Bab Satu

2139 Words
2 Tahun Sebelumnya Musim gugur membuat daun pohon Birch di sepanjang jalan Rublevo-Uspenskoye menguning kemerahan lalu rontok bersaaaman angin yang bertiup. Angin lembut yang dinginnya menusuk hingga tulang. La Vie mengeratkan jaket padding hitam yang menutup gaun merahnya. Ia membuka jendela membiarkan udara beku memenuhi Limousine hitam yang membawanya separuh jalan menuju Hotel  Barvick. Pemandangan malam, lampu kota, bangunan dan pohon Birch membuatnya tenang. Sejak pertama undangan dari Kedutaan Besar Flander-Belgium yang bekerja sama pemerintah Rusia tiba seminggu lalu di tangannya, ia dilingkupi rasa gugup. Entah berapa lama ia berharap mendapat kesempatan khusus ini, hingga jauh-jauh hari sudah mempersiapkan diri, gaun, sepatu dan aksesoris yang mesti ia kenakan. Tamu kehormatan yang disambut Pemerintah Rusia malam ini bukan sembarangan. Ia adalah putra mahkota kerajaan Flander-Belgium. Salah satu negara besar yang terletak di lepas pantai barat laut benua Eropa. Rekan dagang, militer Rusia. Kunjungan kenegaraan pertama Pangeran Victor Alexander Leopold Hasburg dirayakan meriah. Ia digadang-gadang jadi pewaris berikutnya Raja Cos Valentine Leopold Hasburg II, yang kini sudah memasuki usia senja. La Vie tak punya ingatan jelas tentang dinasti Hasburgh, terutama mengenai Cos Valentine II, ayahnya. Ia dibuang ketika masih berusia 3 tahun, karena lahir dari skandal perselingkuhan dengan ras b***k yang bekerja dalam istana. Di masa sebelum kelahirannya, masyarakat yang hidup di Flander-Belgium dipecah dalam berbagai kelompok ras, mulia dari ras mulia di puncak tertinggi; diduduki kaum raja dan para bangsawan, ras tuan tanah; pemilik perkebunan dan pabrik-pabrik besar, ras pekerja terdiri dari para pandai besi dan pekerja kasar, serta ras b***k yang berada di lapisan paling rendah, lahir dari garis keturunan b***k yang tersisih dari masyarakat dan hidup bagai gelandang. Meski penghapusan status ras kelompok dilakukan raja Cos Valentine II tahun 1999, dalam upaya meredakan kemarahan rakyat yang tak suka dikotak-kotakkan berdasarkan kondisi kelahiran, secara tradisional anggapan itu masih mengakar kuat karena sudah jadi bagian tradisi Flander-Belgium selama ratusan tahun hingga kini. Penghapusan kelas sosial yang lambat dilakukan, membuat La Vie dipisahkan dari ibunya, dan dibesarkan seorang ibu s**u di Moskow dengan tunjangan seadanya, nyaris tak cukup memenuhi kehidupan sehari-hari. Seakan tak puas menjeratnya dalam derita, di usia 15 tahun, ibu s**u La Vie diminta kembali ke Melbour, ibu kota kerajaan Flander-Belgium sekaligus rumah bagi Red Castle yang dihuni keluarga kerajaan. Sebelum pergi, Ibu asuhnya menceritakan segala kebenaran tentang dirinya yang membuat La Vie sedih luar biasa. Ia tak menduga alasan deritanya karena dirinya anak buangan dari seorang b***k. Seiring kepergian pengasuhnya, tunjangan hidupnya turut diputus. Harus menghidupi diri di usia muda membuat La Vie kesulitan. Ia sempat terlunta-lunta di jalan beberapa bulan, diusir dari rumah tinggalnya karena tak mampu membayar sewa. Namun kecantikan khasnya yang mempesona, membuat ia tertolong. Ketika tengah meminta-minta di sudut Zariyadye Park, seorang pria pencari bakat menemukannya dan menjadikan dia salah satu model ternama Rusia. 10 tahun sejak semua kejadian pahit menimpa hidupnya, kini ia bergelimang kekayaan dan ketenaran luar biasa hingga wilayah Balkan, buah kerja kerasnya. Namun satu hal yang tak pernah berubah atau ia lupakan dalam hidup adalah keingin tahuannya atas keadaan ibunya yang entah di mana dan lebih dalam lagi dendam pada wangsa Navarra, keluarga Hasburgh. Dan malam ini adalah langkah pertamanya menuju balas dendam yang ia impikan hampir tiap malam. La Vie menanggalkan jaket padding-nya ketika sopir kemudi turun membukakan pintu untuknya. Ia menapak tanah. Tubuh indahnya yang tertutup gaun infinity berbelahan rendah mengekspos d**a dan punggungnya. Sementara belahan roknya yang tinggi menunjukkan bentuk pahanya yang ramping dan jenjang. Ia melangkah menaiki undakan tangga hotel Barvick. Nyaris semua mata lelaki tertuju padanya, tapi La Vie serupa mawar, indah berduri. Cantik, angkuh, menawan. Tak semua pria membuatnya terkesan. Aula megah hotel Barvick penuh tamu kehormatan. Presiden, politisi, pengusaha, duta besar dan beberapa tamu VIP yang diundang khusus karena alasan tertentu, seperti pengaruh dalam bidang yang digeluti mading-masing. Sama dengan alasan mengapa La Vie ada di sana. Gadis itu membuka tas tangan hitam yang ia genggam lalu mengambil ponselnya, memeriksa sebuah foto dengan cermat lalu mencocokkannya dengan wajah para tamu. Ketika ia merasa tak seorangpun dari kerumunan itu mirip lelaki dalam foto, ia menyingkir lagi ke tempat lain. La Vie melakukannya beberapa kali, berpindah tempat hingga tiba di ujung tangga batu setengah melingkar menuju kamar hotel, dekat pahatan angsa yang terbuat dari es. Di antara meja para tamu ia menemukan lelaki itu. Pria berbadan ramping, tegap dengan bahu cukup lebar. Rambutnya gelap, matanya coklat terang, alisnya tebal, dengan garis rahang keras dan bibir tipis yang menawan. Lelaki itu mengobrol serius dengan dua pria. Pria pertama dikenal semua orang sebagai presiden Rusia; tamu kehormatan yang mengizinkan acara itu dihelat meriah dan satunya duta besar Flander-Belgium untuk Rusia bersama istrinya. La Vie menatapnya beberapa kali hingga lelaki itu tersadar dan menengok. Ia pura-pura mengalihkan perhatian pada seorang pelayan pria yang kebetulan melintas membawa nampan berisi beberapa gelas wine putih. Ia meraih segelas wine, meneguknya pelan lalu pura-pura mengedarkan pandangan. Ketika bertemu mata lagi dengan lelaki itu, ia mengangkat gelas wine diiringi senyum menggoda. Tingkah anggunnya lebih menyerupai kode undangan, yang berhasil membuat pria incarannya mendekat. Victor Leopold menghampirinya membawa segelas anggur di tangan kanan dan senyum tipis yang hangat di wajah. Lelaki itu tak memungkiri, ia sama dengan pria lainnya di ruangan itu terpesona kecantikan dan indah tubuh La Vie. Gadis bermata dalam beriris hijau terang. Rambutnya hitam, kulitnya kuning sedikit coklat dengan rambut hitam yang disanggul. Wajahnya ramping, bibirnya tebal dengan dua pasang lesung pipi indah membingkai senyumnya. "Kau datang sendiri?" Victor Leopold membuka sedikit basa-basi dengan suara serak bernada dalam. "Begitulah" Lelaki itu memulas senyum lebar makin menawan, "Aku tidak percaya gadis secantik dirimu datang kemari tanpa pendamping" La Vie menyeringai, "Kecantikan adalah racun untuk pria" Alis Victor Leopold terangkat terkesima segera pada bincang pertama. Ia mengulurkan tangan perkenalan, "Victor Alexander Leopold Hasburg" La Vie menatapnya intens. Ia balas menjabat tangan lelaki itu lalu mendekatkan tubuhnya sambil berjinjit menjangkau telinganya, "Le Vie En Rose" ia berbisik dengan nada sensual menggoda. Victor Leopold tercengang sesaat, butuh beberapa detik untuk mencerna. Ia terlalu terguncang untuk berkata sesuatu. "Aku terkejut bertemu denganmu di sini" ucapnya setelah sekian detik. La Vie mengangguk, ia kembali mengangkat gelas anggur di tangannya. Ia berencana menjerat Victor Leopold malam ini di atas ranjangnya. "Bagaimana kalau kita minum sebentar setelah pesta? Aku ingin mendengar tentang Flander-Belgium. Pasti banyak hal menarik" "Itu..." ia menimpali ragu. La Vie menyentuh pipinya dengan lembut. "Kau tidak akan menolak kan?" Victor Leopold akhirnya mengangguk setelah terperdaya demikian mudah. Setelah pesta berakhir Victor Leopold membawa La Vie ke kamarnya. Dia membuang jas dan dasi kupu-kupunya ke atas punggung sofa, menyisakan kemeja putih yang ia lepas kancingnya untuk melegakan jalan napas. Wine merah dan dua buah gelas sudah tersedia di atas meja ruang tamu megah kamar president sweet yang ia tinggali beberapa malam. Ia duduk, membuka tutup botol lalu menuang wine ke gelas masing-masing. "Aku terkejut, kau sudah menjadi artis ternama Rose?" La Vie tersenyum sebaris, "Tidak pernah ada yang memanggilku dengan nama itu selama bertahun-tahun" "Kau hanya menggunakan nama depan, benarkan?" La Vie menyilangkan kaki, hingga belahan roknya yang tinggi mengekspos pahanya. Gerakan itu tak luput dari tatap waspada Victor Leopold. "Bagaimana kabar Raja, kapan dia akan memberikan tahta padamu?" Lelaki itu berdecak, ia menggenggam gelas wine di udara, "Sepertinya belum dalam waktu dekat. Yang Mulia Raja Flander-Belgium mengikuti tradisi kalau raja akan menjabat sampai mangkat. Setelah itu penerus tahta baru akan terpilih" La Vie menelan winenya, "Sayang sekali, padahal dari banyak berita yang k****a kau sudah cukup berpengalaman. Usiamu juga sudah cukup. Kau tahu di kerajaan lain di benua Eropa sekarang, para raja dan ratu lebih sadar diri. Mereka memberikan tahta saat tahu usia mereka tidak muda lagi" Victor Leopold memalingkan pandangan menyembunyikan kesal. Ada kebenaran dibalik ucapan gadis itu, dan ego-nya membenarkan. Ia juga berharap tak lagi membuang waktu sebagai putra mahkota, tapi pada akhirnya tak ada cara lain selain bersabar menunggu Raja Cos Valentine II mengalah dan melunak, entah sampai kapan. La Vie meletakkan gelas wine lalu meraba punggungnya dengan wajah tak nyaman. Victor Leopold menyadari hal itu. "Ada apa, apa kau baik-baik saja?" "Ikatan gaunku membuatku merasa tak nyaman, bisa kau lepaskan?" Pria itu kaku beberapa saat. Ingin menolak merasa tak nyaman, menerima takut tergoda. La Vie yang menyadari keraguan di wajahnya berusaha membujuk. "Bisa kau melakukannya? Kumohon" ucapnya dengan nada manis sulit ditolak. Mau tak mau pria itu mengalah. Ia duduk di samping La Vie yang sudah menyodorkan punggung mulusnya. Victor Leopold gerogi menatap kulit punggung dan aroma parfum yang mencuat dari tubuh dan leher gadis itu. Dengan tangan sedikit gemetaran, ia menarik simpul gaun La Vie hingga terlepas. Lehernya tampak merah. "Sudah selesai? Nyaman sekali" Victor Leopold berdiri mengalihkan pandangan. La Vie berterima kasih, hanya ditimpali anggukan. Pria itu berusaha keras tak menatapnya, takut tergoda dan melakukan hal-hal tak seharusnya. Ia sudah diperingatkan tak macam-macam dan menjaga nama baik seluruh kerajaan. La Vie mulai kesulitan. Pria itu membentengi dirinya cukup keras. Ia tahu harus bertindak lebih agresif. "Kau punya kekasih?" Victor Leopold menenggak winenya dengan cepat, "Seorang tunangan" La Vie mendekati kursi pria itu. Victor Leopold masih berusaha tak melihat. "Kau mencintainya?" "Pertunangan Kerajaan. Kami dijodohkan" La Vie berdecak, ia menekan dadanya ke lengan pria itu, "Ah, masih ada yang melakukan hal kuno saat seperti ini" Victor Leopold diam, darah dalam dadanya menggebu, kepalanya mulai dipenuhi nafsu. Ia menghela napas tak mau terbawa suasana lebih jauh. Ia berdiri hendak mengakhiri perjumpaan itu tapi La Vie tak membiarkan. Ia menariknya lalu melingkarkan kedua kakinya di atas pahanya. "Ini tidak boleh dilakukan La Vie, kita saudara" suara Victor Leopold berat, dalam dan menyeret. Gadis itu tahu betul ia sudah terbawa dalam jeratnya, hanya saja masih getol melawan. "Kau pernah menganggapku saudara?" Mata coklat pria itu melirik. Ia tak menjawab, La Vie tersenyum. "Lalu kenapa kau takut?" Ia meraih tangan Victor Leopold, menuntunnya menuju payudaranya yang kenyal, sebulat apel, lalu menyapukannya di atas p****g coklatnya yang sekecil buah jarak. Lelaki itu mengerutkan kening, napasnya makin berat. La Vie menggodanya sekali lagi. Ia menarik telunjuk dan ibu jarinya, lalu menggerakkannya di atas putingnya. Gadis itu mengeluarkan lenguhan-lenguhan nakal, yang akhirnya membuat semua pertahan Victor Leopold hancur lebur. Ia menarik tubuh La Vie mendekat wajahnya, menjilat lalu menelan dua putingnya bergantian dalam mulutnya sambil menyapu punggung dan pantatnya. Sementara tangan gadis itu memainkan ereksi di antara kedua pahanya. Sekali lagi akal pikiran Victor Leopold kembali. Ia menghentikan gerakan mulut dan tangannya. "Ini tidak boleh, kau harus kembali" La Vie kesal, ia berusaha menggodanya lagi, bukan dengan tubuh, tapi kata-kata. Ia menarik dagu kotak Victor Leopold menghadap wajahnya. "Kenapa kau menolakku. Aku sangat menginginkanmu. Aku sudah memujamu sejak dulu bahkan sebelum aku mengenalmu" "Kita saudara" ia menekankan dengan nada dalam. "Aku tidak peduli, aku hanya ingin menjadi milikmu. Aku menyimpan diriku untukmu. Tolong jangan mencampakkanku, aku tidak meminta apapun" Mata coklat Victor Leopold menatap jauh, tampak berpikir keras. Ia diliputi keraguan. Mereka saudara sekalipun tak seibu. Ia memang tak menampik La Vie begitu sempurna, wajah tubuhnya sangat menggairahkan dan itu semua sulit dilawan hanya dengan kehendak. "Kita lakukan sekali saja, jika kau menolak aku berjanji tidak akan mengganggumu lagi, tapi aku mohon untuk malam ini aku ingin menjadi milikmu" La Vie setengah berkeringat, tak mau mendengar penolakan. Ia sudah merendahkan diri hanya untuk ditiduri lelaki, hal yang tak pernah terpikir akan ia lakukan. Mengingat apa yang ia ucapkan membuatnya jijik pada diri sendiri. Victor Leopold berdiri, ia mengangkat tubuh La Vie ke ranjang, lalu melucuti pakaiannya. Tubuh polos gadis itu begitu menyilaukan mata. Dadanya bulat seperti apel, pinggangnya ramping, pinggulnya menonjol seperti gitar. Victor Leopold benar-benar tak bisa menahan hasrat. Ia sudah lupa perempuan di atas ranjangnya adalah adiknya sendiri. Dia menanggalkan seluruh pakaiannya ke lantai, menekuk kedua lutut La Vie kemudian membukanya lebar-lebar. Ia mendorong ereksinya ke dalam, sedikit kesulitan, mencobanya dengan perlahan hingga berhasil dan gadis itu mulai melenguh dan mendesah. Malam itu tak berakhir hanya dengan sekali dua kali bercinta. Victor Leopold benar-benar tergila-gila pada La Vie, siasat perempuan itu berhasil. Victor Leopold mengetatkan punggung La Vie melekat di dadanya. Tangannya masih membelai  p******a gadis itu sambil menciumi pundak, dan menghirup aroma rambut panjang hitamnya yang bergelombang. La Vie bangkit, Victor Leopold terkejut. "Kau akan pergi sekarang?" kata lelaki itu dengan nada kecewa yang ditahan. "Ini sudah pukul 5 pagi, aku ada pekerjaan pagi ini"  Setelah mengikat kerah gaunnya ke leher ia merogoh saku dompet mengelurkan sebuah botol kecil berwarna bening yang ia tunjukkan pada Victor Leopold. "Polonium 210. Racun yang sama yang membunuh Yaser Arafat" ia beranjak ke pembaringan pria besar di sisinya, "Jika kau gunakan ini, orang-orang akan berpikir kalau korbannya terkena kanker. Sulit mendeteksinya. Ini akan aman" Victor Leopold duduk dengan wajah heran, "Kau menyuruhku menggunakan ini pada Ayahku?" "Aku tak mengatakan itu. Hanya menawarkan. Kau bisa menggunakannya pada siapapun. Jika tidak mau bisa kau tinggalkan," La Vie mengecup bibirnya berusaha mengalihkan kecurigaan lelaki itu, "Aku sangat ingin melihatmu menjadi raja, bukan menunggu seperti ini" ia berdiri kemudian berbalik punggung, "Sampai nanti.."
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD