, meski beliau pada akhirnya meninggal dunia. Sebagai anak yang berbakti aku ingin membalas kebaikan Mbak Lia karena menolong kami. Namun, aku tidak menyangka bila yang Mbak Lia inginkan dariku adalah menjadi madunya. "Tapi Mbak, gimana kalau Mas Azam nggak mau nikah lagi dan menerima kemandulan, Mbak, ini?" Aku mencoba menyadarkan Mbak Lia. Jujur, aku tak sanggup berada di tengah-tengah mereka. "Kamu hanya perlu menikah dengan suamiku, mengandung benihnya. Sementara aku akan pura-pura hamil juga saat kamu hamil. Setelah kamu melahirkan, anak itu akan jadi anakku dan Mas Azam," "Lalu gimana sama aku, Mbak?" tanyaku tak mengerti pada apa yang Mbak Lia katakan. "Aku akan meminta Mas Azam menceraikanmu, Nira, karena kamu nggak bisa jaga bayimu hingga meninggal di dalam kandungan," begitu picik rencana Mbak Lia. Namun, sekali lagi aku tak bisa menolak. "Kenapa Mbak lakuin ini?" air mataku terjatuh. Aku tak sanggup membohongi Mas Azam karena aku sangat menghargainya. Dia sudah kuanggap sebagai salah satu pahlawan dalam hidupku karena Mas Azam juga yang memberi bantuan pada Bapak sewaktu itu. Mbak Lia menatap sinis padaku. "Turuti saja keinginanku, Nira! Ingat, kamu punya hutang budi pada kami," kecamnya. Maka di sinilah aku sekarang. Di dalam kamar pengantinku dan Mas Azam. Lelaki baik hati yang teramat sangat mencintai Mbak Lia. Mas Azam rela menikahiku demi Mbak Lia yang katanya merasa bersalah akibat tak hamil juga. Mbak Lia meminta Mas Azam menikahiku agar nanti benih Mas Azam bersemayam diperutku. Namun, tanpa Mas Azam tahu Mbak Lia memiliki rencana licik yang sangat menyakitkan bagiku. "Sudah Nira, kamu nggak punya hak untuk menyesal. Semua demi kebaikan yang pernah Mbak Lia dan Mas Azam lakukan dulu," aku menghapus air mata yang sejak tadi tak ingin berhenti mengalir. Sesak sekali Tuhan, berada di tengah-tengah Mas Azam dan Mbak Lia yang saling mencintai membuatku ingin mati. Aku ini sama saja dengan madu yang tak diharapkan. Entah apa yang akan aku lakukan ketika Mas Azam masuk ke kamar ini nanti. Apakah aku siap untuk melayaninya layaknya istri kepada suami? Aku sungguh malu karena terlibat ke dalam rencana licik Mbak Lia. Dia benar-benar memanfaatkan rasa terima kasihku dengan sangat baik. "Astagfirullah, maafkan aku Ya Allah." Bukan aku membenci Mbak Lia dan tidak tahu terima kasih, tapi menjadi madu untuk Mas Azam tak pernah tertulis dalam daftar rencana hidupku. Dua tahun tak bertemu Mbak Lia setelah kejadian itu kupikir akan menjadi pertemuan menyenangkan. Namun, siapa sangka Mbak Lia justru memintaku menjadi madunya. Pintu yang terbuka membuatku urung melanjutkan lamunan. Aku menoleh cepat pada sumber suara. Mas Azam di sana, menatap sendu padaku. Sungguh, aku merasa kikuk. Ini pertama kalinya bagiku berada dalam satu kamar dengan seorang lelaki yang sekarang sudah menjadi suamiku. "Saya nggak tahu harus apa ke kamu, Nira. Bagi saya kamu sudah seperti seorang adik," ucap Mas Azam. Kami memang tidak dekat, tapi beberapa kali bertemu membuatku dan Mas Azam saling mengenal. Aku pun semakin merasa bersalah. "Maafin aku Mas, aku.." rasanya tak ada kata yang pantas aku ucapkan untuk sekedar membela diri. "Bukan salah kamu, tapi saya bingung harus mulai dari mana. Saya kesulitan menyentuhmu karena di dalam sini," Mas Azam menyentuh dahinya. "Dan di sini," kali ini menyentuh dadanya. "Hanya ada Lia seorang," tak sekalipun Mas Azam menatapku secara langsung selama dia mengatakan itu. Dadaku sesak, perasaan bersalah itu semakin memenuhi diriku. Namun, aku tidak bisa menangis di depan Mas Azam. Aku takut dia curiga dan bertanya macam-macam padaku. Mbak Lia bisa marah besar bila sampai rencananya ketahuan. "Kamu mandilah dulu, Ra." Hanya itu yang Mas Azam katakan sebelum dia menaiki ranjang pengantin kami. Aku menatapnya pilu. Beribu kata maaf kuutarakan dalam diam. Berharap perasaanku membaik. Buru-buru aku berpaling saat airmataku tak mampu lagi bersembunyi. Aku masuk ke kamar mandi lalu keluar lagi setengah jam kemudian. "Mas Azam sudah tidur," itu yang kudapati saat aku sudah menyelesaikan ritual mandiku. Kutatap wajah sendu Mas Azam. Lelaki yang selalu menatap ceria dan penuh cinta kepada Mbak Lia ini kini telah menjadi suamiku. Mbak Lia begitu beruntung memiliki Mas Azam, tetapi dia rela membagi cintanya pada perempuan lain sepertiku. Bagaimana jika aku memiliki pikiran jahat untuk memiliki Mas Azam untukku seorang? Apakah Mbak Lia akan menyesali perbuatannya? "Astagfirullah," aku menggelengkan kepala berkali-kali. Dari mana pemikiran itu berasal? Aku bukan madu yang jahat, yang akan dengan sengaja merebut Mas Azam dari Mbak Lia. Aku tidak seperti itu. Aku hanya terpaksa menjadi madunya Mbak Lia di sini. Dengan sangat hati-hati aku merebahkan diri tepat di samping Mas Azam. "Selamat tidur, Mas," tadinya, aku menghadap ke arahnya, tetapi aku membalikan badan, membelakangi lelaki yang telah sah menjadi suamiku itu. Aku mencoba memejamkan mata, melupakan sejenak malam pertama yang sejak awal sudah direncanakan dengan matang oleh Mbak Lia. Istri pertama dari suamiku itu bahkan sudah menyiapakan linjeri seksi yang harus kukenakan malam ini. Apa aku akan berdosa karena merasa bersyukur melihat Mas Azam sudah terlelap? Entahlah, yang pasti ini bukan salahku. Mas Azam sendiri yang melewatkan malam pertama kami. Andai dia meminta haknya malam ini, maka aku tak akan menolaknya. Akan kuberikan apa yang Mas Azam inginkan. Namun, Mas Azam lebih memilih tidur daripada menyentuhku. Itu menegaskan bahwa Mas Azam sama belum siapnya denganku. Kupikir semua akan baik-baik saja, tapi besoknya Mbak Lia mencaciku karena melewatkan malam pertama yang sudah ditunggu-tunggu olehnya itu. Mbak Lia menyalahkanku karena tak bisa membuat Mas Azam tergoda. "Ya Allah kenapa aku harus menjadi madu yang terpaksa?" air mataku luruh karena sadar betapa buruknya hari-hari yang harus kulalui setelah ini. . . Bersambung.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD