Prolog

1723 Words
Gemerlap lampu dan suara musik EDM terdengar begitu kental dari salah satu klub malam terkenal di kota Paris. Suara dentingan gelas – gelas kristal berisi wine dan minuman beralkohol lainnya terdengar bersamaan dengan musik dan tawa lepas semua orang. Bianca menatap sekelilingnya dengan rasa tak nyaman. Gemerlap malam kota Mode dunia ini tak pernah menarik minatnya meskipun hampir seluruh hidupnya dia habiskan di negara barat, seperti Inggris dan Perancis. Helaan napas kerasnya tertutupi dengan suara tawa. Jika saja ini bukan After Party –istilah yang digunakan untuk ronde lanjutan dari pesta keberhasilan salah satu sahabatnya yang sukses menggelar debut pagelaran busana di Paris Fashion Week. Jujur, dia iri dengan kesuksesan sahabatnya itu. Satu angkatan di Esmod –Sekolah Fashion pertama dan tertua di dunia, namun sampai sekarang dia masih berjuang sebagai asistent designer, sedangkah sahabatnya sudah memulai debut menjadi Fashion Designer. Adeline berasal dari keluarga yang cukup terpandang di Perancis sehingga melancarkan kariernya di Panggung Fashion Weeks, berbeda dengannya yang harus berjuang dari awal tanpa ada campur tangan dari keluarganya. Dia tahu sebenarnya dia jauh lebih beruntung dari teman – temannya yang lain, tepat setelah lulus kuliah diterima di salah satu rumah mode terkenal dan memulai tugasnya dari hal-hal yang dasar, seharusnya dia tidak iri seperti ini. Bianca menutup mata menarik napas dalam mencoba untuk berpikir sedikit lebih logis. Dia hanya perlu berjuang sedikit lagi untuk debutnya, toh dengan bekerja sebagai Assisten Designer, membuatnya bisa lebih banyak belajar dan membangun relasi di industri ini. “Allez, Bi… tu as juste besoin d’un sourire!” teriak Adeline Anttoine, Sahabat sekaligus Host pesta kali ini, mengangkat gelas sampanye menawarkan ke arah Bianca yang dibalasnya dengan gelengan dan rengutan kesal. Ingin rasanya dia menghardik Adeline yang lupa bahwa dia tak terlalu suka minuman beralkohol dan paling anti untuk minum di tempat seperti ini. Bukan kolot, dia hanya ingin menjaga dirinya. Dia tak ingin terlalu banyak minum dan akhirnya berakhir di ranjang dengan laki-laki yang tidak dia ketahui. Masa depannya masih terlalu panjang untuk dia hancurkan dengan hal-hal seperti itu. Pandangan Bianca masih menatap gadis dengan mini dress silver yang terlihat begitu cantik berpadu dengan rambut perak temannya itu. Wajah cantik khas wanita Eropa yang mengagumkan yang dapat mempesona seluruh pria yang ada di dance floor. Adeline adalah sorang wanita yang dapat menaklukan kaum adam hanya dengan kerlingan matanya. Hidungnya mungil dan mancung dengan tulang pipi tinggi membuat Adeline lebih cocok menjadi seorang model daripada designer. “Biii…. Allez!” ajak Adeline lagi dalam bahasa Prancis yang kembali dijawab enggan oleh Bianca. “Kau tahu aku tidak pernah suka hal seperti ini!” teriak Bianca berusaha mengimbangi suara musik EDM yang menggema. Matanya menjadi awas saat merasakan seseorang duduk di sofa panjang yang dia tempati. Aroma parfum mahal dan menyengat yang digunakan pria itu membuatnya tak nyaman. Dia menghela napas, salah satu pria metroseksual Perancis sedang mencoba mendekati dan flirting dengan mendekatkan tubuhnya dan meletakkan tangannya di sandaran sofa seperti mencari kesempatan untuk menyentuh lengan Bianca yang terbuka. “I think I need to go.” Bianca mengambil mantel yang ada di sampingnya membuat semua orang yang berpesta berhenti menari dan menatapnya lekat termasuk pria yang mendekatinya tadi. “Sepertinya aku harus pergi, sebelum pulang lebih larut lagi. Kita bertemu lusa. Selamat atas kesuksesanmu,” Bisik Bianca persis di telinga Adeline, “Bye…” pamitnya kemudia mengecup pipi Adeline yang kebingungan. Dia hanya bisa menangguk pelan dan menatap siluet tubuh tinggi Bianca yang berjalan keluar dari Klub. Ia menggelengkan kepala melihat sikap teman Asianya yang terlalu kolot untuk tinggal di kota besar seperti negaranya. *** Bianca keluar dari pintu klub yang dijaga oleh dua orang pria berbadan besar. Ia merapatkan mantel cokelat panjangnya menutupi gaun V neck halter sebatas paha yang ia kenakan. Beruntung, ia masih cukup waras dengan menggenakan legging hitam untuk menutupi paha dan kaki indahnya. Angin musim gugur mulai membawa uap-uap es pertanda musim dingin sebentar lagi akan segera datang. Rambutnya terterpa angin yang bertiup sedikit kencang sehingga membuatnya sedikit berkibar. Kaki cantiknya menyusuri jalan kota negara paling romantis di dunia ini. Lampu-lampu kota termaram semakin memperlihatkan keindahan bangunan klasik bergaya Eropa. Bangunan-bangunan tinggi nan cantik yang ada di sepanjang jalan inilah yang membuatnya memutuskan untuk berjalan kaki untuk sampai ke dalam flat miliknya. Dia lebih nyaman menyusuri jalan di sepanjang sungai Seine dan menggunakan angkutan umum daripada menggunakan kendaraan pribadi. Langkah Bianca terhenti saat menatap sungai Seine yang terpampang di sampingnya. Sungai terbesar di Prancis ini, seolah memberikan kehidupan tersendiri bagi orang – orang yang melihatnya. Mata Bianca menerawang. Senyum manis tak dapat ia tutupi saat ingatan tentang keluarganya yang jauh darinya mulai masuk ke dalam pikiran. Mengingat bagaimana Kabar Deeva -Anak dari kakak Sulungnya yang semakin hari semakin sehat, setelah penyakit mematikan itu hampir merenggut nyawanya beberapa tahun yang lalu. Senyuman yang selalu diperlihatkan Deeva saat mereka melakukan Video Call memberikan semangat tersendiri untuknya untuk cepat sukses dan selalu memberikan keponakan cantiknya itu gaun buatannya sendiri. Lalu mengingat keadaan Tari, kakak perempuan seayahnya yang kini hidup bahagia setelah semua rasa sakit yang dia rasakan. Kedua kakaknya sekarang sudah menggapai kebahagiaan, sekarang tinggal dirinya. Dia juga ingin merasakan kebahagiaan dan menemukan white prince yang akan menjadi tempatnya berkeluh kesah dan berbagi kisah. Dihembuskan napasnya dalam dan semakin merapatkan mantel panjang yang dia kenakan untuk mencari kehangatan saat angin musim gugur menerpa tubuhnya. Hidup sendirian di Perancis selama lebih dari 5 tahun membuatnya sedikit kesepian, meskipun keluarganya beberapa kali mengunjunginya di kota Romantis ini. Langkah Bianca terasa berat memasuki jalan-jalan sempit di belakang bangunan besar yang berfungsi sebagai restoran dan toko. Dia Mengutuk dirinya sendiri yang begitu bodoh memutuskan untuk masuk ke daerah rawan seperti ini bukan jalan besar dengan lampu termaram yang menghiasi kota Paris dengan indah. Hari yang sudah semakin malam membuatnya memutuskan memotong jalan. Rasanya dia ingin secepatnya pulang ke flat dan merebahkan diri di ranjangnya. Tubuhnya sudah terlalu lelah setelah berkeliling dari toko – toko kain seharian untuk memenuhi permintaan atasannya belum lagi setelah itu ia harus menghadiri pagelaran perdana sahabatnya di Paris Fashion Week. Jalan-jalan sempit, hampir tak ada cahaya ini yang dia tapaki membuatnya ketakutan. Ia merapatkan mantel cokelat yang menutupi dress halter neck yang ia kenakan, menyembunyikan bentuk tubuhnya dan mencoba menghalau rasa dingin dan ketakutan yang sedang ia rasakan. Langkah kakinya terhenti saat melihat beberapa orang berandalan Prancis sedang bersandar di salah satu sudut jalan. Wajahnya berubah pucat pasi. Mengingat tingkah berandalan Eropa yang suka menggoda dan merendahkan perempuan membuatnya tak berani melangkahkan kaki. Bianca menghela napas dalam, berusaha berdoa di dalam hati agar yang ia pikirkan sekarang tak benar-benar terjadi. Bianca kembali merapatkan mantel, memasukan kedua tangannya ke dalam kantung depan agar mereka tidak dapat melihat leher jenjangnya yang terbuka di balik mantel itu. Ia melangkah cepat berusaha tidak mengindahkan tiga orang berandalan itu yang terus bersiul saat menyadari keberadaannya di dekat mereka. "Ya, Belle," tegur mereka beranjak dari tempatnya, berdiri menghalangi langkah. Bianca bergedik ngeri saat mencium aroma Alkohol yang menguar dari tubuh mereka. Wajah beringas dengan rambut-rambut kasar yang menutupi dagu mereka terlihat memerah pengaruh alkohol yang mereka minum. Ia berusaha mundur, namun seakan tau apa yang akan Bianca lakukan membuat salah satu dari mereka berpindah menghalangi tubuhnya. "Hai cantik, mau main bersama kami?" Tanya salah satu pria itu dalam bahasa Perancis. Bianca menggeleng. Tubuhnya bergetar. Semakin takut saat memikirkan bahwa ketiga berandal ini akan melakukan hal-hal yang tidak ia inginkan. "Minggir!" Bianca mencoba memberanikan diri berteriak.“YAA! Lepaskan!" Bianca memekik saat salah satu dari mereka memegang tangannya. Wajah pria itu terseyum culas membuatnya terus meronta mencoba melepaskan cengkraman. "Lepaskan!! TOLONG!!!" teriakan Bianca semakin keras saat merasakan pria yang ada di belakangnya bergerak mendekat dan memeluk tubuhnya "Tenang manis, Biarkan kami bersenang-senang dengan tubuh indahmu," ucap pria yang lain mendorong tubuh Bianca sehingga membentur dinding dan membuatnya meringis kesakitan. "Lepaskan! Tolong!" Bianca terus meronta dan berteriak meminta tolong. Air matanya jatuh saat melihat senyuman pria-pria b******k itu semakin lebar. Teriaknya semakin lirih. Matanya sudah kabur karena air mata yang terus menggenang. Rontaan dan tendangan yang ia berikan semakin menjadi-jadi saat salah satu dari mereka berusaha membuka mantel yang ia kenakan dengan paksa. Pekikan Bianca semakin kencang saat mereka mencoba meraba pahanya. Ia tersentak saat merasakan tubuh berandalan yang berada di atasnya terdorong hingga membuatnya terjatuh. Secepat kilat, terdengar suara teriakan dari berandalan-berandalan itu. Dengan cepat, Bianca duduk dan membenamkan wajah pada tekukan kaki. Dia hanya bisa menangis ketakutan, tubuhnya bergetar hebat tak bisa membayangkan apa yang akan terjadi jika berandalan itu terus meraba tubuhnya. “Siapa?!” pekiknya tanpa sadar menggunakan bahasa Indonesia saat merasakan seseorang bergerak mendekat. Dia menatap ragu. Dua buah kantong plastik besar adalah benda yang pertama kali ia lihat saat mengangkat kepala. "Are you okay, Miss?" tanya pria itu setelah ketiga brandalan tadi kabur setelah sadar. "Miss," ucap pria itu dengan aksen British yang kental. Bianca masih terpaku sehingga tidak menyadari uluran tangan pria itu. "MISS," panggil pria itu lebih kencang sehingga membuatnya tersadar. Perlahan, dia menengadahkan kepala dan melihat pemilik iris mata cokelat itu menatapnya dengan tatapan khawatir. Dia tersentak melihat pria tampan dengan rambut berantakan dan mata elang menatapnya hangat. Seragam putih dengan apron hitam yang melingkari pinggangnya membuat Bianca sadar, Pria ini mungkin bekerja di salah satu Restoran di daerah ini. “Are you okay?” tanya Pria itu menanyakan keadaannya yang dijawab Bianca dengan anggukan. Tubuhnya masih lemah mengingat apa yang dilakukan berandalan tadi. “Let me help you.” Pria itu mengulurkan tangan membuat Bianca tanpa sadar meraih uluran tangan itu. Mata Bianca tak lepas dari tangan pria yang telah menyelamatkannya itu. Hangat. Satu kata itu terlintas merasakan lingkupan tangan Pria itu yang menyelimuti tangannya. Pria itu mengambil tas Bianca yang tadi terjatuh. “Kamu sepertinya ingin memotong jalan tanpa mengingat bahwa lorong gelap ini terlalu berbahaya untuk seorang wanita,” ucapnya dalam bahasa Indonesia sehingga kembali membuat Bianca terperanjat. Dia memberikan tas itu kepada Bianca kemudian mengangguk, “Bisa tunggu sebentar, aku akan mengantarmu pulang. Tempat tinggalmu dekat sini kan?” tanya Pria itu tanpa sadar membuat Bianca menangguk. “Ikut aku.” Pria itu membawanya ke belakang salah satu bangunan, “Tunggu di sini, aku menyelesaikan pekerjaanku sebentar,” ucapnya segera masuk ke dalam bangunan. Bianca tersenyum melihat punggung lebar pria itu. Memandangi tangan yang tadi digenggam pria itu. Genggaman tangan yang entah mengapa dia rasa akan membuat hidupnya lebih bermakna dan berwarna setelah ini.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD