Kecelakaan

1031 Words
Mendengar dosen mengakhirinya mata kuliah hari ini, Natalia begitu semangat. Rasanya ia lega bisa mengikuti ujian semester keduanya dibangku kuliah dengan lancar. Ia memang tergolong mahasiswa yang begitu rajin dan pintar. Bukan menyombongkan diri tapi itu memang kenyataannya. "Nat, habis ini kita makan siang ke cafe yuk," ajak salah satu temannya yang bernama Ayu. "Boleh juga, aku juga sudah lama nggak ke cafe sekalian aku bertemu dengan Alvin," ucap Natalia sambil berkemas memasukkan semua buku-bukunya ke dalam tas selempang. "Aku ikut," teriak salah satu sahabat Natalia lagi yang bernama Intan dengan merangkul bahunya dari belakang. Natalia merasa aneh dengan tatapan Ayu ketika melihat Intan ingin ikut serta makan siang. Seperti tatapan yang tidak suka, padahal kita adalah sahabat sejak lama. Ia segera menyenggol lengan Ayu agar mengakhir tatapannya dan menarik agar ia lekas berdiri. "Yu, ayo! Aku sudah lapar sekali," ucap Natalia untuk segera bergegas pergi. "Selera makanku jadi hilang sekarang," kelakar Ayu. Ia merasa sangat terganggu dengan ke ikut sertaan Intan yang ingin makan siang bergabung berapa kami. Natalia yang mengetahui sikap Ayu mulai bertanya-tanya di dalam benaknya. Mengapa Ayu akhir-akhir ini sangat membenci Intan. Menurutku mereka tidak memiliki masalah. Ia mulai berjalan menuju tempat parkir mengambil sepeda motor yang selalu menemaniku ke mana pun ia pergi. "Nat, aku minta bonceng kamu ya," pinta Ayu pada Natalia yang sudah bersiap naik ke atas motornya. Natalia mengangguk sambil membenarkan posisi rambutnya sebelum ia memakai helm-nya ke kepala dengan sempurna. Ia segera menyalakan kunci motornya dengan segera agar ia segera bertemu dengan lelaki pujaannya siapa lagi kalau bukan Alvin sang pangeran kampus yang juga berstatus kekasihku sejak setengah tahun lalu. Dia adalah senoirnya. "Nat, ponselmu getar," ucap Ayu dengan menyentuh lengan Natalia. Ia dengan segera merogoh tas selempangnya meraih gawainya. Melihat panggilan berulang kali dari nomor tidak dikenal, juga panggilan dari papanya, segera menghubungi kembali. Perasaannya mulai was-was takut akan terjadi sesuatu. Natalia dengan cekatan menekan kontak nomor yang aku beri nama My Father itu. Melihat tersambungkan, namun dengan suara yang asing di telinganya, ia segera angkat bicara takut jika ponsel milik papanya telah diambil orang atau terjatuh dan ditemukan orang lain. "Hallo, ini siapa?" Natalia menghardik dengan suara tegas agar orang yang berada di sambungan teleponnya takut mendengar suaranya. "Ini ponsel papaku, kenapa ada di Anda?" ucap Natalia dengan tegas lagi dengan sedikit menahan emosi agar tidak meluap. "Maaf nona, ini dari pihak kepolisian ingin memberi tahu bawah pemilik ponsel ini yang bernama Tuan Pratama mengalami kecelakaan. Kondisinya saat mengenaskan, kini mereka berada di rumah sakit Bayang Kara. Kami mohon Anda segera datang!" Jelas pihak kepolisian yang tak menjelaskan secara langsung jika kebenarannya mereka telah tiada saat di lokasi. Natalia yang mendengar kabar duku, ia tercengang antara percaya dan tak percaya. Baru enam jam yang lalu orang tuanya berbicara padanya. Memberikan nasihat agar ia lulus dengan nilai terbaik, dan mereka juga memberi amanah apapun yang terjadi jangan pernah untuk melupakan cita-citanya. "Apa arti itu tadi," lirih Natalia. Dengan tubuhnya yang terkulai lemas hingga motor yang ia bawa hampir terguling ke tanah beruntung Ayu dengan sigap menopangnya. "Nat, apa yang terjadi? Katakan padaku?" tanya Ayu yang mendengar lamat-lamat pembicaraan sahabatnya. "Orang tuaku, kecelakaan," ucap Natalia dengan terbata-bata. Ayu segera mengambil alih ponsel Natalia. Ia memastikan jika yang di ucapkan Natalia itu benar. Setelah ia berbicara panjang lebar akhirnya ia mengetahui kabar yang paling fatal. Ia tak tahu harus bagaimana menjelaskan pada Natalia jika ternyata orang tuanya telah tiada. *** Dua minggu kemudian, Natalia mencoba tegar dan bangkit. Ia yakin jika semua cobaan ini adalah takdir untuknya. Ia tahu jika Allah lebih menyayangi kedua orang tuanya hingga mereka ingin bersamanya saat ini di surga. Ia harus kuat, ia masih memiliki adik yang amat membutuhkan dirinya saat ini. "Aku harus kuat, demi Nathan. Dia membutuhkan aku," gumam Natalia. Ia berjalan di lorong rumah sakit untuk melihat kondisi sang adik. Ia masuk ke dalam ruang yang penuh dengan alat medis yang terpasang di tubuh sang adik. Melihat sang adik kesayangan berbaring tak berdaya di atas brankar membuat dadanya dan miris. Ya, sang adik masih berusia sepuluh tahun tapi harus berjuang hidup. "Nona," panggil lirih suster yang tengah memeriksa Nathan hingga ia menoleh dengan mengusap wajahnya yang basah akibat tangisnya. "Nona, kami harap Anda segera mengurus seluruh administrasi, agar tetap bisa memasang alat bantu pada tubuh adik Anda," tegurnya lagi. Natalia berjalan menuju ke kasir, untuk mengurus segala biaya yang terbengkalai selama dua minggu ini. Ia mengira jika om-nya kemarin meminta tanda tangannya adalah untuk mengurus ini ternyata ia salah. Ia tercengang ketika melihat nominal yang ada. "Dua ratus juta," lirih Natalia. Ia segera mengeluarkan kartu Atm yang dimiliki sang papa. "Ini," ucapnya dengan menyodorkan pada kasir. "Maaf nona, atm ini sudah di bekukan." "Di bekukan sejak kapan?" Batin Natalia. Ia segera mengambil miliknya, walaupun isinya tak sebanyak milik sang papa. "Coba yang ini!" ucap Natalia dengan memberikan kartu atm miliknya. "Nona, ini masih kurang banyak, hanya ada lima belas juta. Tolong ada segera melunasinya jika tidak kami tak bisa membantu apa pun," ucap salah satu perawat yang bertugas menjadi kasir. Satu minggu telah berlalu, ia kini harus menerima kenyataan pahit kembali jika perusahaan sang ayah telah di ambil alih oleh om-nya. Kini ia terpaksa menjual rumah peninggalan orang tuanya untuk membayar semua pengobatan sang adik agar tetap bertahan hidup. Natalia bukanlah dari keluarga orang kaya raya, tapi kedua orang tuanya bisa dikatakan cukup. Sudah hampir satu bulan penuh ia meninggalkan kuliahnya demi merawat sang adik yang berbaring tak berdaya di rumah sakit. Kini ia duduk di samping sang adik dengan berdoa agar sang adik lekas sadar tak pulih seperti semula. "Nona Natalia, kami akan segera melakukan operasi untuk adik kamu. Kami menemukan ada sebuah benjolan yang berada di otaknya kemungkinan itu tumor. Aku harap ada segera menandatangani dan mengurus administrasinya," ucap dokter menghampiri Natalia yang setia duduk di tempatnya . "Dok, berapa biayanya?" "Sekitar lima puluh juta hingga seratus juta," ucap dokter. "Sebanyak itu, lalu aku mendapatkan dari mana? Uang penjualan rumah telah habis untuk perawatan Nathan satu bulan ini dan membayar hutang Papa. Tak mungkin aku menjual toko kue, itu satu-satunya peninggalan mereka. Apa sebaiknya aku gadaikan? jika iya maka aku usaha apa untuk membayarnya nanti dan kami akan tinggal di mana," batin Natalia.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD