1. Nathanial

1496 Words
Nathanial Saputro, remaja tujuh belas tahun yang mempunyai sifat absurd di atas wajar manusia normal. Remaja dengan bandana merah di kepalanya itu mengetuai geng yang memiliki nama tak kalah absurd, yaitu Geng Beha Kawat. Entah mimpi apa seorang Nathan sampai bisa mencetuskan nama yang aneh itu. Sekilas, Nathan seperti remaja pada umumnya, tapi kepintarannya tidak bisa diragukan. Anak itu kerap kali menjuarai dalam berbagai olimpiade akademik maupun lomba olahraga. Saat ini, Nathan menginjak bangku kelas tiga Sekolah menengah kejuruan. Pria itu memilih sekolah di SMK dengan jurusan Teknik gambar bangunan, karena menuruti hobby-nya menggambar. Papanya juga menyarankan sekolah di sana karena merasa hypertensi saat melihat Nathan menggambar di tembok. Kelakuan Nathan saat jaman bocil sampai sebesar ini tidak pernah berubah. Terlahir dari keluarga kaya, tak serta merta membuatnya dimanja. Sekolah saja dia masih nebeng sama temannya, karena papanya tidak mau membelikannya motor. Bukan tanpa alasan, papanya takut kalau Nathan ikut balapan liar yang nantinya membuat resah masyarakat, polisi dan juga orang tua. “Mama!” teriak Nathan menuruni anak tangga. Yura, mama Nathan hanya memicingkan matanya saat melihat penampilan anaknya. Bandana merah di kepala, gelang gambar tengkorak di pergelangan kirinya, baju dikeluarkan, dan dasi yang ditenteng. “Kak, itu bandananya dilepas! Kamu mau sekolah apa mau tawuran sih kok pakaian kamu acakadul?” tanya Yura tidak suka. “Ma, ini Namanya trend remaja masa kini. Gaul, ma.” Jawab Nathan. “Gaul kalau gak baik ya jangan ditiru!” “Ah sudahlah, ma. Nathan mau berangkat, udah ditungguin Tio.” “Kamu gak sarapan?” tanya papa Nathan yang sejak tadi hanya diam. “Gak, pa. Sebagai gantinya kasih uang saku yang lebih, ya!” jawab Nathan mengedip-kedipkan matanya. “Gak ada uang saku tambahan. Kalau kamu lapar ya sarapan kalau gak lapar ya udah berangkat sana. Nanti kalau pingsan biar malu-maluin.” Oceh Yogi. “Iya-iya ini sarapan!” jawab Nathan kesal. Orang tua Nathan selalu membiasakan anak-anaknya untuk sarapan di rumah. Selain menghemat, juga untuk menghargai mamanya yang rela bangun pagi untuk menyiapkan sarapan. Sarapan Bersama juga bisa menambah keeratan dalam sebuah keluarga. “Kaka!” rengek Nayla, adik Nathan yang langsung bergelayut manja saat kakanya duduk di sampingnya. “Apa sayangku, cintaku my baby honey?” balas Nathan dengan nada dibuat se-alay mungkin. “Mau sekolah kalau diantar kakak!” jawab Nayla manja. Begitulah hari-hari Nathan, selalu ditempeli Nayla yang bak lintah darat, tapi Nathan sayang. “Kakak ngantarnya pakai apa, sayang? Kan kakak gak punya motor. Nasib punya orang tua pelit, gak mau beliin anaknya motor.” Ucap Nathan dengan matanya yang melirik papanya. "Mau bonceng pakai sepeda seperti biasanya juga udah siang nih." tambah Pria itu lagi. Kalau Nayla rewel, memang Nathan selalu mengantar gadis itu pakai sepeda.  Sudah tujuh belas rahun, tapi Nathan tak kunjung dibelikan papanya motor. Alasannya karena belum punya SIM dan takut kalau motornya dibuat ugal-ugalan. Nathan menilai kalau papanya sangat kolot. Padahal sudah jamannya anak SMA pakai motor sendiri. “Hemm, papa sih gak beliin kakak motor. Aku kan mau dibonceng pakai motor gede.” Ucap Nayla dengan cemberut. "Lihat tubuh kakakmu itu! cungkring kayak gitu mana kuat bawa motor gede. Kalau kakakmu yang terbang gimana?" ujar Yogi. Nathan mencibir, kalau gak menghina, bukan papanya. "Papa gak boleh jelekin kakak lagi. Awas papa gitu lagi, Nayla marah," sewot Nayla. Nathan menepuk kepala adiknya dengan bangga. "Pinter, selalu belain kakak yang terdzolimi ya, dek!" bisik Nathan yang diacungi jempol Nayla.  “Biar papa yang antar kalian berdua. Ayo!” ajak Yogi. “Gak mau ah. Aku nebeng Tio aja.” “Kenapa, kak? Kan se-arah sama papa.” “Malu, kayak anak cupu pakai diantar.” Jawab Nathan. Anak itu sangat anti dengan yang Namanya antar jemput. Karena dinilai bisa menjatuhkan harga dirinya yang sangat paripurna. “Lah itu adiknya ingin sama kamu.” “Yaudah deh, demi Nayla apapun akan aku lakukan.” Jawab Nathan akhirnya. Ia menghubungi Tio dan menyuruh temannya itu berangkat duluan. Setelah sarapan, Nathan dan Nayla bergandengan tangan untuk masuk mobil. Nayla terus berceloteh ini itu pada kakaknya. Walau celotehan Nayla terkesan tidak penting, tetap saja Nathan menanggapi. Nathan tak ingin membuat adinya mengoceh tiada arti. Saking seringnya Nayla mengoceh, Nathan sampai hapal siapa saja nama teman-teman Nayla, siapa saja teman yang nakal, siapa saja teman yang baik. “Kak, bagi duit dong! Kuotaku habis nih.” Bisik Nayla pelan. “Lah kan udah dikasih uang sama papa.” “Gak cukup buat beli kuota, kak.” "Di rumah ada wifi,” jawab Nathan gemas. Ia sudah tidak heran kalau adiknya akan meminta sebagian uang sakunya untuk membeli kuota. Padahal, di rumah ada wifi, tetap saja Nayla minta kuota. Nayla dan Kuota adalah dua hal yang tak bisa dipisahkan. Kuota delapan belas gb bisa habis dalam sehari karena buat streaming film kesukaan gadis itu. Sebenarnya Nathan heran, adiknya niat sekolah untuk belajar atau niat sekolah untuk nonton film. “Kalau di luar rumah masak gak ada kuota sih, kak? Kakak mau aku mati tanpa kuota?” tanya nayla manyun. Selalu saja gadis itu melebihkan perkara. Nathan merogoh saku seragamnya, mengambil uang dua puluh ribu dan memberikannya pada adiknya. “Adanya Cuma dua puluh nih,” ucap Nathan. “Aku ambil ya, kak? Tapi jangan bilang-bilang papa. Ntar aku dimarahin.” Bisik Nayla terkikik. “Iya, tapi jangan lupa belajar juga.” Jawab Nathan memencet hidung adiknya. “Sayang kakak banyak-banyak!” Yogi menajamkan pendengarannya saat melihat anaknya krasak-krusuk melalui kaca spion. Anaknya selalu main rahasia-rahasiaan yang tidak pernah melibatkan dirinya. Nathan yang sadar dilirik papanya, hanya berdehem dengan sok cool. “Jangan nguping, pa. Gak baik.” Ucap Nathan yang membuat Yogi mencibir. Yogi menilai makin gede anaknya makin menyebalkan. Gak ingat dulu siapa yang gantiin popok dan nyebokin. Yogi mengantar Nayla terlebih dahulu karena SMP Nayla yang dilewati pertama. Nathan harus turut serta masuk dalam gerbang mengantar adiknya, kalau tidak begitu tentu saja Nayla tidak jadi sekolah. Anak kelas satu SMP itu memang sangat meresahkan. Sudah pasti saat mengantar Nayla, Nathan menjadi pusat perhatian teman-teman adiknya. Saat ditatap memuja tentu saja Nathan akan bersikap lebih berwibawa dan merasa dia orang paling tampan di sana.   ****** “Sekolah yang rajin, yang fokus kalau dijelain guru, dan jangan berteman dengan orang gak bener!” ucap Bram pada anaknya sebelum anaknya turun dari mobil. “Iya, pa.” jawab Azkia kalem. “Awas kalau tugas kamu dapat sembilan puluh, papa gak akan segan pukul kamu kayak semalam.” Ancam Bram. Azkia mengangguk takut. Memang semalam papanya memukul tangannya karena ujian harian matematika hanya dapat Sembilan puluh. Papanya selalu meminta nilai yang sempurna pada dirinya. Sembilan puluh akan dinilai sangat kurang. “Yaudah sana masuk ke sekolah!” titah Bram. Azkia mengulurkan tangannya menyalami tangan papanya. Sesudah itu Azkia dengan cepat turun dari mobil. Azkia menghapus air mata yang tiba-tiba menetes. Gadis itu juga meremas dadanya yang tiba-tiba nyeri. Rasa sakit hati dan nelangsa yang tiap hari bertumpuk sangat menyesakkan dadanya. Selama tujuh belas tahun hidup, Azkia sama sekali tidak pernah mendapatkan kasih sayang orang tuanya. Yang gadis itu dapat, hanya sebuah tuntutan yang sangat memuakkan. Dari kecil, papanya selalu menekan dia untuk mendapat nilai sempurna. Bahkan saat TK saja, Azkia harus mendapat nilai seratus dalam lomba menggambar, padahal papanya tau sendiri kalau dia sangat lemah dalam seni gambar. Masuk di SMK dengan juruan Teknik gambar bangunan atau TGB, sama ekali bukan impian Azkia. Tentu saja dia tidak bias memilih di mana akan melanjutkan sekolahnya, karena papanya sudah menentukan kalau dia harus sekolah di SMK jurusan TGB, karena papanya mempunyai perusahaan yang bergerak di bidang pembangunan yang mana akan membutuhkan banyak tenaga desain. Menggambar dua gunung satu sungai seperti kayak anak TK saja Azkia tidak bisa bagus, apalagi harus menggambar desain bangunan yang lengkap dengan hitung-hitungannya. Tak sekali dua kali Azkia merasa gila dengan pelajaran Teknik menggambar. Ia sudah berusaha semaksimal mungkin, tapi tetap saja belum bisa. Dan saat pelajaran menggambar adalah momok paling menakutkan untuk Azkia, karena sudah pasti saat pulang sekolah ia akan mendapat pukulan dari papanya saat dia menunjukkan hasil gambarnya. “Heh heh heh ….” Ucap suara pria membuat Azkia terkesiap. “Jalan dan ngelamun ada tempatnya sendiri-sendiri. Heran gue sama lo, hobby banget ngelamun. Tuh lihat depan lo ada tempat sampah yang hampir lo tabrak!” oceh Nathan menunjuk tong sampah tepat di depan Azkia. Azkia mengangguk kikuk. Lagian siapa gerangan orang yang meletakkan tempat sampah di tengah koridor begini. Pasti kerjaan orang iseng. Azkia melanjutkan jalannya meninggalkan Nathan, teman satu kelasnya. Azkia tau kalau Nathan tidak suka dekat-dekat dengan perempuan, lebih baik dia pergi sendiri daripada disuruh. Azkia merasa pipinya memanas saat mengingat Nathan yang menegurnya. Sudah lama Azkia menyukai Nathan, tapi dia sadar diri kalau dia hanya gadis biasa yang tak mungkin akan Nathan lirik. Sesampainya di kelas, Azkia sudah menjadi bahan bullyan teman-teman perempuannya, khususnya si provokator Diva. Diva menyorakinya dengan sebutan anak manja, cupu, gila, dan lain sebagainya. Azkia hanya diam, memilih duduk di bangkunya dan mengambil hp untuk melihat turorial menggambar yang benar.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD