Bau Busuk

1164 Words
"Astagfirullah, bau apa ini?!" Aku menutup hidung dan langsung berlari ke toilet. Tak tahan dengan bau busuk di dalam kamar, aku memanggil ART untuk mencari asal bau itu. Namun, karena penasaran, aku pun ikut mencarinya. Bi Inem berjongkok untuk memeriksa di bawah kolong ranjang, tapi ia tak menemukan apa-apa. Aku yakin asal baunya dari kasur ini. "Bu, ini kayaknya bangkai tikus. Soalnya semalam waktu saya cuci piring ada tikus lari-larian," jelas Bi Inem. "Tapi, Bi, kalau emang bangkai tikus, kenapa bisa mati di kamar saya? Kita `kan gak punya kucing." Bi Inem menggeleng pelan, ia melanjutkan pencarian. Baunya semakin menyengat, aku sampai harus menunggu di luar. Ponsel di saku bajuku bergetar, ada panggilan dari seseorang. Rupanya Mas Arif. Tumben sekali menelepon di jam sibuk seperti ini. "Halo, Mas? Kenapa?" tanyaku menjawab panggilannya. "Mas? Halo? Mas?" Tidak ada sahutan, hanya terdengar suara berisik dari sana. Lama menunggu sambil terus memanggilnya, tiba-tiba terdengar suara wanita cekikikan. Aku mengeraskan volume, mendekatkan ponsel ke telinga. Suaranya sangat jelas meski agak ribut. Siapa wanita itu? "Bi Inem, coba denger. Ada suara cewek gak?" tanyaku ketika wanita paruh baya itu baru keluar dari kamar. "Iya, Bu, ada. Itu siapa?" Aku menggeleng pelan, lalu perhatianku tertuju ke sebuah gulungan kain yang digenggam Bi Inem. "Itu apa, Bi? Bangkai tikusnya?" tanyaku penuh selidik. Bi Inem menggeleng cepat dan menyembunyikan gulungan itu di belakang tubuhnya. Aku mulai curiga. "Ma–maaf, Bu, masih ada pekerjaan penting di dapur. Saya permisi." Aku mengembuskan napas kasar, gelagat Bi Inem lumayan mencurigakan. Sebenarnya ada apa? Karena masih penasaran, aku memasuki kamar dan ternyata bau itu sudah hilang. Ah, masa bodoh dengan apa yang dirahasiakan Bi Inem. Yang penting kamar kembali harum dan aku bisa istirahat dengan nyaman. *** "Mas? Udah pulang? Langsung mandi, ya udah aku masakin makanan kesukaan kamu," ucapku manis. Sayangnya, Mas Arif tak menggubris, ia sibuk mengetik sesuatu di w******p. Entah dengan siapa. Foto profilnya pun tidak begitu jelas. "Hm." Hanya itu balasannya. Ya Tuhan, sampai kapan ia seperti ini? Aku mulai tak tahan. Setelah ia makan, aku membereskan tempat tidur untuknya beristirahat. Tidak ada obrolan malam seperti biasanya, langsung terlelap memejamkan mata. Tak masalah, ini kesempatan. Ponselnya sedang diisi daya. Aku mengecilkan volume terlebih dahulu, takutnya suara ponsel membuat Mas Arif terbangun. Setelah membuka kunci geser, aku menghela napas berat. Dikunci. Tumben sekali. Bugh! Aku yang tadinya mencoba memejamkan mata pun terjaga setelah mendengar suara tersebut. Bau busuk yang tadi pagi muncul, kini tercium lagi. Tirai bergeser, tampaklah suasana malam yang gelap dan menyeramkan. Aku takut, tapi entah mengapa mata enggan melepas pandangan. "Bi Inem?" Siapa yang mandi malam-malam begini? Bi Inem dipanggil pun tak menjawab. Hanya ada tiga orang di dalam rumah, aku dan Mas Arif belum memiliki anak. Suara air bergemericik membuatku merinding. Kerannya menyala, siapa di dalam sana? "Risti ...." Aku terkejut bukan main. Mas Arif berdiri di belakang dengan tatapan kosong. Ia tersenyum sangat lebar, perasaanku mulai tak enak. "I–itu, Mas, ada yang man—" "Mas?!" Ia menghilang begitu cepat. Aku yang ketakutan setengah mati pun langsung berlari menuju ruang tamu. Seseorang menepuk pundak dan aku spontan menoleh. "Kamu ngapain malam-malam di sini?" tanya Mas Arif heran. Dahinya mengerut. Ia terus menatap mataku. "Ta–tadi keran air nyala, jadi aku mau cek. Bukannya Mas Arif di dapur tadi? Kapan sampenya?" "Ngawur kamu. Mas baru aja keluar dari kamar karena kamu gak ada." Mengerikan, jadi siapa yang tadi memanggil namaku? Aku tertunduk, antara takut dan cemas akan terjadi sesuatu. Apakah suara di kamar mandi dan sosok Mas Arif tadi hanya halusinasi? Ketika aku mendongak, aku membekap mulut karena ingin berteriak. Sosok wanita berkepala dua berdiri di belakang Mas Arif dengan tatapan jahat. *** Sudah tiga hari ini aku demam tinggi, tak nafsu makan, dan sering mengigau. Ingin rasanya meminta Mas Arif untuk ambil cuti dan menemaniku di malam hari. Namun, ia selalu beralasan sedang banyak pekerjaan. Tak bisa ditunda. Pada akhirnya, aku meminta Bi Inem untuk tidur bersamaku. Entah mengapa, aku jadi tak terbiasa tidur sendiri. "Bi, bisa tolong nyalain lampu aja? Saya takut," kataku. "Iya, Bu. Ini saya mau ambil minum juga sekalian. Siapa tahu Ibu haus tengah malam." Bi Inem sangat baik, ia telah bekerja di rumah kami selama tiga tahun. Aku telah menganggapnya keluarga. Sangat sulit mendapatkan ART sebaik dirinya. Ah, tapi ke mana dia? Sudah cukup lama aku menunggu. Mata mulai tak bisa diajak kompromi. "Mas Arif online tiga menit yang lalu? Hm ...." Aku mendadak curiga, biasanya jika sedang online akan mengirimiku pesan. Setidaknya diberi kabar, kapan pulang. Karena gelisah, kuputuskan untuk menge-chat duluan. [Mas, udah makan? Jangan telat makan, ya, punya maag.] Lengkap dengan emotikon love agar ia bersemangat. Centang biru, hanya dibaca. Hatiku mulai terasa perih. Mengapa Mas Arif sangat berubah belakangan ini? *** Setengah jam lebih menunggu Bi Inem kembali, ia tak kunjung menampakkan batang hidungnya. Sudah malam, seharusnya pekerjaan rumah telah ia selesaikan. "Bi?" panggilku setelah menyalakan lampu kamar. Ingin mencarinya langsung, tapi di luar sana lumayan gelap. Aku takut sendirian. Bagaimana jika sosok berkepala dua itu kembali datang menakuti? "Bi, jangan bercanda deh. Saya gak suka!" Aku mulai kehilangan kesabaran. Derit pintu terdengar, asalnya dari dapur. Bi Inem hilang tanpa jejak dan aku tak sanggup berdiri lebih lama. Rasanya kedua kaki lemas tak berdaya. "Bu?" Sebuah tepukan kecil di pundak membuatku terkejut. Ketika menoleh, sosok wanita paruh baya itu tidak ada. Ke mana? "Bu, airnya ada di atas meja." "Bi Inem di mana?" tanyaku dengan suara bergetar. "Saya sudah di kamar dari tadi, Bu." Jantung rasanya hampir copot. Jika Bi Inem sejak tadi sudah berada di kamar, mengapa aku tidak melihatnya? Jelas-jelas di kamar itu hanya aku, tidak ada siapa-siapa. Aku menghembuskan napas pelan, lalu berusaha tenang. Baik, mungkin salah lihat karena sedang kurang sehat. Perlahan melangkah menuju kamar yang lampunya sudah dimatikan. Bi Inem sangat tahu bahwa aku tak bisa tidur dengan lampu menyala. "Astagfirullah, ini bau apa lagi?" Aku membekap mulut karena ingin muntah. Bau itu datang lagi, bahkan lebih menyengat dari sebelumnya. Ya Tuhan, apakah rumah ini dihuni banyak makhluk halus? Aku meraih ceret yang telah disediakan Bi Inem. Ketika menuangkannya di gelas, bukan air segar yang siap diminum, melainkan cairan merah kental berbau amis. Ya ... darah. Ceret itu isinya darah. "Bibi!" Aku berteriak memanggil namanya, tapi tidak ada sahutan. Jantung berdegup kencang, haruskah menelepon Mas Arif untuk segera pulang? Tidak, aku takut pekerjaannya masih banyak. "Ya Allah, apa lagi ini?" Ceret berisi darah itu kubawa keluar dan langsung melemparnya ke samping rumah lewat jendela. Aku bingung harus berbuat apa, pikiran semakin kalut. Rumah ini tidak aman, aku harus segera mencari tempat tinggal baru. [Mas, besok kamu cuti, 'kan? Aku mau bicara hal penting.] Setelah mengirim pesan itu, aku naik ke ranjang dan berusaha memejamkan mata. ***
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD