1. PERJODOHAN YANG TIDAK DIINGINKAN

1143 Words
Perempuan berambut pendek sebahu dengan poni rata itu mengembungkan pipi. Wajahnya ditekuk dengan alis dan kening berkerut. Dia tidak bisa menyembunyikan kejengkelannya sama sekali. Es krim Vanilla dengan topping buah-buahan tak sanggup memperbaiki mood-nya. Padahal, biasanya, es krim adalah pemicu hormon Dopamin dirinya selama ini. Agaknya, apa yang sedang dialaminya sekarang, sangat tidak diharapkan. Sempat, dia berpikir untuk kabur, tetapi nurani, bukan istri Iqbaal, tidak mengizinkan dirinya untuk melakukan itu. Karena mungkin akan membuat papanya malu. Komala, nama manusia, bukan kerabat dekat panda apalagi beruang kutub utara, adalah Papa Mana, perempuan yang sedang duduk dengan wajah tersiksa. Lelaki berusia lanjut yang ceria dengan badan cukup tinggi, perut membulat bak gunung Rinjani dan rambut kepala sedikit botak di bagian tengah. Pengusaha batu bata. Soal harta kekayaan, tidak perlu diragukan. Jauh dari gelar 'gelandangan' sehingga tidak perlu cemas akan masa depan. Jika saja, bukan karena Komala, Mana tidak akan sudi duduk di sana meski hanya untuk sedetik. Dibayar satu miliyar pun, agaknya, dia akan menolak, kecuali terpaksa karena sudah bangkrut dan melarat. Mana dan papanya duduk bersebelahan. Sementara di depan mereka duduk seorang lelaki berparas rupawan dengan rambut berwarna pirang kecokelatan. Kulitnya putih bersinar, tanpa cela atau noda, seolah dia adalah tipe lelaki yang rutin melakukan perawatan. Di dekatnya duduk seorang wanita paruh baya dengan dandanan mewah bak konglomerat. Kulit wajahnya masih kencang, tanpa kerutan atau jerawat. "Jadi, kita sudah sepakat, bukan?" tanya wanita itu tanpa basa-basi. Bukan tipe yang mendengar pendapat orang lain, melainkan wanita tua yang suka memaksa. Mana berpikir demikian meski baru beberapa saat bertemu dan duduk bersama. "Tentu saja, Susi," jawab Komala dengan senyuman lebar memancarkan kepuasan. Komala bukan bucin, melainkan sukarelawan. Setiap kali wanita di hadapannya memutuskan, lelaki itu selalu mengiyakan. Mana sedikit jengkel dengan kenyataan tersebut. Papanya menjadi seperti seseorang yang penurut. Susi tersenyum bahagia. Persetujuan Komala baginya sudah cukup, tidak perlu yang lain. Kedua orang tua itu sangat bahagia. Berbeda dengan kedua putra-putri mereka yang terlihat sangat menderita. Kedua insan yang sudah cukup usia untuk menikah itu sudah seperti dua orang yang divonis akan masuk neraka dan tidak akan pernah mencicipi manisnya surga.   Mana menghela napas panjang menatap lelaki di depannya yang juga melakukan hal yang sama. Ketika mata mereka tidak sengaja bertemu, keduanya sama-sama memalingkan muka. "Dear, ini Mana Santosa Komala, putri Komala, tunanganmu," ujar Susi pada putranya seraya menatap Mana dengan wajah berbunga-bunga. Mana terpaksa tersenyum, menghargai wanita yang mengaku sebagai sahabat lama papanya. Pertemuan Susi dan Komala di sebuah reuni universitas membuat mereka mengingat kembali janji lama saat mereka masih muda sebelum berpisah demi mengejar cita-cita. "Ini Ribut Semesta, putra Susi. Dia tampan'kan?" Komala ikut memperkenalkan calon menantunya. Mana hanya tersenyum kecut. Bibirnya terasa kaku dan perutnya mendadak mual. Dia sampai berkeringat dingin meski tidak sampai muntah atau kentut. Pujian papanya pada Ribut adalah penyebabnya. Menurutnya, itu sangat tidak perlu diucapkan. "Ribut ini dulu pernah tinggal di Inggris, lho. Pekerjaan mapan, CEO perusahaan property. Dia  juga gemar olahraga dan.." "Kami sudah kenal, kok, Pa," potong Mana membuat Susi dan Komala menatap heran padanya. "Mana adalah sekretarisku, Ma," timpal Ribut membuat kebahagiaan Susi dan Komala meningkat. "Jodoh, dong," kata Susi antusias. "Benar, tuh." Komala tidak kalah antusias. “Tidak,” tegas Mana membuat kedua orang tua itu menoleh ke arahnya bingung. “Mana sudah dipecat,” imbuhnya sembari menatap tajam ke arah Ribut. Kekesalahan karena proses pemecatan yang tidak masuk akal seminggu lalu, kini bergema lagi di dalam memory otaknya. Ribut yang merasa terancam, segera membuka mulut untuk melakukan pembelaan diri. “Mana melakukan kesalahan, menghilangkan dokumen untuk rapat penting,” terangnya. “Hah? Aku? Kamu yang…” “Ditoleransi, dong. Namanya manusia, pasti pernah melakukan kesalahan kan?” potong Susi. “Jangan marah, Sayang. Ribut memang perfectsionis, jangan sakit hati ya.” “Benar, Mana. Papa tidak pernah mengajarimu untuk menjadi pendendam, lho.” Komala ikut berpendapat. “Lagipula kalau dipecat tinggal bekerja saja lagi, yak an? Ribut belum menemukan sekretaris pengganti Mana kan?” “Soal itu….” “Belum. Aku akan memecat yang lain jika ada.” Susi memotong cepat ucapan Ribut sehingga lelaki tampan itu tidak sempat menggenapi perkataannya. “Masalah selesai. Haha.” Susi tertawa bahagia, demikian juga Komala. Mana dan Ribut terpaksa diam, menahan diri agar tidak kelepasan mengabsen penghuni kebun binatang dengan respon kedua orang tua mereka yang sama-sama tidak peka. "Nah, karena sudah saling kenal dan masalah sudah selesai, nggak perlu ditunda lagi, dong," ujar Komala lantas mengeluarkan sebuah kotak kecil. Mana membulatkan mata. Firasatnya mendadak buruk. "Om, saya.." Ribut bereaksi seperti ingin mengucapkan sebuah penolakan walau masih ragu. Hal itu membuat Mana cepat mengambil tindakan sebagai pencegahan. Karena bagaimanapun, mencegah lebih baik daripada kebablasan. "Itu cincin nikah Papa dan Mama dulu?" Mana segera memotong membuat Ribut menutup rapat bibirnya. "Iya, Dear. Sudah lama mendekam dalam kotak setelah Mama kamu meninggal dunia. Akhirnya, cincin ini bisa digunakan lagi sekarang," jawab Komala dengan mata berkaca-kaca. "Jangan sedih, Komal. Sri akan sedih jika kamu lemah begitu," ucap Susi mencoba menghibur sahabatnya itu. Komala hanya mengangguk pelan seraya tersenyum tipis. "Iya. Kamu benar. Ini adalah hari yang bahagia karena janji kita akhirnya terwujudkan. Anak-anak kita saling bersatu dalam cinta." Mana nyaris mendecih sebelum memilih untuk mengigit kuat bibirnya saat mendengar pernyataan terakhir papanya. Mana tidak membenci Ribut. Dia hanya tidak suka lelaki itu. Sangat, nyaris sampai ke perbatasan perasaan jijik. Pertunangan kemudian dilangsungkan secara sederhana sebelum anak-anak mereka merasa yakin untuk menikah dan mengumumkan pada dunia bahwa Mana dan Ribut siap untuk berlabuh dalam kapal rumah tangga. Saat ini, menyatukan mereka dalam ikatan lebih dianjurkan daripada memaksa menikah dalam waktu dekat, padahal perasaan keduanya belum sepenuhnya menerima. Komala dan Susi menyadari perasaan asli anak mereka, tetapi tidak mau menyerah dan membatalkan perjanjian pernikahan yang sudah direncanakan sejak lama. Komala dan Susi tidak berhenti tersenyum dan tertawa. Pancaran kebahagian terlihat jelas di wajah keduanya. Sedangkan Mana dan Ribut hanya mengulas senyum kepalsuan. Mana menatap cincin pernikahan milik almarhum mamanya yang kini melingkar di jari manisnya setelah dipakaikan Ribut. Keduanya bertatapan sebentar lalu menghela napas dan menundukkan kepala. Mana dan Ribut bukan musuh, mantan atau teman. Mereka memiliki hubungan kerja sebagai bawahan dan atasan, itu saja. Namun, sejak pertama kali bekerja, Mana sudah sangat membenci Ribut. Lelaki tampan itu selalu mencari gara-gara dan membuatnya mengalami kesulitan. Proses pemecatannya pun, terkesan tergesa-gesa dan direncanakan. Itu sebabnya, Mana sangat tidak suka Ribut dan sempat berniat balas dendam. Semua sikap Ribut kepadanya selama bekerja di kantor Ribut, seperti kucing dan Anjing, tidak pernah rukun. Ribut selalu memancing keributan. Setiap hari, di kantor dan bekerja dengan Ribut, bagi Mana, sudah seperti perang yang harus dimenangkan sampai tetes darah penghabisan. Bagi Mana, Ribut adalah pasien Rumah Sakit Jiwa. Siakp egois dan sombong lelaki itu over dosis. Sedangkan untuk Ribut, Mana hanya Masako, produk micin yang suka hidup dengan serius. Mereka suka memulai perkelahian dan kini berakhir bertunangan. Takdir yang sangat mengesankan atau mungkin menggelikan.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD