PROLOG

1008 Words
Suara petir terdengar begitu keras. Hujan deras turun sejak sore tadi dan belum berhenti sampai sekarang. Seorang gadis duduk di sofa sambil memeluk lututnya. Tubuhnya bergetar hebat, wajahnya penuh keringat. Meskipun sudah memakai earphone, tetap saja suara gemuruh itu terdengar jelas. Ara—gadis itu menangis dalam diam. Astraphobia—itulah yang membuat Ara menjadi seperti ini. Sejak kecil, ia memang sangat takut dengan petir, bahkan sampai ia dewasa. Tangannya meraih benda pipih yang ada di atas meja. Dengan gemetar, ia mencoba menelepon seseorang. Nomor yang anda hubungi sedang berada di luar jangkauan. Kalimat itulah yang Ara dengar sebagai jawaban. Setetes air mata jatuh membasahi pipi pucatnya. “Gama,” gumamnya dengan suara tertahan sambil menatap nama si pemilik nomor yang beberapa detik lalu ia telepon. Ia lupa … bahwa nomor itu memang tidak pernah aktif lagi selama delapan tahun terakhir. Bodoh sekali karena ia masih saja menelepon nomor itu tanpa sadar. Sejujurnya, ia hanya terlalu terbiasa dengan kehadiran Gama disaat seperti ini. Saat ia ketakutan karena phobia yang ia miliki, saat ia sedang sendirian dan tidak ada orang di rumah sebesar ini, Gama lah orang yang akan datang. Namun kini, itu semuanya hanya cerita lama yang harus berakhir karena keputusannya. Jujur … ia agak menyesal mengatakannya, tapi … ia benar-benar merindukan Gama. Jika saja waktu bisa diputar kembali, ia akan menarik kata-katanya dulu. Ia menyesal membiarkan Gama pergi. Pintu kamarnya terbuka, menampilkan sosok pria yang dengan wajah paniknya langsung berlari menghampiri Ara, kemudian memeluknya erat. Tentu saja pria itu adalah Arden---saudara kembarnya. Hanya Arden satu-satunya orang yang tidak pernah pergi darinya. Dan hanya Arden yang menenenagkannya jika orang tua mereka sedang tidak ada di rumah. Arden mengusap punggu Ara lalu menghela napas pelan. “Kenapa enggak nelepon gue, Ra?” tanyanya dengan napas yang masih ngos-ngosan. Arden datang dari kantor ke rumah dengan terburu-buru karena ingat Ara memiliki astraphobia. Ia bahkan sampai meninggalkan pekerjaannya yang belum selesai. Ara tidak menjawabnya. Gadis itu hanya menangis. Arden melirik ke arah ponsel Ara, kemudian melihat Ara baru saja menelepon Gama. Pria itu menghela napas berat. “Lo selalu begitu. Dia orang pertama yang akan lo hubungi,” kata Arden dengan suara pelan. “Delapan tahun, Ra. Lo masih melakukan hal yang sama disaat lo ketakutan. Menghubungi dia, meskipun lo tahu kalau telepon lo enggak akan pernah di angkat.” Arden mempererat pelukannya, lalu memjamkan matanya sebentar sebelum akhirnya membuka matanya lagi. Tangannya meraih ponsel Ara, lalu menghapus nomor itu. Ia berharap Ara tidak akan lagi melakukan hal yang sama lagi. Ia sudah muak melihat adiknya terjebak dalam masa lalu tidak berujung. Meskipun ia tahu, ada kesalahan Ara dalam bagian dari masa lalu itu, tapi ia agak tidak terima jika melihat hanya Ara yang menderita. Ia bahkan tidak tahu apakah Gama merasakan hal yang sama atau justru sebaliknya. Pria itu—Gama—sudah terlalu lama dia menetap di hati Ara. Berbagai cara Arden lakukan agar Ara melupakannya, tapi justru yang ia lakukan hanya membuat luka Ara semakin terlihat. “Lupain, Ra,” bisik Arden tepat di telinga Ara. Ara menggeleng pelan, dengan isak tangis yang masih bisa Arden dengar. “Enggak bisa. Gue udah coba.” Begitulah jawaban Ara. “Itu bukan karena lo enggak bisa, Ra. Tapi karena lo enggak mau. Ayolah, jangan berharap tentang kedatangannya. Mungkin dia akan datang, tapi bisa jadi dia datang dengan kehidupannya yang baru, tanpa lo ada di sana. Lo pasti ngerti maksud gue.” Perkataan Arden yang satu ini, bukan sekali dua kali Ara mendengarnya. Mungkin sudah ratusan kali. Ara bukannya tidak pernah mencoba melupakannya. Ia selalu melakukan itu, tapi tetap saja … kadang tanpa sadar, Ara selalu bersikap seperti tadi … menelepon Gama tiba-tiba, padahal ia tahu nomor itu sudah tidak ada. Ia bisa bersikap seolah ia tidak memiliki perasaan apapun lagi pada Gama, namun ia tidak bisa melakukannya di depan Arden, karena pria itu selalu tahu apa isi hatinya. “Kalau gitu, gimana kalo besok gue bawa calon suami buat lo? Kayaknya lo move on nya kurang kenceng. Pakai suami berhasil, kali.” Ara mencubit perut pria itu, lalu memasang wajah cemberut. Arden salalu bisa menghilangkan rasa takut Ara dengan obrolannya. Jika sudah begini, rasa takut Ara perlahan menghillang. “Gue enggak mau nikah muda, nanti gue punya anak enggak bisa ngurusin.” “Ya, jangan punya anak dulu.” “Ya, mana bisa? Semua jantan, tuh, sama aja. Bilangnya setuju enggak mau punya anak, tapi nafsunya enggak bisa di tahan kaya orang kesurupan.” Arden tertawa, lalu mencubit krdua pipi Ara pelan. Ia mengusap sisa-sia air mata Ara dengan ibu jarinya. Pria itu menyingkirkan beberapa helai rambut Ara dan menyesipkannya ke belakang telinga. “Lo cantik, Ra. Baik hati, pekerja keras, pintar menyenangkan orang. Banyak pria di luar sana yang lebih baik dari Gama, yang bisa menyayangi lo, menerima lo, bahkan membahagaiakan lo lebih dari yang Gama lakukan. Ah, kalo dipikir, Gama pernah bahagian lo dengan apa, sih? Yang gue lihat, lo yang membahagiakan dia.” Ara menghela napas pelan. Hujan di luar sudah agak mereda, dan suara petir juga sudah samar-samar terdengar. Ara menyentuh cincin yang ada di jari manisnya, lalu tersenyum simpul. “Dia memang enggak melakukan hal-hal luar biasa. Tapi anehnya, karena hal itulah gue bahagia." Arden menatap Ara dengan tatapan jengah. Ia usdha tidak bisa berkata-kata. Percuma saja menanyakan hal itu pada Ara. Jika dia bisa memilih, dia tidak akan pernah mengijinkan Ara untuk dekat dengan Gama dulu. Kalau saja dia tahu bahwa akhirnya akan seperti ini, Arden akan mencegahnya. Namun nasi sudah menjadi bubur. Yang bisa dia lakukan hanya menemani Ara dan membuat adiknya itu tidak lagi merasakan kesedihan yang selama ini dia rasakan. Arden tahu mungkin kemungkinannya sangat kecil baginya untuk membuat Ara melupakan rasa sakit itu. Tapi dia akan berusaha. Karena Ara adalah adik yang paling di sayangi. Apapun yang membuat Ara sedih, pasti akan dia tangani. Itulah yang biasanya dia lakukan. Tapi karena kali ini Gama yang membuat adiknya itu sedih, dia tidak mungkin mencari Gama danmenghajar pria itu, karena dia tahu, kesedihan yang Ara rasakan juga bagian dari kesalahan Ara sendiri.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD