Tentang Asih 1

1022 Words
Asih sudah lama putus sekolah. Bukan tidak mampu secara ekonomi, tapi karena dia seorang yatim piatu. Pamannya yang menjadi wali sementara Asih,memakai harta warisan untuk kepentingan pribadi. Tidak terhitung, berapa kali tanah yang bukan haknya dijual demi memenuhi kepentingan keluarganya sendiri. Maklum, hukum di desanya tidak mengatur soal warisan dengan benar. Jadi, begitu Asih diserahkan pada Bagio, Pamannya, ia yang masih berusia 10 tahun saat itu, hanya bisa menerima. Tetangga dan aparat desa tidak bisa berbuat banyak karena Bagio dikenal licik dan kasar. Namun di balik sifatnya yang gila harta, Paman Bagio tidak sepenuhnya tega menelantarkan Asih. Semua kebutuhan hingga sandang, selalu dicukupi. Ia selalu menyamaratakan Asih dengan dua anaknya yang lain. Kecuali soal pendidikan. Tentu aja, Paman Bagio tidak mau saat besar, Asih menagih uang warisan orang tuanya lewat jalur hukum. Sebisa mungkin, Asih dididik untuk disiapkan sebagai calon istri yang baik. Bukan hanya diajari tugas rumah tangga dan keahlian memasak. Bahkan, di beberapa kesempatan, Asih dikursuskan menjahit. Semua itu dilakukan agar di kemudian hari, suami Asih tidak memandangnya sebagai benalu karena berpendidikan rendah. Tugas terakhir Paman Bagio adalah mengantarnya ke pelaminan untuk dinikahkan, tentu saja dengan lelaki terbaik. Sepuluh telah berlalu sejak Asih tinggal di rumah Paman Bagio. Selama itu pula, Asih kecil perlahan menjelma menjadi gadis berkulit putih yang cantik. Tubuhnya pun tinggi semampai hingga para bujang desa mulai mengantri untuk mempersunting. Hal itu rupanya membuat dua anak gadis Paman Bagio cemburu. Nala si sulung dan Mila si bungsu, sama-sama kecewa karena pria incaran mereka justru ikut terpikat. Sekalipun mereka memberitahu ayahnya, Asih tetap punya hak tinggal di rumah sampai hari pernikahannya tiba. Di hari-hari biasa, saat Asih membawa hasil makanannya pada buruh di ladang, para pria akan membuntuti Asih sepanjang jalan. Hal itu lambat laun menyebar,kemudian jadi bahan gosip buruk di seluruh penjuru kampung. Paman Bagio terdesak dan tidak punya pilihan selain harus mulai memikirkan masa depan sang keponakan. Bisa gawat kalau Asih mendapat cap tidak baik oleh calon mertuanya. Pada suatu malam, Asih akhirnya diajak bicara serius oleh sang Paman. Gadis itu baru saja selesai mencuci piring kotor dan memanaskan sisa lauk ketika Paman Bagio memanggilnya untuk duduk di ruang tengah. Berbeda dengan Lana dan Mila, Asih selalu membantu Bibinya dalam urusan dapur dan bersih-bersih ruangan. Orang yang tidak tahu statusnya dalam keluarga, pasti akan mengira kalau Asih hanya seorang pesuruh biasa. Tapi hal semacam itu tidak mempengaruhi Asih, ia selalu berpikir positif tentang pilihan sang Paman untuk hidupnya. Ia yatim dan sudah sepantasnya tidak banyak menuntut. "Sih, kamu sudah siap menikah belum?" tanya Paman Bagio menyeruput jahe hangat yang dibuatkan oleh Asih. Semakin hari, keponakannya itu pintar menjamu. Lidah Paman Bagio sendiri mulai suka minuman buatan Asih ketimbang istrinya yang sudah mendampinginya selama puluhan tahun. Sungguh beruntung calon suami Asih nanti, batin Paman Bagio menatap sayang pada gadis cantik itu. "Menurut Paman bagaimana? Asih menurut saja," katanya menunduk, memainkan jemarinya kalut. Selama ini, ia tidak pernah berani menolak permintaan Pamannya. Seolah, Asih hidup untuk menjadi boneka bagi keluarga Paman Bagio. Menuruti segala keinginan orang lain tanpa memikirkan dirinya sendiri. Paman Bagio sadar, sudah saatnya melepas sang keponakan. Fisik juga batin gadis itu harusnya sudah cukup dewasa untuk melayani suaminya. Kalau ditunda lagi, bisa-bisa ada pria gila yang nekad merenggut Asih secara tidak terhormat. "Ada baiknya, mulai sekarang kamu mulai menyiapkan dirimu. Besok Paman mau ke kota, menemui teman lama. Sebulan lalu kami sepakat untuk menjodohkanmu dengan salah satu keluarganya." Paman Bagio menelisik wajah Asih yang sedikit mendung, mungkin kaget karena tiba-tiba diberi penawaran serius. "Asih, kamu percaya Pamanmu ini, kan?" Pria paruh baya itu menuntut Asih agar mengangguk. Sejak tadi roman wajah Asih belum juga membaik. Seolah pilihan yang diberikan padanya terkesan memaksa. Padahal bagi Paman Bagio sendiri, ia benar-benar sudah berusaha semampunya. Bukankah bagi seorang wanita, pendidikan setinggi apapun, tidak berguna? Wanita tetap melahirkan anak, memasak dan membuatkan makanan bagi keluarganya. Asih sudah lebih dari cukup untuk mendapat pendamping terbaik. "Iya Paman, Asih mengerti." Asih mengangkat wajahnya sendu. Kali ini, gadis cantik itu tidak bisa pura-pura tersenyum. Jelas, hatinya tengah ngilu karena memikirkan harus hidup dengan orang asing. Bayangannya tentang kehidupan setelah pernikahan, sangat menjijikkan. Asih belum siap disentuh dan melayani pria layaknya wanita dewasa. Selama ini, Asih diam-diam benci dengan tatapan para pemuda desa yang seolah ingin menelanjanginya. Andai bisa, Asih ingin menyembunyikan dirinya dalam pengasingan, tanpa laki-laki. Sebelum gejolak batinnya tidak terkendali, Asih pamit pergi. Ia membuat dalih kalau kepalanya tiba-tiba pusing. Paman Bagio membiarkan Asih berlalu, menuju kamarnya yang terletak di pojokan tangga. Ruangan itu tidak terlalu luas, tapi Asih memilih untuk tinggal di sana karena paling dekat dengan dapur. Paman Bagio berdiri, menatap punggung Asih yang kemudian menghilang ke balik pintu. "Apa keputusanku terlalu cepat?" gumam Paman Bagio bimbang. Ia termenung lama hingga kemudian perhatiannya teralih pada layar ponsel yang tiba-tiba bergetar. Ternyata ia mendapat panggilan dari Fajar, teman lamanya yang tadi sempat disinggung dalam pembicaraan. "Assalamualaikum, teman! Tumben telepon malam-malam, ada apa?" tanya Paman Bagio sesaat setelah ia mengangkat panggilan itu. Tapi rupanya suara dari seberang sana terdengar samar, jadi ia memutuskan untuk keluar. Di desa, sinyal kadang kalah dengan tingginya pepohonan. Beberapa orang bahkan lebih memilih telepon kabel daripada ponsel. Begitu Paman Bagio pergi, pintu kamar Asih perlahan terbuka sedikit. Gadis itu menjulurkan kepalanya keluar lalu berdiri lama di sana. Bukan untuk melakukan sesuatu, tapi hanya ingin meratapi nasib yang tidak beruntung. Sia-sia rasanya ia hidup hanya untuk mewujudkan keinginan orang lain. Tidak bisakah ia dibiarkan memilih walau hanya satu kali? Tanpa sadar, Asih menangis. Tubuh rampingnya bergetar, menahan sesak dalam hati. Sebenarnya ia bukanlah gadis penurut, tapi penakut. Sejak kecil, ia berusaha agar tidak diusir. Jadi Asih memutuskan untuk menjadi anak baik yang tidak akan menuntut apapun. Bahkan meski ingin sekolah, ia memilih untuk belajar diam-diam lewat android bekas milik saudarinya. Namun, apa yang ia dapat dari semua itu hanyalah pemaksaan belaka. Lelucon yang tengah dimainkan sang Paman membuatnya sadar, kalau menjadi baik pada orang serakah tidak akan menghasilkan apapun. Asih berjalan pelan menuju jendela, mengintip bayangan Pamannya yang tengah asyik tertawa dengan gawainya. Kebahagian itu sangat kontras dengan suasana hati Asih yang dipenuhi kegelapan. Rasa sakit juga pengekangan yang selama ini Asih rasakan, sudah saatnya diakhiri bukan?
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD