feal salah apa ke phlox?

2001 Words
• • • F. Tahu rasanya mati rasa? Semacam, kamu tidak bisa merasakan emosi-emosi seputar gugup, malu, tegang, panik, bahagia, tertawa, melayang, dan sebagainya yang bikin hati berdebar. Dicaci maki, diejek, dipuji, kamu tidak akan marah atau berbunga. Seolah hatimu itu mempunyai 0% kadar emosi. Emosi netral, non negatif dan non positif. Tidak bisa merasakan apa-apa termasuk saat menonton film horor dan komedi. Aku sudah mengalaminya sejak lahir. Beberapa kali ibu memarahiku karena pernah memecahkan gelas, tak membuat aku menangis atau mengurung diri di kamar. Baiknya sih, aku jadi tidak pernah memecahkan gelas lagi seperti menurut karena ibu memperingatkanku. Saat ayah berkata padaku untuk jadi anak yang pintar di sekolah, aku berhasil menjadi peringkat satu walau tanpa bibir tersenyum. Tubuhku hanya bergerak ketika orang meneriakiku untuk sesuatu. Kaku seperti robot. Tapi aku tetap manusia. Hal ini jelas memicu ejekan dari anak-anak di kelasku. "Hei, itu Feal tidak mempunyai nyawa, ya. Lihat dia tidak pernah tersenyum atau marah." "Haha, kalau kita ceburin ke kolam ikan juga besoknya pasti akan lupa lagi." "Terus kenapa otaknya bisa encer dalam pelajaran, ya. Apa dia semacam dikasih batu batre yang memberi kepintaran?" Hasilnya, tidak ada yang mau berteman denganku. Aku tak mengobrol pada mereka, dan di saat ada yang mengajakku bicara, katanya aku membosankan, seolah menjalani hidup dengan tidak ada semangatnya sama sekali. Sudah jelas artinya aku hidup tanpa tujuan. Orangtuaku tidak sepeduli itu dalam mengurusku. Maksudku, mereka tidak mengekang atau pun membiarkan. Terkadang aku hanya direcoki satu perintah positif saja sebagai basa-basi orangtua terhadap anaknya, setelah itu aku kembali menjadi tak berarah. Seseorang, harus mengandalkanku jika aku ingin menjadi berguna. Dan itu terjadi saat aku berusia delapan tahun, saat ayah mengajakku ke sebuah rumah terlampau besar yang gerbangnya tinggi berwarna hitam. Ayah terpana sesaat begitu masuk melalui pintu gerbang kecil. Aku diam dengan tangan kanan digenggam ayah. Tak lama, aku kemudian dibawanya berjalan menuju halaman depan rumah. Sampai di tengah taman yang cukup luas dan indah, ayah berlutut, berkata-kata padaku. "Feal nanti berteman ya sama anak perempuannya temen Ayah. Temani dan hibur dia sampai kapan pun." Dengan mulut kecilku yang setengah terbuka, aku mengangguk. Ayah mengusap puncak kepalaku dan pergi masuk ke dalam rumah. Aku dibiarkan sendiri di situ selama beberapa saat, melihati seorang pelayan berpakaian rapi yang mondar-mandir keluar masuk rumah. Sampai kemudian, ada anak laki-laki lain yang muncul. Dia datang bersama ayahnya juga. Berucap separuh kata, mengusap rambut atas, lantas ikut pergi ke dalam rumah seperti ayahku. Saat berbalik, aku menyangka dia seumuran denganku. Memakai kacamata, kaos bola, serta celana pendek. Kami bertatapan dalam jarak lumayan jauh. Tapi kemudian, semua itu dihentikan oleh suara tangisan anak perempuan yang terdengar dekat dari posisi kami berada. Rupanya dia sedang menangis di sebuah ayunan putih lebar, sendirian. Aku berlari mendekat, berlutut di hadapannya. "Kau kenapa menangis?" Tapi dia tak langsung menjawab, melainkan cuma memperkeras tangisan. Aku mencoba mendesaknya agar bicara. "Aku perlu ngapain agar kau tidak menangis lagi?" Baru setelah itu dia mau melihatiku. Kedua matanya berair banyak serta berwarna merah cerah. "Kau siapa?" "Aku akan menemanimu sampai kapan pun." Anak perempuan itu kebingungan. "Kenapa harus menemaniku?" "Karena itu perin—" "Hei, kau siapa?" Ada anak lain yang menyela pembicaraan serius kami. Dia anak laki-laki berkacamata tadi. "Aku yang akan menemaninya sampai—" "Jangan dekat-dekat dengan dia. Dia milikku." Pertengkaran anak kecil yang polos. Dipenuhi rasa egois dan ketidaktahuan yang tinggi. Hanya menurut apa kata orangtua dan keinginan pribadi. Begitulah pertemuan pertama si trio Feal, Orfeo, dan Phlox. Tuan putri yang harus kami temani itu adalah seorang putri tunggal dari keluarga kaya raya yang rumahnya sudah kayak kastel-kastel hantu dari luar, tapi terlihat seperti istana dari dalam. Katanya, Phlox selalu merasa sedih. Ekspresi wajahnya tak jauh-jauh dari murung, panik, takut, gemetar, menangis, teriak, yang memunculkan opini ke kepalaku kalau dia mengidap depresi. Agar tidak mengalami kesepian dan merasa terlindungi, oleh ayahnya yang terhormat (anggap saja majikan kami), aku dan Orfeo yang seorang laki-laki ini diperintahkan untuk menemani dan menghiburnya sampai kapan pun. Jadi dengan tampang anak kecil kami, persetujuan itu pun terlaksana. Kami bertiga hampir setiap pulang sekolah selalu bermain di rumah yang besar itu. Berlarian ke sana kemari, menyantap makanan manis bersama, pergi ke wahana liburan hampir setiap akhir pekan, pokoknya melakukan apa saja agar Phlox bisa merasa bahagia. Tapi jangankan bahagia. Hingga 9 tahun pertemanan kami pun, Phlox tidak pernah sekali pun tersenyum. Hanya berkata, 'aku bahagia' dengan raut sendu. Bagaimana mungkin kami bisa percaya. Meskipun ada dua kesatria di sampingnya, dia masih belum cukup menghilangkan ekspresi gundahnya. Apa yang terjadi padamu, Phlox? Sedepresi itukah kamu? Orfeo (si kacamata tadi) yang lebih sering libur tugas. Dia sering merasa malas untuk beranjak dari rumahnya ke rumah besar Phlox yang terbilang lumayan jauh. Jadinya Phlox lebih banyak menghabiskan waktunya berdua denganku. Namun ya, tetap tidak ada yang berubah. Meski sebuah canda tawa belum pernah terdengar di antara kami, kami tetap berkawan hingga usia 17 tahun. Aku dan Orfeo menikmatinya dalam diam. . "Orfeo menghilang ke mana lagi?" aku bertanya ke Phlox saat dia kedapatan menghampiri kelasku sendirian di jam istirahat. "Aku tidak pergi ke kelasnya," sahutnya di tengah kerutan kening. "Ada yang ingin aku bicarakan denganmu. Harus berdua. Ada rekomendasi tempat mengobrol yang nyaman?" Padahal dia sekolah di sini juga, harusnya tahu. "Di taman yang sepi saja kalau begitu." Kami pun berdua pergi ke sana. Setelah duduk di bangku taman yang sama, dia memulai dengan takut-takut. "Semalam, habis aku keluar dari kamar mandi untuk buang air kecil, aku melihat ada hewan terbang aneh di kamarku." "Pasti kunang-kunang." "Kunang-kunang terlalu kecil untuk ukuran hewan yang aku lihat itu." "Phlox yakin itu hewan?" Kemudian dia berekspresi seperti ingin menangis. Aku segera memperbaiki. "Iya itu pasti hewan. Tapi tenang saja. Hewan itu tidak akan menyakiti Phlox." "Kalau kau dan Orfeo menginap di rumahku malam ini gimana?" tanyanya sambil menatap wajahku. "Aku takut hewan itu muncul lagi di kamarku." Aku mengiyakan. Sementara Orfeo tak bisa ditemui dan menghilang tanpa kabar untuk ke sekian kalinya, malam itu, jadinya aku saja yang menginap di rumah besar Phlox. Sudah ada kamar yang disediakan khusus untuk aku dan Orfeo jika menginap. Terletak percis di sebelah kamarnya Phlox. Tapi sebelum beranjak tidur, kami berdua bermain Play Station dulu. "Orfeo kenapa menghilang terus, ya?" Aku membuat obrolan. "Paling dia tidak ingin berteman denganku lagi. Siapa pula yang ingin menemani perempuan menyedihkan sepertiku." "Aku." Dapat kulihat dia menoleh padaku. "Kenapa mau?" "Tidak ada alasan untuk tidak berteman," ucapku pasti. "Sekarang Phlox adalah teman terdekatku." Walau banyak orang bilang aku dan Orfeo berteman dengan Phlox itu gara-gara dia perempuan imut dan kaya raya alih-alih tulus, tentu saja itu tidak benar. Awalnya memang gara-gara ayahku yang menyuruh untuk membersamai Phlox, membuatnya tersenyum walau tak pernah berhasil. Kupikir juga sebuah hubungan akan terasa hambar apabila dipaksakan. Tapi tidak seperti itu kok. Meski tidak bisa merasakan sesuatu yang membuat nyaman, atau gelisah karena berada dalam kondisi bahaya, aku tetap melakukannya seolah itu berasal dari dalam diriku sendiri. Tanpa keinginan. Hanya, yah, memang untuk ini aku hidup. Menemani Phlox. Entah, Orfeo berpikir hal apa. Dia selalu tak muncul di antara kami. Phlox mengunyah camilan. "Kau tidak pernah terpikir untuk menyukai seorang perempuan?" "Tidak mungkin itu." "Kenapa tidak mungkin?" nadanya melemah. "Bahkan untuk perempuan imut dan kaya raya sepertiku?" Aku menoleh ke arahnya. "Phlox bicara apa?" Permainan di-pause, Phlox menatap padaku juga. "Selama 9 tahun kau dan aku bersama, lupakan soal Orfeo, kau tidak tertarik padaku?" Lagi-lagi tampangnya seperti ingin menangis, seolah aku telah menolaknya. "Kalau Phlox nyuruh aku buat tertarik ke Phlox, aku akan melakukannya." "Bukan berasal dari hatimu?" "Hatiku tidak bisa merasakan apa-apa." Aku berkata jujur soal ini. Tapi rasanya itu agak sulit untuk membuatnya percaya. Dan terbukti dengan dia yang terlihat luar biasa kaget. "Jadi ... tidak ada keinginan untuk ... melakukan apa saja? Seperti misalnya memperlakukanku seperti perempuan dan bukannya teman." "Aku melakukan sesuatu berdasarkan perintah." "Termasuk berteman denganku?" Anggukanku kemudian membuat Phlox melempar controller Play Station-nya lantas berlari keluar ruangan dan masuk ke kamarnya, membanting pintu, menangis keras mungkin agar aku merasa iba. Dan ya, aku merasa iba. Aku segera bangkit, mengetuk-etuk pintu kamarnya pelan. "Phlox kenapa marah?" "Jangan berteman denganku lagi kalau kau memang tidak mau!" dia berteriak dari dalam. "Aku tidak bilang tidak mau." "Tapi tadi kau bilang kau berteman denganku karena perintah." "Ya, memang. Tapi terus kenapa?" "Pikirkan sendiri!" "Phlox tahu kan aku tidak bisa peka." Tidak terdengar balasan. "Buka pintunya sedikit, biar Phlox tidak perlu berteriak-teriak." Agak lama dia berpikir, pintu kamarnya pun benar-benar terbuka dan menghasilkan celah di antara kami. Aku menyandarkan punggung ke dinding sebelah pintu. "Kenapa tidak pergi? Ini waktunya tidur, lho," dia akhirnya bertanya. "Tidak, di sini saja," balasku. "Atau Phlox ingin aku tidur di sana? Mungkin saja hewan kecil itu muncul lagi." "Tak perlu." Pintu ditutupnya lagi keras-keras sampai membuatku menoleh. Mungkin dia ingin tidur, tidak mau aku mengganggunya. Jadinya karena itu, aku pun beranjak masuk ke kamar tamu yang di sebelah. Sudah sangat ngantuk sebenarnya. Tapi berusaha kutahan untuk menemani Phlox terjaga. Malam itu aku tidak langsung tidur, melainkan mencoba bermain pikiran dulu tentang mengapa Phlox bisa marah. Apalagi itu disebabkan olehku. Jarang-jarang aku membuatnya marah. Aku selalu berusaha membuat dia nyaman di sebelahku, melakukan apa saja yang mungkin akan menyenangkannya (meski rasanya mustahil). "Bagaimana caranya peka, ya?" Aku bergulat dengan kalimat itu sampai akhirnya aku jatuh tertidur. Tapi kemudian, sekitar tengah malam (gak tau pukul berapa karena aku gak liat jam), aku mendengar suara teriakan yang sangat keras dari kamar sebelah. Aku bergegas lari menujunya, menggedor-gedor pintu kamarnya yang sepertinya tidak dikunci. "Phlox tidak apa-apa?" seruku. "Aku boleh buka pintunya? Phlox tidak sedang berganti baju, kan?" "FEAL." Kalau namaku sudah disebut, aku tak bisa berbuat apa-apa lagi selain memberontak maju. Jadi aku membuka pintu itu dan seketika menemukan Phlox sedang meringkuk di ujung tempat tidurnya. Aku langsung menghampirinya dan memeluknya. "Sudah-sudah, tak apa. Itu pasti hewan yang baik hati." Tapi dia tidak mendengarkan nasihatku. "Tidak! Tadi aku melihatnya di sana. Cahayanya berwarna gelap." Semakin aneh saja. "Ya tidak apa-apa selama Phlox tidak tersakiti." Di situ aku merasakan jantung Phlox berdetak sangat cepat. Itu pasti karena dia sedang ketakutan. Kurasakan juga seluruh tubuhnya gemetar. Dan saat itu baru kusadari, ini pertama kalinya aku memeluk seorang perempuan. "Kalau Phlox merasa aman, mau seperti ini terus?" Aku langsung didorongnya. Mukanya merah menahan amarah. Tapi lunak lagi setelahnya. "Kau diam saja di sampingku." "Oke. Aku akan di sini sampai Phlox tidur." Kemudian aku bersandar pada ujung tempat tidur Phlox. Dia berbaring dengan menghadap ke arahku. "Aku tadi sudah bilang. Peluk saja kalau Phlox ingin merasa aman." "Kau kenapa begitu polos?" "Lho? Aku hanya mencoba melindungi Phlox." "Tapi yang kau lakukan itu sama artinya dengan perbuatan seorang suami ke istrinya." "Phlox ingin aku menjadi suami Phlox?" Dia melemparku dengan bantal. "Tidak bisakah kau berpikir jernih? Kan aku jadi mendadak ngeri." Berbalik membelakangiku. "Kalau Orfeo gimana?" Hening. "Apa pendapat Phlox tentang Orfeo?" Dia bergerak sedikit. "Dia tidak begitu peduli padaku. Aku tidak membutuhkannya." "Padahal aku pikir, jika Orfeo ada di sini, mungkin Phlox akan semakin merasa aman. Orfeo akan menangkap hewan itu untuk kita." "Kau sendiri saja cukup." "Tidak cukup. Harus ada Orfeo." Entah kenapa aku tiba-tiba berfirasat dia akan kembali marah. Mungkinkah Phlox sudah membenci Orfeo gara-gara acara menginap kali ini dia absen? Yah, menghilang mulu sih kerjaannya. Padahal sudah berusaha kuajak. Lama berada dalam suasana sepi, aku mulai terkantuk-kantuk lagi. Hampir tidur kalau saja Phlox tidak membangunkanku dan tiba-tiba menyuruhku pergi. "Sana tidur lagi di tempatmu." "Serius?" "Kau mau aku melemparmu dengan lemari?" "Phlox masih marah ke Feal?" "Iya!" Aku tidak mengerti. Sungguh. Apa yang membuat dia marah padaku? Padahal aku hanya bicara. Padahal aku baru saja menolongnya dari serangan si hewan kecil pengganggu. Di mana letak kesalahanku? Itu sudah menjelang pagi saat aku pindah lagi ke kamarku. Tidur dengan tidak tenang karena memikirkan Phlox, dan besoknya pas di sekolah, aku terlambat masuk sehingga tidak dibolehkan untuk masuk kelas, melainkan harus mengumpulkan sampah dulu di lapangan.  Baru kali ini aku berpikir panjang tentang sesuatu (tentang alasan Phlox marah padaku), yang hingga akhirnya, aku mendapat kabar kalau Phlox menghilang.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD