Prolog

632 Words
—Agustus, 2005 Seorang ilmuwan berusia muda tengah melakukan eksperimen di laboratorium miliknya. Laboratorium ini terletak di tengah hutan pinus di daerah Kutai dan hanya dihuni oleh keluarga kecil sang ilmuwan. Ia terus meneliti tentang portal waktu, siang malam ia terus meneliti. Saat ini, banyak tabung reaksi dengan berbagai larutan di atas mejanya. Komputer terus menyala menampilkan angka-angka yang tak bisa dibaca oleh orang biasa. Ilmuwan itu mengamati layar komputernya yang menampilkan angka-angka yang tiba-tiba terus bergerak ke bawah dengan cepat. Ia merasa heran, mengapa reaksinya secepat ini. Tiba-tiba saja, sebuah cahaya biru berpendar dari tiga ujung besi yang terhubung dengan komputer miliknya. Semakin lama cahaya itu semakin membesar. Cahaya itu kemudian memancar lurus ke arahnya, ilmuwan yang tidak siap dengan apa yang dialaminya saat ini pun menangkis cahaya tersebut. Cahaya yang tadinya hendak mengenai sang ilmuwan muda itu akhirnya memancar ke arah pohon pinus karena terpantul oleh permukaan jam tangan miliknya. Kaki ilmuwan itu mulai melangkah ke arah jendela laboratoriumnya untuk melihat nasib si pohon pinus. “Ayah.” Panggilan lirih dari putri kecilnya membuat sang ilmuwan menghentikan langkahnya, Ilmuwan itu menatap putrinya yang baru berusia sepuluh tahun itu seraya menarik kedua sudut bibirnya. "Ayah, jangan coba-coba terus," lirih Rayna. Ilmuwan itu kemudian menghampiri putrinya, ia sedikit membungkuk untuk menyesuaikan tingginya dengan Rayna. "Ini memang pekerjaan Ayah dan Ayah sudah tahu risikonya," ujar ilmuwan tersebut. Rayna hanya diam, ia memandang Ayahnya lekat. Ilmuwan itu lagi-lagi tersenyum, kemudian ia mengacak rambut puncak kepala putrinya. "Di mana Ibu?" tanya ilmuwan tersebut. "Ibu memasak cumi-cumi pedas untuk makan siang kita," jawab Rayna. Ilmuwan itu mengangguk pelan, seraya tersenyum. Rayna tetap diam, gadis kecil itu terus saja menatap lekat sang Ayah. Ilmuwan itu kemudian kembali berjalan ke arah jendela laboratoriumnya, ia melihat sebuah portal yang berada di batang pohon pinus tersebut. "Mustahil," gumam Ilmuwan tersebut. Ia bergegas keluar dari laboratorium dan berlari menuju ke pohon pinus. Tanpa pikir panjang, ia bergegas masuk ke dalam portal waktu, sedangkan Rayna masih terdiam di tempatnya. Setengah jam berlalu, tak ada tanda-tanda bahwa sang ilmuwan akan pulang atau portal akan tertutup. Rayna mendekat ke arah portal itu, ia berniat untuk menyusul Ayahnya. Tiba-tiba saja, tubuh Ayahnya terlempar ke dalam laboratorium dari dalam portal tersebut. Terdapat pisau yang menancap di perut sang ilmuwan itu. Lalu, lingkaran portal waktu perlahan mengecil. Tangannya yang lemas merogoh kantong jas putih miliknya. Ia mengeluarkan sebuah kalung dengan liontin berbentuk kunci dari perak. "Si- Simpan da- Dan jagalah," ujar ilmuwan itu terbata-bata. Rayna meraih kalung tersebut, kemudian ia mengenakkannya. Perlahan, mata ilmuwan itu terpejam.Napasnya yang tadi memburu dalam memngucapkan satu persatu kata, kini sirna. Hening sudah menyapa. Tubuh Rayna membeku melihat sang Ayah yang kini telah tiada. Rayna kemudian berlari ke luar laboratorium, ia ingin melihat apa yang berada di dalam portal waktu itu sehingga Ayahnya bisa tiada. Shiren, sang ibu yang tak sengaja melihat Rayna keluar dari laboratorium pun ikut keluar menyusul putrinya takut-takut putrinya akan tersesat. Saat portal waktu hampir benar-benar hilang dan Rayna tiba di dekat pohon pinus tersebut, tiba-tiba saja komputer milik sang ilmuwan yang berada di dalam laboratorium itu meledak. Portal waktu pun tertutup dengan cepat, sedangkan laboratorium itu terbakar dilahap sibjago merah. Rayna dan Shiren terdiam membeku. Shiren pun berlari ke arah laboratorium hendak menyelamatkan sang suami. "Ibu! Apa yang kau lakukan?!" tanya Rayna. Shiren menghentikan langkahnya, ia kemudian berbalik. "Tentu saja menyelamatkan ayahmu!" "Ayah telah tiada karena portal waktu! Tak ada gunanya jika kau ke sana, Ibu!" teriak Rayna karena jarak antara ia dan Shiren cukup jauh. Shiren terduduk seketika setelah mendengar penuturan dari anaknya. Ia menggeleng pelan seraya menumpahkan air matanya. "Mustahil. Tidak mungkin," gumam Shiren. "RAMA! TIDAK! KAU TIDAK MUNGKIN TIADA! INI MUSTAHIL!" teriak Shiren di tengah tangisnya. Sedangkan Rayna memandang pohon pinus itu dengan tatapan benci. Ia kembali memandang liontin kalung pemberian sang ayah. "Ayah, siapapun yang melenyapkanmu, aku berjanji akan menemukannya. Saat aku telah menemukannya, aku akan membalas perbuatannya." »»»to be continue«««
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD