A Kiss

1009 Words
Sejak pertama kali masuk, pria itu sudah mengincarku. Padahal beberapa gadis seperti Elin tengah menenggerkan tangan mereka di bahu juga pinggangnya. Jangan main-main. Aku masih di bawah umur dan hanya bertugas mengantar minuman. Berani sekali ia melempar tatapan m***m? "Sar, kamu dipanggil ke dalam." Bass menegurku di pintu keluar toilet. Ini sudah waktuku pulang. Jangankan disuruh, dibayar mahalpun aku tidak mau. Sinting benar meladeni pria-pria lapar? Kalau bukan karena Merlin sakit, aku tidak akan ada di sini. Mungkin sedang di rumah, bermain game. "Masuk sebentar. Jangan alasan belum punya KTP, besok juga jadi kok," seru Anggit menjawab tatapan sengitku. Memang benar, akulah yang malas membuatnya. Biar disangka masih 17 tahun ke bawah. "Cuma nganter minuman, kan?" gumamku mengambil stok bir pesanan yang disodorkan Anggit. Dentuman musik kian parah saja. Saat aku lewat, rasa-rasanya aku ingin melempar minuman itu ke tengah-tengah mereka. Ah, sial benar. Bagaimana kalau aku mengalami pelecehan seksual? Seharusnya aku membiarkan Merlin menanggung hutangnya sendirian. Benar saja, saat aku masuk hanya ada pria itu. Menunggu dengan sebatang rokok juga segelas bir penuh. "Temani aku sebentar," pintanya menahan pergelangan tangan. Usianya masih muda, mungkin belum lewat 30. Dari sudut pandangku, ia cukup bodoh karena membiarkan wanita memegangnya. Terlalu murah untuk ukuran fisik yang lumayan. Sepertinya, ia pria keturunan Korea, Cina atau sebangsanya. Matanya sipit, tapi punya tatapan tajam. Ah, masa bodoh. "Biar saya panggilkan teman yang lain." "Kenapa? Aku sudah membayar hargamu tadi." Ia tertawa kencang, sepertinya sedikit mabuk. Sudah kuduga, aku dijebak. Pintunya bahkan dikunci dari luar. Apa mereka lupa kalau aku pemegang sabuk hitam? "Aku hanya butuh teman bicara. Wanita-wanita tadi parfumnya terlalu kuat, aku tidak betah. Duduk saja, hanya satu jam." Ia menunjuk sofa di sebelahnya yang kosong. Kalau dipikir-pikir, aku tidak merugi. Jatah uang yang dikirim ayah sudah habis dan mustahil mengambil pekerjaan siang kalau harus masuk kuliah nanti. Merlin punya banyak tabungan setelah bekerja di bar selama sebulan. Dan, katanya tidak ada transaksi seks, hanya kiss dan sedikit skinskip. Baiklah, toh hanya satu jam. "Tuangkan minuman untukku." Ia menunjuk gelasnya sembari menikmati asap rokok dari bibir. Aku menurut lalu menggesernya ke depan. "Mendekatlah, kau terlalu jauh." Ia menegadah, menarik paksa ujung kausku. Begitu mendekat, aroma pengar langsung tercium. s**t, dia benar-benar mabuk. "Siapa namamu? Sepertinya kau belum lama ada di sini," tanyanya tiba-tiba merangkul. Aku berusaha tidak terkejut, membiarkannya selama masih di batasku. Diam-diam aku suka bentuk hidungnya. Panjang, tapi proporsional. Dilihat dari dekat, wajahnya tidak mirip pria b******k yang sering kupergoki memegang p****t para pengantar minuman. Eh, apa aku terpesona? "Sarly. Mereka memanggilku begitu," sahutku sedatar mungkin. Ia harus tahu kalau aku punya batasan dan berbeda dengan Elin dan kawan-kawan. "Aku Young Han." Ia kembali menghisap rokoknya dalam-dalam, lalu menatapku lekat sekali, seperti mencari sesuatu. Ah, sial. Aku menyukai matanya. Terlepas dia sebrengsek apa nanti. "Minum alkohol itu. Kalau habis, aku tidak akan menyentuhmu." Young Han menggeser gelas penuh bir itu padaku. Menanti reaksiku. Ia terlihat menikmati perubahan wajahku dari kesal, specchless hingga bingung. "Aku belum pernah minum alkohol. Bagaimana kalau merokok?" tawarku berharap hal yang lebih ringan. "Tidak. Itu tidak sesuai dengan hargamu." Young Han berdecih, tidak setuju. "Teguk, dan jangan berhenti di tengah." Dengan ragu, aku mengangkat gelas itu. Baunya langsung membuatku ingin muntah karena terlalu keras. "Kenapa? Kau memilih untuk disentuh?" Aku menggeleng kesal. Kenapa ada orang yang menyulitkan seperti ini? Fisiknya mungkin oke, tapi otaknya lebih dangkal dari kebanyakan orang. Di hitungan kedelapan, aku mulai pusing, tidak kuat menghabiskan tantangan sialan itu. Perutku seperti meracau, mengutuk ulahku. Aku terpaksa meletakkannya, padahal kurang tiga tegukan lagi, permainan itu berakhir. "Berapa umurmu? Apa kau pernah berhubungan seksual?" Belum sempat menyahut, ia keburu menunduk, mencari celah untuk menciumku. Karena terlalu pusing, aku tidak cukup tenaga untuk melawannya. Lumatan itu terlalu lembut untuk ditolak. Di detik berikut, aku dengan sadar membalasnya. Membuka mulut hingga kami saling menyapu lidah. Adrenalinku seketika naik sampai-sampai menyentuh punggung juga dadanya secara intens. Ah, jantungku berdebar. Gila, aku benar-benar gila karena menginginkan pria b******k yang membeli satu jamku. Lihatlah, aku malah menikmatinya. "Sarly, kapan kau pulang?" Itu sebuah ajakan untuk kencan lanjutan. Tapi, aku harus menolaknya. Terlepas bagaimana menggebunya gairah pubertas, perawanku lebih penting daripada pesona pria asing. "Sudah hampir satu jam. Katakan, apa yang harus aku lakukan lagi?" Aku mengalihkan pembicaraan, buru-buru menuang isi gelas lagi. Sepertinya ia tahu kalau sedang ditolak. Ia terdiam cukup lama, menghisap rokoknya lagi. Kecewa? "Pergilah. Selagi aku menyuruhmu," gumamnya meraih ponsel, menghubungi Anggit. "Buka pintunya, aku tidak suka." Tidak suka dia bilang? What the? "Kenapa? Kau tidak mau keluar?" Mata sipit Young Han menahan keinginanku untuk mengumpat. Rupanya, ia tidak suka bertele-tele. Ciuman tadi nyaris membuatku lupa kalau sedang menjual harga diri. "Pergilah, kau gadis munafik." ___ Pagi-pagi buta, aku bangun dalam keadaan pusing, mual dan muntah-muntah. Pengalaman semalam seperti menerorku dalam tidur. Bahkan teriakan Merlin tidak mempan membangunkanku. Gadis itu sembuh dalam semalam karena kemarin hanya kurang tidur. Mata pandakulah yang menebal, memikiri sesuatu. Apartemen kecil itu disewa Merlin, aku hanya menumpang. Sepotong benalu yang mengandalkan ayahnya untuk tetap sekolah di Jogjakarta. Kebetulan orangtuaku sudah berpisah. Aku terlalu sayang dengan Jogja dan memutuskan tidak pergi ke mana-mana. Untung saja Merlin mau menampungku. "Kudengar kau menemani Young Han semalam." Merlin membuka percakapan kami dengan pertanyaan menyebalkan. Padahal aku ingin melupakannya, seperti kentut. Tapi mustahil juga. "Dengar, Young Han itu tidak pernah membawa gadis bar keluar. Dia dikenal seperti patung, tidak mengobrol dengan siapapun. Dia datang cuma minum dan merokok. Sisanya hanya menatap gadis-gadis, tidak menyentuh sama sekali. Makanya aku heran saat dengar kamu dibayar untuk satu jam." aku tidak tertarik sama sekali untuk tahu. Semua pria yang pernah masuk bar bukan lagi orang suci. Entah apa yang dicari, bagiku Young Han sama saja. Menginginkan perhatian gadis-gadis nakal. "Jangan bicara lagi. Dia membuatku mabuk karena mencicipi alkohol. Bisa mati aku kalau ada acara hari ini." Merlin mengendik, mengangsurkan brosur makanan siap antar ke arahku. "Ayo pesan pizza saja. Aku bosan nasi kucing," selorohnya menghindari tatapan marahku. Ya, itu gara-gara dia. "Eh, bukannya sore ini kamu mau ketemu Roland? Katanya dia ada latihan futsal." Benar, aku sendiri lupa kalau sudah punya pacar.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD