Sample 1

1028 Words
Halo ketemu lagi di cerita baru saya. Kali ini judulnya In Memoriam My Dear Husband. Huhu. Dari judul udah kentara bakal sedih ya. Tapi tenang, akan banyak kebahagiaan pula kok di dalamnya. Mari langsung cekidot saja.       ~ ~ ~ ~ ~ ~ ~ ~ ~ ~ ~.                Aku melepas hijab, menggantungnya dalam lemari. Gamis pun kutanggalkan, berganti menjadi daster longgar yang nyaman. Haidar bergerak - gerak terus dalam rahimku. Pasti dia lelah, protes minta istirahat. "Capek, ya, Sayang?" tanyaku sembari mengelus perut. Aku sedikit menekan pada bagian di mana Haidar baru saja menendang keras, sampai timbul tonjolan kecil. "Oke oke, Umi istirahat. Otw ke kasur kok ini." Kubuang kapas bekas membersihkan make - up dalam tempat sampah kecil di samping bupet. Aku berbaring dengan posisi ternyaman, miring ke kanan, dengan satu bantal di belakang pinggang, satu bantal lagi untuk menyangga perut. Mataku mengerjap beberapa kali. Lelah rasanya. Amat sangat lelah. Lelah fisik? Tentu saja. Untunglah ada Ibu, Ayah, dan para kerabat yang membantu. Sehingga acara hari ini, pengajian peringatan 40 hari kepergian Mas Hasbi, bisa berjalan lancar tanpa halangan suatu apa pun. Lelah batin? Itu yang masih menjadi beban terberatku hingga kini. Kepergian Mas Hasbi sama sekali tak mendadak. Kami menghadapi segalanya bersama. Berjuang tanpa kenal lelah dan putus asa untuk kesembuhan Mas Hasbi. Tapi Allah berkehendak lain. Jauh hari sebelum kepergiannya, kami sama - sama mempelajari ilmu ikhlas. Capaian ilmu tertinggi. Karena ikhlas adalah hal yang sangat sulit dilakukan. Terlebih, ikhlas tak dapat diukur. Sebentar lagi Haidar akan lahir. Aku perlu mempersiapkan diri untuk persalinan. Tapi akhir - akhir ini aku merasa kosong. Aku merasa ... seolah - olah aku tak akan dapat melewati proses itu nanti. Alhasil, aku sering merasa bersalah pada Haidar, buah hatiku dan Mas Hasbi, yang sudah cukup lama kami nantikan kehadirannya. Aku mengelus perut. Haidar pasti dapat merasakan kegelisahan dan ketakutanku, hingga ia sama sekali belum mau tenang, meski aku sudah berbaring. Airmataku tiba - tiba menetes. Ya Allah, ampuni hamba! Hamba sungguh ingin mengikhlaskan Mas Hasbi. Tapi semua terasa begitu sulit. Tolong jangan memberatkannya, meski hamba di sini menangis. Aku masih mengingat dengan jelas saat itu. Hari di mana kehidupan kami berubah 180 derajat. Hari di mana semua tak lagi sama.         ~~~~~ IMMDH - Sheilanda Khoirunnisa ~~~~~        Malam selepas sholat Isya', seperti biasa aku berkutat di depan komputer. Mengedit video tutorial berhijab dan juga cara berpakaian yang syar'i namun tetap trendy. Sembari menunggu Mas Hasbi pulang kantor. Kadang saat Mas Hasbi ada waktu, ia akan dengan senang hati mengedit video-videoku. Alhamdulillah, suamiku sangat mendukung hobiku menjadi seorang vlogger. Alasan utama, karena apa yang kutampilkan adalah hal positif. Mas Hasbi pernah mengusulkan agar videoku diberi selingan potongan ayat Al-Qur'an ataupun Hadist beserta arti. Katanya nanti bisa menjadi amal jariyah. Aku setuju saja dengan usulan Mas Hasbi. Maka sampai sekarang, aku tak pernah lupa menambahkan selingan itu. "Assalamualaikum!" Aku menoleh ke arah pintu, lalu segera beranjak. Aku memasang senyum terbaik sebelum membuka pintu, untuk menyambutnya. "Waalaikumsalam!" jawabku akhirnya. Mas Hasbi membalas senyumku. Aku menatapnya aneh. Karena Mas Hasbi tak terlihat seperti biasanya. Sikapnya pun lain hari ini. Biasanya ia akan menyentuh kepalaku setelah aku menjawab salamnya. Tapi baru saja ia masuk rumah, melewatiku begitu saja. Tidak, aku tidak marah. Aku hanya sedang khawatir. Apalagi Mas Hasbi terlihat sangat lesu. Aku takut suamiku sedang tidak enak badan. Aku segera menyusulnya ke kamar. Mas Hasbi duduk diam di tepian ranjang. Aku bergegas mendekat, mulai membantu melepaskan dasinya. Mas Hasbi tersenyum melihat uluran tanganku. Membiarkanku mengambil alih dasi. "Mas kenapa?" tanyaku akhirnya. Seketika tekanan yang tersirat dalam raut Mas Hasbi semakin terlihat jelas. Membuatku semakin takut pula. Semakin khawatir. Mas Hasbi menepuk sisi kosong di sebelahnya. Memintaku untuk duduk. Aku segera melakukannya, tak ingin membuat suamiku menunggu. Aku tahu, ia sedang mempersiapkan diri untuk bercerita padaku tentang beban pikirannya saat ini. "Kamu ingat waktu aku tiba - tiba sakit di kantor ... uhm ...sekitar dua minggu yang lalu?" Aku segera mengucap istighfar berkali - kali dalam hati. Ya Allah, tolong jangan biarkan pikiran buruk hamba menjadi nyata. Jadikan ini sebagai prasangka yang salah. "Inget, lah, Mas," jawabku. "Aku dihubungi Mbak Hasna karena kamu dilarikan ke rumah sakit. Sampai nginep sehari semalam segala." Mas Hasbi mengangguk. "Ya. Waktu itu dokter nyaranin buat cek kesehatan lengkap, kan? Soalnya ditakutkan ada penyakit serius.".         Aku mengangguk. Napasku mulai tercekat menahan tangis. Aku sungguh takut. Rasanya aku tak ingin mendengar lanjutan dari penjelasan Mas Hasbi.         Mas Hasbi sebenarnya bukan tipe orang yang mudah sakit. Hanya saja, setahun belakangan ia sering cepat lelah. Puncaknya saat ia sakit di kantor, seperti yang Mas Hasbi katakan tadi.        "Tadi aku ditelepon rumah sakit, katanya hasil pemeriksaan udah keluar. Karena kantor lagi sibuk, jadi nggak bisa langsung ambil. Syukurlah hari ini kantor pulang cepet. Jadilah, tadi perjalanan pulang, aku ambil sekalian."        "Mas ... Mas Hasbi baik - baik aja, kan? Nggak ada sakit yang serius, kan?" Airmataku sudah jatuh tak terkontrol.        Mas Hasbi menggenggam jemariku. "Sst ... istighfar, Sayang!" Ia merengkuhku, menenggelamkanku dalam peluknya. "Kata Dokter, ada semacam tumor di lambungku. Tapi kamu jangan khawatir! Ukurannya belum terlalu besar. Dokter menyarankan untuk segera melakukan operasi. Aku setuju saja. Kapan operasinya belum ditentukan, karena aku perlu koordinasi sama kantor dulu."         Bukannya diam, aku justru menangis semakin keras. Ya Allah, bagaimana bisa ada tumor dalam lambung Mas Hasbi? Dalam hati, aku menyalahkan diriku sendiri. Apa hidangan yang kusajikan untuknya setiap hari kurang sehat, sehingga suamiku menjadi sakit? Mas Hasbi laki-laki yang bersih. Bahkan ia tak merokok. Usianya juga baru menginjak 29 tahun. Lalu kenapa ia bisa sakit seperti ini?         "Ini ujian, Sayang!" ucap Mas Hasbi seakan tahu apa yang sedang bergejolak dalam pikirku. Ia mengelus kepalaku, lalu mengecup keningku singkat. "Kita hadapi sama-sama. Insyaa Allah, Allah akan memberi kesembuhan."         Pelukanku semakin mengerat. Memang seperti inilah Mas Hasbi. Selalu menyikapi segala hal dengan tenang. Ia selalu mengambil sisi positif, bahkan dari hal-hal yang negatif sekalipun. Kadang aku kesal --meski seharusnya tak begitu -- karena suamiku overdosis pemikiran positif.        ~~~~~ IMMDH - Sheilanda Khoirunnisa ~~~~~ .        - - tbc- -.        Guys, ayo baca cerita aku yang lain juga. Udah lumayan banyak di profil aku ini. Langsung cekidot saja ya. Terima kasih.      
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD