CHAPTER ONE

1891 Words
DAREN Lemuel–Semenarik itu namanya. Panggil saja dia Daren. Pria berusia 27 tahun yang kini berperan sebagai dokter bedah di Lemuel hospital—rumah sakit milik keluarganya. Lulusan terbaik di University of Melbourn, Australia, jurusan kedokteran. Bukan hanya punya wajah tampan, pria itu juga memiliki kemampuan yang luar biasa. Ia sudah dinobatkan sebagai dokter terbaik, meskipun baru bekerja dua tahun di sana. Bertanggung jawab, berwibawa, dan ramah. Banyak pasien yang lebih memilih ditangani oleh Daren ketimbang dokter lain yang bahkan sudah senior. Begitulah kekuatan orang tampan. Hari ini seperti biasanya Daren akan mengecek keadaan pasiennya satu-persatu. Ia selalu membawa sebuah note kecil di saku jasnya. Buku itu ia gunakan untuk mencatat perkembangan pasien yang ia tangani. Sebegitu telitinya. Daren menyapa seorang pasien yang beberapa hari lalu ia operasi. Ia tersenyum kepada seorang pria paruh baya yang tengah berbaring di ranjang. "Selamat pagi, Pak. Bagaimana keadaan Bapak pagi ini? Masih sakit kepalanya?" tanya Daren, ramah. "Sudah baikan, Dok. Sudah gak sesakit kemarin. Saya juga sudah gak pusing lagi kalau jalan," ungkap pria itu yang membuat Daren senang. Melihat pasiennya sembuh adalah kebahagiaan terbesarnya. Ia menjadi dokter bukan karena ingin mendapat gaji yang besar. Ia hanya ingin menolong orang disekitarnya, agar mereka bisa hidup bahagia. Daren tahu rasanya ditinggalkan oleh orang yang sangat disayangi. Seperti Daren yang kehilangan sang Mama ketika usianya masih berumur 17 tahun. Rasanya menyedihkan melihat Mamanya sekarat sedangkan ia tidak bisa berbuat apapun. Itulah yang menjadi alasan terkuatnya ingin menjadi seorang dokter. Ia tidak ingin ada orang lain yang merasakan apa yang ia rasakan. Daren mengusap lengan pria paruh baya itu. Tak lama, seorang anak perempuan datang berlari menghampiri mereka. Anak itu begitu bahagia hingga terus tersenyum melihat sang Ayah tanpa henti. "Mana Ibu?" tanya pria paruh baya itu pada putrinya. "Ibu lagi di luar. Katanya mau ambil makan." Daren berjongkok meng hadap anak itu, lalu mengusap kepalanya pelan sambil tersenyum. "Dokter titip Ayah kamu, ya. Kamu harus jaga Ayah sampai sembuh. Nanti kalau Ayah sembuh, dokter kasih hadiah." "Beneran, Om dokter?" tanya anak itu dengan mata berbinar. Daren mengangguk, lalu mengusap lagi kepala anak itu kemudian pamit pergi. Daren membuka knop pintu kantornya. Ia membuka jas dokternya lalu duduk di kursi kerjanya. Matanya begitu berat. Ia mengantuk sekali. Semalaman ia bergadang karena ada jadwal operasi dadakan. Ia memejamkan matanya sebentar. Knop pintu kantornya tiba-tiba terbuka, menampilkan seorang pria dengan jas dokter yang sama datang membawa dua gelas kopi. "Dokter ganteng jangan tidur di kursi, nanti gantengnya hilang," kata pria jangkung itu. Mata sipitnya mendefinisikan bahwa pria ini keturunan Tionghoa. Baska–pria itu menaruh dua gelas kopi yang baru saja ia beli di atas meja. "Ketuk pintu sebelum masuk bisa, kan?" omel Daren yang langsung mengambil kopinya. "Ah, iya, lupa. Habisnya hening banget di dalam. Gue kira lo mati." Daren mendengkus menatap temannya itu. Ya, Daren dan Baska adalah teman satu universitas di Australia. Daren yang membawa Baska ke rumah sakit keluarganya dan mempromosikan pria itu agar bisa bekerja bersamanya. Mereka dekat sejak awal kuliah. Bagi Daren, Baska itu hidupnya. Tanpa Baska, ia mungkin akan lupa makan, lupa mandi, bahkan lupa tentang dirinya saking sibuknya. Baska tipe cowok maco yang akan menjadi bucin jika menyukai seseorang. Baska pria yang baik, bertalenta, dan kemampuannya hampir sama dengan Daren. Hanya saja Baska lebih memilih posisi ahli gizi dibandingkan menjadi dokter bedah sepertinya. Baska menyilangkan kedua tangannya. "Mau sampe kapan lo kaya gini terus?" Daren meneguk kopinya. "Kaya gini gimana maksud lo?" tanya Daren. "Ya, lo lihat diri lo kaya gimana sekarang?" Daren menatap wajahnya dari layar kamera ponselnya, lalu tersenyum. "Ganteng?" Baska memutar bola mata malas. Jika soal ketampanan, siapapun tidak bisa mengelak jika Daren memang tampan. "Bukan itu, Darek!" "Ck, nama gue Daren!" "Maksud gue, lo gak ada niatan cari pacar apa? Kasihan gue sama lo. Tiap hari pacarannya sama pisau bedah. Daripada sibuk bukain organ tubuh orang, mending buka hati lo, cari cewek yang lo suka, terus nikahin!" "Lo kira, nyari cewek itu semudah kaya nyari info di google? Lagian, gue belum ada pemikiran buat nikah. Lo sendiri? Kapan lo nikahin Davina? Mau sampe kapan lo gantungin adek gue?" Ya, Davina adalah adik kandung Daren yang kini tengah menjalin hubungan dengan Baska. Dunia memang sempit. "Davina aman. Gue bakal nikahin dia. Makanya lo nikah duluan! Davina itu bolehnya nikah setelah lo. Dia kan adik. Kakak duluan yang harus nikah!" "Ck, masih jaman mikir kaya gitu? Ini tahun berapa, Bas?" "Ya pokoknya intinya lo harus nikah, supaya gue sama Davina juga bisa nikah." Daren memutar bola mata malas. "Terserah." *** "Mey, jagain tas Sily!" kata seorang gadis yang kini sedang berada di atas tembok belakang sekolah. Sily melempar tasnya, kemudian bersiap melompat ke bawah dan BUGH! Pendaratan yang tidak sempurna. Jauh dari perkiraan yang Sily bayangkan sebelum melompat. Gadis itu mengusap pinggangnya yang sakit. Amey menghampiri Sily dan membantu gadis itu berdiri. "Padahal udah pake rencana teristimewa, tapi tetep aja jatuhnya sakit," rengek Sily sambil mengusap air matanya. Amey menghela napas. Ia membantu membersihkan rok abu-abu Sily yang kotor. "Udah jangan nangis! Ayo ke kelas! Udah telat, nih." "Kita emang udah telat, Amey!" kata Sily, sebal. "Iya maksudnya biar gak telat-telat banget, gitu, Sil." "Au amat, ah." “Ya udah, ayo!" Amey dan Sily pergi menuju kelas. Untung saja belum ada guru yang masuk. Mereka bisa bernapas lega. Sily mengeluarkan alat tulisnya. Irga, cowok itu menghampiri Sily sambil menyilangkan kedua tangannya. "Telat lagi? Semalam ke mana?" tanya Irga. Sily menundukkan kepalanya tidak mau menatap Irga. Cowok itu beralih menatap Amey. "Mey, semalam Sily ke mana?" "Oh, semalam Sily bergadang main ps di rumah," jawab Amey. "Amey, kok, jujur?" tanya Sily dengan nada suara khasnya yang agak kekanak-kanakan. Sily memang sudah kelas 3 SMA, tapi sifat dan kelakuannya masih seperti anak kecil. Mungkin karena sejak kecil ia terlalu dimanjakan oleh sang Mama. Itulah yang membuat Sily mudah menangis. Ia tidak bisa dibentak, tidak biasa melakukan hal-hal sendiri. Ia selalu butuh Mamanya. Anggap saja anak manja. Tapi, Sily anak yang berbakti. Ia tidak pernah menyusahkan Mamanya. Ia selalu membantu Mamanya ketika pulang sekolah. Sily juga anak yang pintar. "Kalo bohong namanya bukan Amey," sahut Amey. "Udah aku duga kamu main ps lagi. Kamu boleh main ps tapi gak boleh sampai bergadang, Sil." Sily mengerucutkan bibirnya. "Loh, Mama Brenda juga gak pernah omelin Sily kalo bergadang. Yang penting, kan, sekarang Sily udah di sekolah." "Terserah kamu, deh." Irga kembali ke tempat duduknya. Sily bangkit dan menghampiri Irga lalu memasang wajah memelasnya. "Iya, Sily salah. Sily minta maaf." Cowok itu menghela napas. Irga, Sily, dan Amey adalah teman sejak kecil. Rumah mereka bersebelahan. Sudah pasti mereka sangat dekat. Irga memang tegas. Ia selalu memarahi Sily dan Amey jika kedua gadis ini membuat masalah, terutama Sily. "Ya udah, nanti istirahat gak usah ke kantin. Mama bawain aku makanan buat kita bertiga." "Asik. Tante masak apa?" tanya Sily antusias. "Ayam kesukaan kamu dan Amey." Sily mengacungkan jempolnya. "Bilang tante, nanti ayamnya pasti Sily habisin. Tenang aja." Irga mengangguk saja. Tak lama, guru datang. Semua kembali ke tempat duduk masing-masing, termasuk Sily. "Hari ini saya ada rapat dadakan. Kalian belajar sendiri di kelas. Kerjakan soal latihan halaman 123-130. Hari ini dikumpulkan!" Sily menganga. "Bu, kok, banyak banget? Nanti kalo banyak, besok-besok Ibu bingung mau ngasih soal apa kalo soalnya habis duluan." Amey menahan tawanya, lalu mengacungkan jempolnya. "Sily pinter." *** Brenda sedang memasak di dapur. Ia sedang memasak ayam kesukaan putrinya, Sily. Matanya begitu fokus pada setiap bumbu yang akan ia masukan ke dalam panci berisi ayam rebus. Brenda tersenyum. Namun, tiba-tiba saja seseorang menggedor pintunya dengan begitu keras. Ia mengerutkan dahinya dan berlari kecil menuju pintu. Ia mengintip dari balik jendela. Ia melihat tiga orang pria bertubuh kekar berdiri di depan pintu rumahnya. Brenda membulatkan matanya. Ia menutup semua gorden dan pergi ke pintu belakang. Brenda mengambil tasnya dan juga ponselnya. Brenda mengendap-endap berjalan keluar. Namun, salah satu dari mereka melihat Brenda yang hendak membuka gerbang. Sontak Brenda langsung berlari. Ketiga pria itu mengejar Brenda yang berusaha berlari menghindar. Brenda mengambil ponselnya dan menelepon Sily, namun ponselnya tidak aktif. Brenda hanya punya kontak Sily di ponselnya. Ia melanjutkan larinya menuju sebuah gubuk di pinggir jalan. Brenda memutuskan bersembunyi di sana. Dalam keadaan itu, Brenda memanfaatkannya untuk mengirim pesan pada putrinya. Brenda gemetar ketakutan. "Sebenarnya apa mau kamu?" gumam Brenda dengan napas ngos-ngosan. Ketiga pria tadi berhenti tepat di depan gubuk yang Brenda diami. Dalam hati ia berdoa agar ia tidak ketahuan. Dan benar saja, doanya terkabul. Brenda menghela napas lega. Ia keluar dari persembunyiannya. Saat akan menyeberang, tiba-tiba sebuah truk datang dari arah samping, menghantam tubuh Brenda yang kurus. Disisi lain, Daren baru saja menyelesaikan operasi terakhirnya hari ini dan berniat pulang. Ia mengendarai mobilnya begitu pelan. Sebuah truk melewatinya dengan begitu cepat, membuat Daren sedikit terkejut. Truk itu berhenti tiba-tiba, membuat mobil Daren juga berhenti. Daren terdiam. Ia melihat seseorang tergeletak tak jauh dari truk. Pria itu membulatkan matanya. Ia buru-buru turun dari mobil dan berlari ke sana. Ia menghampiri orang itu; seorang wanita dengan darah segar yang terus mengalir dari kepalanya. Daren mengeluarkan ponselnya dan menelepon ambulan. Ia mencoba memberikan pertolongan pertama. Namun saat itu wanita yang ada dihadapannya tersadar. "Ibu harus tetap sadar. Sebentar lagi ambulan datang. Saya mohon Ibu jangan tutup mata," suruh Daren. Brenda mengeluarkan ponselnya. Dengan tangan gemetar ia memberikan ponsel itu pada Daren. Daren bisa melihat sebuah foto yang menjadi walpaper di ponsel itu. Foto wanita yang saat ini ada dihadapannya dengan seorang gadis remaja. Mungkin usianya sekitar 17 tahunan. Daren tidak mengerti kenapa Brenda menunjukkan foto itu padanya. "Dia ... anak saya," kata Brenda dengan suaranya yang gemetar. Wanita itu menggenggam tangan Daren. "Tolong jaga anak saya," pinta Brenda sambil meneteskan air mata. "Saya gak bisa. Ibu harus pulih. Ibu sendiri yang harus jaga anak Ibu." Brenda menggelangkan kepalanya. "Dia dalam bahaya. Kamu harus lindungi dia." Brenda terbatuk, membuatnya mengeluarkan darah segar dari mulutnya. Daren semakin panik. Brenda menggenggam tangan Daren semakin erat. "Tolong janji sama saya. Tolong jaga Silyka." Daren mengigit bibir bawahnya. Bagaimana ia bisa berjanji untuk menjaga seseorang yang tidak ia kenal? Tapi, melihat wanita yang ada dihadapannya sangat memohon membuat Daren luluh. Pria itu mengangguk. "Saya janji. Saya akan jaga anak Ibu. Tapi saya mohon Ibu harus bertahan. Sebentar lagi ambulan datang." Brenda mulai kejang. Daren memeriksa denyut nadi wanita itu. Namun, tiba-tiba saja denyutnya berhenti. Daren juga tidak bisa merasakan embusan napas wanita itu lagi. Wanita itu meninggal di depan mata Daren. Pria itu membeku. Ini persis seperti apa yang terjadi 10 tahun lalu. Saat Mamaya meninggal dihadapannya. Saat ia tidak bisa melakukan apapun. Bahkan meskipun ia seorang dokter, ia tetap tidak bisa menyelamatkan orang disekitarnya. Tak lama ambulan datang. Daren berdiri dengan bajunya yang penuh darah. Ia melihat ponsel wanita itu berdering menampilkan nama Silyka. Daren mengambilnya dan mengangkat telepon itu. Mama Brenda, rumah kita kebakar. Mama Brenda di mana? Sily takut. "Kirim alamat rumah kamu sekarang!" pinta Daren. Ini siapa? Mama Brenda mana? "Nanti saya jelaskan. Sekarang kirim alamat rumah kamu." Setelah Brenda dibawa oleh ambulan, Daren berlari masuk ke dalam mobilnya dan pergi menuju alamat yang Sily berikan. Daren mengendarai mobilnya dalam diam. Ia masih teringat dengan wanita tadi. Sebelum wanita itu benar-benar meninggal, dia sempat menyebutkan nama seseorang. "Hendrey?" Daren memijat pelipisnya. Ia menatap lagi foto Brenda dan Silyka yang menjadi walpaper di ponsel itu. Ia melihat sebuah nama yang ada di sudut foto. "Silyka Moerems." -bersambung-
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD