pertemuan pertama

1136 Words
Di meja bundar sebuah bar, kartu-kartu domino dilempar ke tengah. Satu kali dua kali hingga ke tiga kalinya, seorang pria tambun mengalami kekalahan. Seluruh uangnya kini telah habis di meja judi. Pria itu adalah Pak Kas, ayah Amara. Sudah sejak lama Ia kecanduan judi sampai-sampai sertifikat rumahpun tergadai untuk memuaskan hasratnya sendiri. Kini, setelah istrinya meninggal, Amaralah yang sering bolak-balik ditagih utang. Padahal Amara masih 17 tahun dan baru saja lulus SMA. Kata tetangga, Amara hanya menunggu waktu yang tepat untuk dijual sang ayah. "Hei, pinjami aku uang," pinta Pak Kas pada seorang pria muda yang tengah memesan alkoholnya. Bukan tanpa alasan Pak Kas meminta. Setelan pria itu terlihat mahal dan berkelas. Sama sekali tidak cocok dengan suasana bar yang murahan. "Memang punya jaminan? Masalahnya aku sering ditipu orang," kata si pria menyulut rokoknya dalam capitan tangan. Ia terlihat tidak begitu peduli dengan penjudi mabuk yang sok akrab. Pak Kas menyodorkan kartu identitasnya ke atas meja. "Kalau menang, aku akan membayarmu dua kali lipat nanti. Bagaimana?" Bullsyit. Di matanya, Pak Kas adalah pecundang sejati. Tidak punya uang juga nol keterampilan. Buat apa berinvestasi pada orang bodoh? "Ah, aku punya satu jaminan lagi," gumam Pak Kas merogoh isi dompetnya sembari berkedip karena mabuk. Si pria tertarik. Ia berhenti menyesap alkoholnya saat disodorkan sebuah foto seorang gadis. Itu Amara yang tengah tertidur pulas dengan baju SMA. "Bagaimana? Putriku cantik, kan?" Pak Kas terkekeh kencang. Sepertinya ia benar-benar mabuk sekarang. "Maksudnya, kamu menjaminkan putrimu untuk uang, begitu?" Pria itu berdecak tak percaya. Bagaimana bisa seorang ayah menjual anaknya? Terlebih di jaman serba modern di mana hukum lebih membela HAM daripada penagih hutang. "Kenapa? Dia putriku. Kalau tidak mau ya sudah!" Pak Kas merebut foto Amara kesal. Ia merasa sudah membuang-mbuang waktunya, padahal sebentar lagi putaran kedua akan segera dimulai. Pria itu menghela napas panjang, mengeluarkan sesuatu dari dalam sakunya. Sebuah cek senilai sepuluh juta ia sodorkan ke arah Pak Kas. "Ini cukup? Ayo buat perjanjiannya dulu." Pak Kas terkekeh senang. Pikirnya, sepuluh juta akan segera ia kembalikan. Mana mau ia menyerahkan Amara pada pria asing? Setelah membuat video perjanjian juga tanda tangan digital, Pak Kas langsung berbalik pergi, mengantongi cek itu. "Dasar sinting, kalau bukan karena kasihan sama anaknya, tidak mungkin kupinjami!" gerutu pria itu menenggak minumannya hingga tandas. Di sana, banyak mucikari yang menunggu penjudi menggadaikan anaknya demi uang tambahan. Satu-satunya alasan kenapa ia ada di sana adalah tempat itu murah. Tidak akan ada yang mengenalinya karena semua kolega juga temannya adalah orang kaya. Pria itu adalah Pramuditya, CEO perusahaan penerbitan. Ia tengah frustasi karena dipaksa menikah oleh orangtuanya. Kalau sampai itu terjadi, hidup Pram tidak akan pernah bebas. Ayahnya, Pak Subono, pasti menyuruhnya menutup perusahaan penerbitan untuk mengganti posisinya di perusahaan kontruksi milik keluarga. Padahal jelas-jelas impian terbesar Pram adalah mandiri dan keluar dari bayang-bayang sang ayah. Perusahaan kontruksi itu bisa diteruskan siapapun, Pram tidak peduli. Terlalu banyak urusan politik dan dana gelap. Pram tidak mau hidupnya diatur, terlebih perusahaan penerbitannya berpenghasilan cukup. Terbukti belum ada setahun, ia sudah bisa membeli rumah juga mobil. Ya, meski nilainya masih jauh dari perusahaan kontruksi. Satu jam berselang, saat Pram akan pergi, terdengar keributan dari arah ruang judi. Sekelompok pria tengah melibatkan sesuatu sampai pihak keamanan akhirnya datang menengahi. Di antara mereka, terlihat Pak Kas berteriak kencang, menyalahkan dua orang yang berseteru dengannya. Ia menuduh bandar judi telah berkomplot untuk menipu permainan. Padahal nyatanya, Pak Kas jelas-jelas kalah dan tidak mau menerima hasil. "Cih, uangku terbuang percuma," gerutu Pram mematikan bara rokok ke atas asbak. Sudah hampir dini hari. Waktunya ia pulang untuk istirahat sebentar sebelum berangkat ke kantor. Tapi, suara teriakan wanita bar menghentikan langkahnya untuk keluar pintu. Pram berdiri mematung, menatap bagaimana orang-orang menunjuk ke arah Pak Kas. Pria paruh baya itu tergeletak memegangi tangannya yang terkena tusukan pisau. Kalau saja Pram langsung pergi, ia mungkin tidak akan terlibat terlalu jauh. Tapi ia kemudian ingat tentang uang sepuluh jutanya. Ya, tentu saja Pak Kas tidak boleh mati sebelum membayar hutang. ---- Dua jam kemudian, rumah sakit. Seorang gadis berseragam mini market berlari, menyusuri bangsal tiga. Wajahnya khawatir dan beberapa kali berhenti agar tidak tersesat. Tak lama kemudian, ia akhirnya tiba di bangsal tiga dimana Pak Kas tengah tertidur pulas. Gadis lusuh itu adalah Amara, yang beberapa saat lalu mendapat kabar tentang penusukan sang ayah. Pekerjaan terpaksa ditinggal meski kemungkinan besar akan berakhir pada pemecatan. "Bapak kenapa?" isak Amara tanpa memperdulikan sekitar. Sebenci apapun pada kelakuan ayahnya, ia tetap khawatir kalau-kalau hidup sebatang kara. Kematian sang ibu sudah cukup membuatnya down. Ditambah lagi uang gajinya tidak pernah cukup untuk membayar hutang. "Bapak tahu? Mara sudah capek mengurus ini dan itu!" pekiknya memukul-mukul tempat tidur. Ia benar-benar tidak habis pikir bagaimana bisa ayahnya berjudi di saat mereka bahkan tidak punya uang? "Tenang, Mar, Bapak janji akan berusaha cari uang lagi. Malam ini hanya sedang sial saja," cengir Pak Kas menunjuk luka dipergelangan tangannya yang telah diperban. Amara menjerit kesal, ingat tentang biaya perawatan. Kenapa harus dibawa ke rumah sakit, sih? cukup ke klinik kecil kan bisa? "Mara tanya, Bapak dapat uang judi dari mana?" Amara mendelik, antara penasaran dan was-was. Pak Kas untuk sesaat bungkam, takut kalau-kalau dimarahi lagi. Selama ini Amara sering mengomel karena ia selalu mengambil uang di dompet tanpa ijin. Tak hanya itu saja, disembunyikan di manapun, uang tabungan Amara tetap ditemukan. Padahal semuanya untuk biaya makan juga bayar cicilan hutang. Tapi Pak Kas selalu mengacau. Amara bahkan pernah kepikiran untuk pergi, tapi buat apa? Pak Kas adalah satu-satunya keluarga. "Bapak ambil di bawah tempat penyimpanan beras, Mar!" Pak Kas menghela napas panjang," ta-tapi, tadi itu hampir saja menang, cuma penjudi lain berlaku curang." Amara nyaris menangis kencang, tapi karena sedang di tempat umum, terpaksa ia tahan. Itu uang gajinya yang baru diterimanya kemarin. Kalau habis mereka mau makan apa? "Permisi, ini obatnya dan semua sudah lunas," kata Pram yang sebenarnya sudah ada di sana sejak tadi. Pria itu duduk, menikmati pertengkaran bapak anak sambil mengunyah permen mint. "Eh, kamu siapa?" Amara terkejut saat menatap biaya perawatan yang cukup besar untuknya. Gadis ini mungkin cantik, sayangnya terlalu lusuh, batin Pram menatap jam di pergelangan tangan. Sudah terlambat untuk pulang ia akan langsung ke kantor untuk rapat editor. "Ah, dia hanya kenalan kok." Pak Kas menatap khawatir dengan pandangan mata Pram yang terkesan menilai anaknya dari ujung rambut sampai pangkal kaki. Paling tidak jangan sampai Amara tahu tentang perjanjian gilanya dengan orang asing. "Aku seorang rentenir. Jadi pastikan ayahmu membayar seluruh hutangnya padaku. Kamu Amara, kan?" Pram melirik Pak Kas, mencoba mengintimidasi pria itu agar diam sebentar. "Rentenir kamu bilang?" Amara mendelik kesal. Kepalanya serasa meledak setiap terlibat masalah uang. Mungkin cuma kematian yang bisa menyelamatkannya dari ulah sang ayah. "Hubungi aku nanti siang. Kalau tidak, aku akan menjebloskan ayahmu ke penjara."
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD