01. BERKUASA

1079 Words
BAGAIKAN petir yang menyambar langit di siang bolong, kerumunan siswa-siswi yang memadati koridor sekolah seketika langsung bungkam seribu bahasa dan segera menyingkir ke tepi, tidak lupa pula mereka selalu menahan napasnya ketika kumpulan orang itu datang. Dengan rasa tidak tahu diri dan gaya angkuh khasnya, geng THE ROSE berjalan dengan songong di tengah-tengah siswa. Tidak peduli jika ada yang mencibir maupun mengatai kejelekannya di belakang mereka. Yang mereka tahu, THE ROSE adalah geng yang patut mereka jauhi, terlebih bagi kaum hawa. Tidak mungkiri, jika sudah berhadapan dengan Resti—pemimpin geng tersebut—pasti urusannya bakal panjang kayak buntut ular. Pada waktu istirahat seperti inilah mereka selalu berkeliaran dengan jaket jins yang selalu membaluti badan mereka. "Bunga mawar" sebagai simbol yang mereka sanjungkan. Tidak heran pula jika jaket yang mereka kenakan pasti memiliki gambar itu sebagai ciri khas dan indetitasnya. Mereka cantik? Jangan ditanyakan. Memang itulah kenyataannya, ketiga anggota geng itu mempunyai kulit putih bersih. "Minggir, gue mau duduk disini!" gertak Resti pada dua cewek yang asik menikmati istirahatnya dengan memakan siomay di kantin. Spontan mereka berdua langsung mendongak, menatap ke atas, dan tiba-tiba bola matanya menangkap sosok kakak kelasnya yang selalu dihindari oleh kebanyakan siswa. Tidak mengulur waktu lebih lama lagi dan tidak mau mengambil masalah dengan Resti lebih tepatnya, mereka segera mengangkat bokongnya dari kursi dan segera menjauh dari sana. Senyum sinis Resti langsung tercetak dengan sempurna, tidak lama berselang setelah dia memandangi dua cewek tadi pergi dengan ekspresi ketakutan membuat Resti semakin berkuasa. Dia tidak menyangka kalau dirinya selalu ditakuti seperti itu. "Lo mau pesen apaan, Res?" tanya Indah, sahabat Resti yang kini tengah duduk di samping kirinya. Membuang napasnya pelan, ekor mata Resti beralih menatap Indah dengan nyalang, "seperti biasa aja," jawabnya singkat. Refleks dengan tiba-tiba Resti dan Indah menoleh ke samping kanan ketika Lina, bangkit dari duduknya seraya mengusap bagian bokongnya. "Nah, lo mau kemana?" tanya Resti heran. Kedua alisnya hampir tertaut dengan sempurna. Lina mendengkus kecil, "mau pesen makanan lah, lo berdua tunggu sini dulu, ya?" pekiknya sembari mulai melangkah menuju kantin. Belum dua langkah Lina menjejalkan kakinya, cekalan tangan Resti berhasil menghentikkannya. Seketika saja Lina langsung menoleh ke belakang, menatap Resti dengan pancaran ekspresi bingung yang ia terapkan di wajahnya. Dari sorot mata Lina, Resti sudah tahu bahwa sahabatnya itu menyimpan pertanyaan besar kenapa Resti menghentikkan langkah kakinya. Resti tersenyum kecil lalu sedetik kemudian ia mulai berucap, "nggak usah, sini duduk," ucapnya sembari menepuk-nepuk bangku di sampingnya, mengisyaratkan agar Lina segera duduk kembali di kursi. Belum juga sempat menurut, Resti dengan sengaja menarik tangan Lina agar segera kembali mendaratkan bokongnya, karena menurut Resti, Lina telalu lelet menuruti kemauannya. "Duh, pelan dikit lo bisa kan Res? Sakit nih b****g gue," keluh Lina sembari mendengkus panjang. Hal itu memancing tawa Indah, ia langsung membuka mulutnya lebar melihat Lina yang menurutnya begitu lucu. "Sana lo ke UKS, minta obat reumatik, tulang lo kayaknya tadi remuk deh," perintah Indah diiringi sambutan kekehan dari Resti. "Jahat banget lo, Res. Masih nyerih nih." Lina masih mengadu kesakitan akibat ulah Resti beberapa detik yang lalu. "Terus, kita nggak jadi pesen nih sekarang?" tanya Indah, mengalihkan topik pembicaraan. Ralat. Kembali ke topik utama lebih tepatnya. "Jadi dong," jawab Resti cepat. Tidak lama kemudian, ia mengedarkan pandangan ke sekitar, mencari seseorang. Sudut bibir Resti tidak lama setelah itu kembali muncul, ia tersenyum sinis. "Eh lo, cewek yang lagi minum es teh," teriaknya keras pada cewek di seberang bangku yang sedang asik bercengkrama dengan temannya. Dengan refleks cewek itu menyapu pandangan ke sekitarnya, ia tidak melihat orang lain yang sedang minum seperti dirinya. Dengan kilat, ia memandangi wajah Resti sembari raut muka datar ia perlihatkan. "Kakak manggil aku?" tunjuk cewek itu pada dirinya sendiri. "Ya, gue manggil lo, emang siapa lagi yang lagi minum selain elo?!" Resti memutar bola matanya malas. "Ada apa kak?" tanyanya lagi, suaranya parau. Tidak usah dibilang lagi, ia terlihat sangat ketakutan. "Resti manggil lo dek, jangan nggak sopan kayak gitu. Kalau di panggil Restu itu artinya lo harus langsung sigap datang ke hadapan orangnya langsung." Indah menceramahi cewek itu dengan suara menggelegar. Tanpa menunggu waktu lama lagi, cewek itu pun langsung bangkit dari duduknya, dengan debaran jantung yang masih menyelimuti raganya, ia mulai berjalan dengan perasaan was-was mendekat ke arah meja yang kini diduduki oleh geng THE ROSE. "Ada apa kak?" tanyanya setelah mengambil duduk dikursi, tepat dihadapan Resti. Sontak saja Lina langsung melotot, bola matanya hampir saja keluar dari tempatnya. "Eh ... siapa yang nyuruh lo duduk? Berdiri buruan!" hardik Lina dengan tegas. Dengan perasaan was-was, cewek itu langsung terkesiap mendengar ucapan dari Lina, kini ia mulai berdiri dan menunduk ke bawah. "Gue mau ngomong sama lo, tatap mata gue!" ucap Resti dengan suara tajam. Dengan irama napas yang masih memburu, juga degup jantung yang masih belum reda membuat cewek tadi semakin kelimpungan. Cewek itu spontan menatap manik mata Resti lekat-lekat. Perasaan takut ia terjang begitu saja. Resti tersenyum kecil, "pesenin kita bakso tiga mangkuk, es teh manis tiga, yang satu gulanya dikit aja dan yang dua es batunya di banyakin. Oh sama baksonya yang satu pakai cuka, terus sambalnya satu setengah sendok. Jangan lupa saosnya dibanyakin, plus ... minta bakso yang gede-gede," ucap Resti panjang lebar hingga membuat cewek itu mengerutkan keningnya. Bingung dengan apa yang diucapkan Resti barusan karena ucapan Resti terlalu cepat. Tentu saja ia tidak bisa menangkap penjelasan itu semua dalam satu waktu. "Nih uangnya." Selembar uang berwarna merah Resti sodorkan ke arah cewek yang akan menjadi babunya itu. Dengan berat hati, cewek itu masuk ke dalam kantin, membelah kerumunan orang yang tengah mengantri. Sebal rasanya, tapi mau bagaimana lagi? Tidak ada yang pernah berani menolak kemauan seorang Resti. "Eh tunggu!" Spontan cewek tadi kembali menengok ke belakang karena suara Resti menusuk indera pendengarannya. "Punya gue kecapnya dibanyakin, terus buat es teh-nya minta sedotan warna ungu. Harus ada, kalo nggak ada, lo harus cari di kantin sebelah," ucapnya lagi sembari tersenyum tanpa dosa. Menghela napas panjang-lanjang, cewek itu tepaksa harus menyunggingkan senyumannya. Walaupun perasaannya kini sangat terbakar. Dalam hati ia sudah memaki geng THE ROSE tanpa henti. Siapa yang tidak jengah diperlakukan seperti itu seenak jidat? Resti, Indah dan Lina lantas hanya bisa tertawa dengan nyaring. Tidak peduli dengan siswa lain yang memperhatikan mereka dengan sorot mata lekat-lekat dan menghujam tanpa henti. Ah lupa, Resti memang selalu bersikap bodo amat dengan hal itu. Dia sungguh tidak peduli dengan mereka. Bagi Resti, ini adalah kehidupan dirinya dan tidak ada berhak bagi mereka untuk sekadar menggurui.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD