1. Awal Bertemu

1327 Words
Di keluarga ini, ada tiga aturan yang tidak tertulis, tetapi sangat ditanam oleh Prabu di dalam otaknya. Pertama, jangan berbicara hal yang tidak penting kepada orangtuanya. Kedua, jangan bantah semua keinginan orangtua. Terakhir, ucapkan terima kasih untuk segala kebaikan yang dilakukan oleh orangtuanya. Prabu tahu itu. Tanpa perlu kedua orangtuanya ungkapkan, ia mengerti. Prabu mengambil sayur bayam di dalam mangkuk dengan sendok, lalu memindahkan ke dalam piring makannya. Ia kembali melanjutkan makan. Di rumah megah nan mewah ini, hampir seluruh ruangannya luas. Termasuk ruang makan ini. Mejanya panjang dan cukup lebar, hingga Prabu, ayah, dan ibunya, duduk berjauhan. Ayahnya duduk di sisi depan, Prabu di seberang, dan ibunya di sisi samping. Sepinya manusia yang tak imbang dengan ukuran meja yang besar. Mereka tampak fokus makan dalam diam. Hanya dentingan sendok yang beradu dengan piring, yang berusaha memecah keheningan. Walau saling terdiam, tetapi pikiran mereka sibuk bekerja memikirkan urusan masing-masing. "Prabu," panggil ayahnya. Prabu yang sedang memotong daging, menghentikan aktivitas tersebut. Ia menaruh pisau, dan menatap ayahnya. Terlihat ayahnya sudah selesai makan, dan mengelap mulut dengan tisu. "Ya, Ayah?" "Ada duri kecil di perusahaan," kata ayah dalam. Ia menyenderkan punggung di sandaran kursi yang nyaman. "Tolong kamu awasi anak Pak Robi. Kamu berteman baik dengan anaknya, 'kan? Siapa itu nama anaknya ...." Ia tampak mengingat-ingat. "Akbar, Yah. Akbar Eldino." "Ah, ya!" seru ayahnya sambil menjentikkan jari. "Bagaimana mungkin ayah lupa, padahal dia sainganmu di sekolah." Prabu tersenyum kecil mendengar penuturan ayahnya. Ia tak pernah menganggap sahabatnya itu sebagai saingan. "Ada apa dengan Pak Robi, Yah?" "Ada penggelapan dana di berbagai perusahaan cabang. Sementara beliau adalah manajer utama. Selagi dia mengatasi ini, ayah ingin cari tahu tentangnya," terangnya. Prabu tampak berpikir sejenak. "Menurut Prabu, Yah, Ayah juga harus melibatkan manajer di setiap perusahaan cabang, karena mereka yang langsung mengurus perusahaan di sana," usulnya serius. "Perusahaan cabang di bawah Jaya Negara Group ada 80 perusahaan. Dan kamu ingin ayah mengurus mereka?" "Jika diselidiki langsung satu-satu ke perusahaan memang merepotkan, Yah. Ayah pasti tidak ada waktu juga untuk itu." Ia menyenderkan punggung di sandaran kursi. Kedua tangannya bersiap untuk bergerak-gerak bebas ketika ia berbicara menjelaskan. "Kita bisa kumpulkan setiap manajer dari perusahaan cabang, dan manajer utama, beserta para sekretarisnya, Yah. Mereka masing-masing akan mempresentasikan laporan pertanggungjawaban. Kita sidang saja langsung di sana. Sebelumnya, kita kirim orang untuk langsung cek kondisi di lapangan. Jika kita menaruh kecurigaan atau ada yang tidak masuk akal, Yah, langsung saja kita minta pernyataan dari orang yang menyelidiki langsung kebenaran data mereka di lapangan." "Wah, kamu benar-benar anaknya Aditya Jaya Negara!" seru ayahnya bangga. "Ini juga akan ayah jadikan sebagai kegiatan setiap enam bulan, agar mereka tidak ada yang berani macam-macam." Ibu yang sedari tadi diam menyimak, turut senang dan bersemangat. "Siapa dulu ibunya, Mona," ucap wanita muda yang selalu berpenampilan mewah tersebut. Sementara itu, Prabu tertawa kecil melihat tingkah kedua orangtuanya. Ia bahagia saja di sini. Walau ia hanya anak yang diangkat dari panti asuhan semenjak sepuluh tahun yang lalu, tetapi Aditya dan istrinya memperlakukannya dengan sangat baik, seperti anak kandung sendiri. Tentu saja Prabu tahu diri, dan ingin melakukan segala yang terbaik untuk kedua orangtuanya ini. "Oya, Prabu, ibu belikan kamu sepeda. Kata ART kita, Prabu mau sepeda, makanya tidak memakai motor atau mobil ke sekolah, dan lebih memilih naik bus," kata Mona. Prabu semringah. Ia tersenyum lebar sambil berucap senang, "Wah, terima kasih banyak, Bu." *** Prabu mengayuh sepeda dengan perasaan senang. Sepeda yang dibelikan ibunya sangat bagus, sehingga terasa ringan ketika dikayuh. Jarak dari rumahnya ke sekolah sekitar 30 menit bersepeda, atau melewati tiga halte jika naik bus. Ia pun menghentikan sepeda ketika melihat lampu merah menyala pada palang jalan. Seketika orang-orang yang menunggu di trotoar, langsung menyeberang pada zebra cross yang terletak di depan semua kendaraan berhenti. Prabu memerhatikan setiap pejalan kaki yang melintas di depannya. Perhatiannya terfokus ketika seorang pejalan kaki menjatuhkan sekaleng minuman bersoda. Pejalan kaki itu lanjut berjalan dan tidak menyadari jika minumannya terjatuh. Melihat itu, Prabu menepikan sepeda, mengambil minuman yang tergeletak di tengah jalan tersebut, dan mengejar pemiliknya. Seingatnya tadi, pemiliknya menggunakan topi berwarna army, jaket hitam, celana jins biru, dan sepatu kets hitam. "Itu dia," kata Prabu ketika melihat pemilik minuman ini yang berjalan tergesa-gesa. Ia pun berlari kecil mengejarnya di trotoar. Prabu meraih bahu orang itu dari belakang, sambil berkata, "Permisi, Bang. Maaf, tadi minumannya jatuh." Ia menyerahkan minuman tersebut. Si empunya tersebut berbalik, dan langsung mendongak menatap pria yang memanggilnya—Prabu. Matanya menangkap sosok pria yang lebih tinggi darinya, dengan kulit putih, rahang tegas, maskulin, ditambah dengan suara berat yang dalam. Rambut lurusnya yang lebat berwarna sedikit pirang. Ia menjadi mendadak lupa, apa tadi pria ini berbahasa Indonesia? Dia tidak terlihat seperti orang Indonesia, atau mungkin berdarah campuran. Sementara itu, Prabu terlihat kaget. Ternyata orang yang disangkanya pria adalah seorang gadis. Mata cokelat gadis itu sangat indah, membuatnya tanpa sadar tak berkedip ketika menatapnya. Beberapa detik kemudian, gadis itu menatap Prabu tajam. "Ambil aja," katanya tidak suka. Kedua tangannya bersarang di saku jaket. Ia tampak sangat risih dengan kehadiran Prabu. Prabu tersadar. Ia berkata ragu, "Kamu gak pakai plastik? Mengapa menaruh barang-barang di dalam jaket?" tanyanya ketika melihat jaket gadis itu gembung di bagian perut, dan tampak sebungkus makanan mengintip di balik jaket dekat bagian pinggang. "Biar ramah lingkungan," jawab gadis itu malas sambil memutar bola mata. Ia mengernyit dan melemparkan tatapan tak bersahabat. "Lain kali jangan sok peduli," katanya dingin, lalu bergegas pergi kemudian. Prabu kehabisan kata-kata. Ia menatap heran kepergian gadis itu. Apa yang salah dengan perbuatannya? Entahlah. Sepertinya gadis itu sangat membencinya walau pertama kali bertemu. Namun, Prabu tersenyum kecil kemudian. Baru pertama kali ia diperlakukan sinis seperti itu oleh seorang gadis, dan gadis itu sepertinya seumuran dengannya. Ah, ia takkan melupakannya. *** Prabu memarkirkan sepeda. Ia tersenyum melihat sahabatnya, Akbar, yang sedang memarkirkan motor di sebelahnya. "Nih," kata Prabu melemparkan minuman kaleng bersoda kepada sahabatnya, yang langsung disambut heran oleh sahabatnya itu. Akbar menyambutnya sigap. Ia menatap heran minuman itu sambil turun dari motor besarnya. "Bukannya lu gak minum soda?" tanyanya. "Dikasih orang," jawab Prabu sekenanya. Pria berkulit eksotis dengan wajah tampan dan senyuman bibir berbentuk hati tersebut tertawa kecil. "Minuman dari penggemar lu, ya?" Prabu tertawa kecil mendengar pertanyaan Akbar sambil mengingat wanita yang ditemuinya tadi. "Haters," jawabnya. Mereka pun tertawa sambil jalan di koridor sekolah. Tiba-tiba, tawa mereka berhenti ketika melihat sepasang manusia sedang berdiri di pintu salah satu kelas. "Ibrahim bahkan berambisi ngerebut Celsa dari lu," ucap Akbar kepada Prabu. Prabu tersenyum kecil. "Udahlah, lagian gue sama Celsa cuma teman." "Tapikan kalian udah lama dekat. Lu juga suka, 'kan?" Pria yang bernama Ibrahim tersebut menghampiri mereka setelah menyuruh gadis di sebelahnya tadi—Celsa—untuk masuk ke kelas. "Pagi, Prabu," kata Ibrahim mengejek. "Celsa curhat ke gue, katanya selama ini dia gak nyaman sama lu." Ia tersenyum remeh kemudian. Mendengar itu, Akbar lebih dahulu terpancing emosinya. "Lu baru sebulan sekolah di sini, tapi udah banyak banget buat masalah! Hobi banget lu ganggu Prabu!" Ibrahim menatap Akbar dengan ekspresi pura-pura terkejut. "Oya?" Ia beralih menatap Prabu kemudian dengan tatapan penuh kebencian. "Semua akan kembali pada garis yang semestinya," ucapnya penuh penekanan dengan suara hampir berbisik. Ia pun melangkah pergi meninggalkan Prabu dengan ekspresi yang sulit diartikan. "Dia bilang apaan?" tanya Akbar. "Lu jangan diam aja cewek lu direbut!" Prabu tertawa melihat ekspresi kesal sahabatnya itu. "Lagian, Ibrahim itu lebih ganteng dari gue, wajar Celsa suka." Akbar terdiam sebentar. Menganalisis ucapan sahabatnya itu. Kalau dilihat-lihat, Ibrahim juga memesona. Ia memiliki kulit putih pucat, kedua mata berwarna cokelat, postur tubuh tinggi, ah, sahabatnya ini juga memesona. Paling bedanya mereka hanya di Ibrahim yang memiliki warna kulit putih pucat. "Lu kan sama. Lu apa kurangnya coba? Jangan mau kalah sama tu orang, harga diri pria ini dipertaruhkan," kata Akbar kesal. Prabu semakin tertawa mendengar ocehan Akbar. Hah, ia bukannya mengalah, tetapi ada sesuatu hal yang tidak diketahui oleh semua orang. Faktanya, ia akan menuruti semua maunya Ibrahim, si anak baru di sekolahnya itu. **** Terima kasih telah membaca. :))
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD