Prolog

1083 Words
Sudah lima tahun dari saat ditinggal nikah oleh sang kekasih. Arumi masih sama, tak banyak bicara juga tersenyum. Ia cenderung lebih banyak mengurung diri juga menghabiskan waktunya untuk membaca novel di aplikasi Dreame. Ia cukup terhibur dengan hal itu. Genap sudah ia menginjak usia tiga puluh tahun di tahun ini. Batas usia maksimal bagi seorang wanita menikah, jika lambat dari usia itu artinya seorang wanita telat menikah begitu kata orang sekitar. Arif dan Sara merasa harus segera menikahkan putrinya itu. "Aku tidak akan sudi menikah jika bukan dengan Mas Reza, Bu. Hati ini telah tertutup rapat. Ah, jangankan berniat untuk menikah dengan pria lain membayangkannya pun aku tak pernah," tolak Arumi kala Sara sebagai ibunya membujuk dia untuk segera menerima lamaran orang-orang yang datang. "Tapi Arum, sampai kapan? Sampai kapan kamu akan menutup hatimu? Reza sudah menikah tak mungkin ia kembali padamu, Sayang. Bahkan dia telah mengkhianati kamu. Bagaimana mungkin kamu masih mengharapkannya?" tentang Sara halus, ia hanya tak ingin putrinya terus berangan pada hal yang tak mungkin terjadi. "Tidak masalah. Jika memang Mas Reza tidak ditakdirkan untukku, maka aku tak akan menikah selamanya!" tegas Arumi. Sebuah cinta yang begitu besar pada Reza telah membutakan hatinya. "Daripada ibu sibuk membujukku, lebih baik ibu hentikan orang-orang yang terus datang untuk melamarku. Hentikan bapak yang terus memaksaku menikah dengan anak kepala desa itu," lanjutnya seraya beranjak dari tempat duduk lalu kemudian Arumi pergi menuju kamar. Ya, selama ini bukan tak ada yang melamar Arumi. Banyak, hingga setiap minggunya selalu ada saja yang datang menawarkan diri untuk menjadi suami Arumi. Namun, sekali lagi hati Arumi telah dipenuhi cinta pada Reza sehingga tak ada celah bagi pria lain untuk masuk ke dalamnya. Dari mulai pria biasa hingga anak orang kaya. Ini juga yang menjadi alasan ayah Arumi sedikit mendesak agar ia menerima lamaran anak kepala desa yang katanya telah menjadi pegawai negeri sipil di kotanya. "Arumi, kamu ini putri satu-satunya yang kami miliki. Bagaimana kami punya cucu jika kamu tidak menikah. Ayolah, Sayang, sebelum bapakmu benar-benar hilang kesabaran. Turutilah kemauan kami," ucap Sara memohon, ia mengikuti Arumi masuk ke kamar yang dibiarkan pintunya terbuka. Sara sangat menyayanginya putri satu-satunya itu. Sebelumnya, ia tak pernah memaksa apa yang tak diinginkan Arumi. Akan tetapi, untuk yang satu ini ia tak bisa tinggal diam hingga rela jika harus membujuk dan memohon putrinya itu berkali-kali. "Setidaknya, beri aku waktu lebih banyak untuk membuka hati, Bu. Aku tak ingin menikah tanpa cinta, aku akan tersiksa jika itu terjadi." Jebol sudah air mata Arumi yang menjadi satu-satunya senjata agar ibunya tidak terus memohon, karena hal itu melukai dirinya. Sara sudah tak bisa lagi berbicara, ia enggan melihat putri cantiknya itu menangis maka ia pun memutuskan meninggalkannya seorang diri. "Assalamualaikum." Seseorang tiba-tiba datang mengucapkan salam terdengar oleh Arumi dari kamarnya. Ia yang sedari tadi menangis menghentikan tangisnya. Dipasangnya telinga tajam-tajam memastikan suara siapa itu. Suara yang sangat ia kenal tapi sudah lama sekali tak didengar dan sangat dirindukan. "Wa'alaikum salam," jawab Sara seraya membuka pintu. Ia memicingkan mata melihat siapa tamunya. Pria yang sangat ia kenal namun dengan setelan dan penampilan berbeda dari biasanya. Pria itu mengenakan pakaian kantoran dan datang dengan mengendarai sebuah mobil membuatnya kesal sekaligus senang. "Untuk apa kamu ke sini?" tanya Sara ketus, rasa kesalnya lebih dominan mengingat orang di depannya adalah orang yang sangat ia benci karena telah melukai hati putrinya. "Aku ingin menemui Arumi, Bu," ucap pria itu tenang dan penuh wibawa. Sangat jauh dengan sosok yang dikenal Sara dulu. "Pergi! Tidak puaskah kamu menyakitinya?" hardik Sara tanpa ampun. "Tunggu!" Bersamaan dengan itu Arumi datang. Mata yang bengkak karena air mata kini memancarkan binar. Senyuman yang sudah lama hilang kini terlukis sempurna. Ia mendekati pria di depannya. "Mas Reza," ucapnya lirih, air mata haru tak percaya akan kedatangannya menetes dari sudut mata. Reza tersenyum. Ingin sekali ia memeluk wanita di depannya, namun tatapan Sara membuatnya tak bebas bergerak. "Ya sudah, cepat masuk! Aku tak mau orang yang lewat melihat ke arah sini!" tukas Sara ia meninggal dua insan yang saling merindu. Arumi menganggukkan kepala seraya memberi isyarat agar Reza ikut masuk ke dalam dengannya. Kemudian mereka bertiga duduk di kursi ruang tamu untuk kemudian membicarakan tujuan kedatangan Reza. Arumi beranjak bermaksud hendak mengambil air untuk menyuguhinya. "Tidak perlu. Dia tak perlu diberi walau hanya air putih!" cegah Sara cepat menahan tangan Arumi agar kembali duduk. "Reza, segera utarakan apa maksud kedatanganmu!" ucapnya kemudian menatap tajam ke arah Reza. "Kedatanganku ke sini untuk melamar putri, Ibu," ucap Reza dengan tenang seolah ia tak punya dosa pada keluarga yang sedang didatanginya. "Apa kamu? Berani-beraninya, setelah kamu lukai anakku lalu dengan enteng memintanya jadi istrimu! Jangan harap!" "Justru aku ingin menebus kesalahanku saat itu. Jika masih ada secercah cinta pada diri Arumi, aku akan menyembuhkan lukanya dan menggantinya dengan kebahagiaan." "Tidak!" "Ibu!" potong Arumi. "Bukankah Ibu ingin aku segera menikah? Baru saja tadi ibu memohon agar aku segera menikah. Dan saat ini, cinta yang kudambakan datang mengapa Ibu tolak?" tentangnya. "Tidak. Ini sangat tiba-tiba hingga membuatku curiga. Setelah lima tahun kau menghilang lalu datang tanpa dosa dan kini meminta Arumi dengan mudah?" "Ini tidak tiba-tiba, Bu. Aku memang ingin meminang Arumi saat aku telah menemukan kesuksesan. Aku ingin membahagiakan Arumi lahir juga batinnya. Jika ibu merestui aku akan mempercepat untuk segera menikahi Arumi," ujar Reza terdengar tulus. Sara terdiam untuk beberapa saat. Ia mulai berpikir dan menimbang-nimbang lamaran Reza. Diliriknya gadis kesayangan yang duduk di samping kanannya. Ia menunggu jawaban begitu berharap jika ibunya menerima. "Biar saya pikirkan!" tukas Sara. Ia beranjak dari tempat duduknya kemudian pergi ke dalam. "Apa kabar, Arumi?" tanya Reza kemudian setelah bayangan Sara hilang. "Baik, Mas. Aku tidak percaya dengan semua ini. Biar aku ambilkan minum dulu," jawab Arumi salah tingkah. Ia memang selalu begitu salah tingkah serta banyak bicara saat di dekat kekasihnya. Dari kejauhan Sara memperhatikan putrinya itu, sudah sejak lama ia tak banyak bicara dengan rona di pipi serta binar di mata. "Tidak usah, Arumi." Reza menahan tangan Arumi yang terasa dingin karena keringat dari rasa gugupnya. "Duduk saja. Aku tidak akan lama." Reza melempar senyuman. Senyum kehangatan yang sangat Arumi rindukan. "Bagaimana kabar, Mas?" Arumi balik bertanya dengan kepala menunduk tak kuasa menatap mata lawan bicaranya. "Aku tidak begitu baik karena aku selalu merindukanmu." Jawaban yang membuat hati Arumi berbunga-bunga, tapi terdengar begitu memuakkan bagi Sara. "Sesungguhnya aku pun begitu," ujar Arumi sedikit malu-malu. Ia semakin menyembunyikan wajahnya yang mungkin kini sudah semerah buah tomat. "Aku akan kembali jika kedua orang tuamu merestui. Ini nomorku yang baru, hubungi aku dengan nomor itu."
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD